Kelas “Wakataba”

Oleh Darmansyah

KELAS penulisan itu memerintahkan saya dan dua teman lainnya bercerita tentang era jurnalistik “kuda makan besi.” Era handset…era ganyang. hingga era monoloyalitas dwifungsi warna kuning beringin.

Sebuah era sangkut sengkarut ketika  “breaking news” didominasi narasi  eufumisme: ”….seperti kata bapak….hari-hari omong koSong…” dan seterusnya.

Perintah kelas itu nyaris menyerupai komando. Khas. Yang sahutannya cukup  dengan satu kata pendek.. siiyaapp. Gak ada “graakkk….”nya. Yang kata “gerakk”-nya milik tetangga sebelah.

Posisi bunyi perintah itu bagi saya dan kedua teman sulit menemukan “keudaleh” untuk berkelit. Maklum, kelas itu isinya dua puluh empat orang fungsionaris berbagai profesi.

Profesi yang kami namakan “perwira .” Yang kElasnya tingkat “pamen” di usia muda yang ingin “mengayuh sepeda.” Mengayuh sepeda dalan artian penulisan. Yang role modelnya kelas pelatihan.

Role model kelas itu hasil adopsi banyak pelatihan lain untuk dicontoh bagi kebaikan. Role model untuk kepemimpinan yang berkarakter kuat.

Mereka-mereka yang berdisiplin tinggi, komit, kredibel dst.

Model kelas pelatihan ini menggunakan metode pendidikan orang dewasa. Kini lagi tren dengan akronim pe-o-de. Kelas pelatihan dalam suasana  gembira.

Metodenya mempertemukan pengalaman “murid” dengan pemahaman ilmu dipelajari lewat jembatan mentor. Setiap  mentor cukup mengelaborasi pengalaman menulis dan kebutuhan setiap murid.

Proses pembelajaran model begini dianggap bisa berjalan efektif.

Dimulai dari pembentukan pemahaman dari pengetahuan baru para murid. Di fase ini mentor cukup  memberikan pembekalan teori dasar menulis dengan memakai metode elaborasi kebutuhan peserta.

Bisa  ceramah interaktif, berbagi pengalaman, diskusi dan praktik. Lanjutnya menerapkan pemahaman dan pengetahuan baru.

Di fase ini juga murid diajak praktik lapangan berupa penugasan individu atau pun kelompok. Mengerjakan tugas dengan mendapat pendampingan intensif dari mentor.

Pendamping akan berbagi pengalaman, memberikan masukan, dan asistensi kepada peserta Hingga peserta mampu mencapai kompetensi yang diharapkan.

Seorang calon penulis  yang sudah mendapatkan informasi, melihat peristiwa di lapangan, dan berinteraksi dengan narasumber pasti memiliki dorongan untuk segera menuliskannya.

Dengan bahan tulisan yang ada, apakah mudah merangkaikannya menjadi narasi yang memikat?

Tidak jarang, jurnalis kesulitan untuk memilah informasi yang terlalu banyak didapat, mana yang harus ditulis mana yang tidak.

Makanya di tahap ini mentor selalu berpesan agar murid jangan mendapati bahan-bahan tulisan yang gak menarik karena hasil reportasenya terlalu formal dan informasinya kurang tergali.

Yang haris dicamkan jurnalistik adalah sebagai edukator masyarakat atau simplenya sebagai pendidik.

Setiap penulisan memiliki tanggung jawab untuk menyajikan informasi yang memiliki nilai edukatif dan memberikan manfaat, dengan tujuan meningkatkan pengetahuan dan kualitas hidup masyarakat.

Setiap tulisan juga harus mencerminkan  fakta hasil reportase agar menjadi narasi yang memikat dan menarik.

Pastikan hasil penulisan adalah fakta yang muncul dari kepekaan atau sensitivitas Anda  pada suatu peristiwa atau objek penulisan.

Sensitivitas ini perlu dimiliki sebagai dasar untuk mengumpulkan bahan tulisan. Misalnya, peristiwa yang diliput itu begitu mencengangkan dan membuat Anda terpana.

Bukan berarti tulisan akan menjadi subjektif, namun sensitivitas dari pengalaman itu akan membantu untuk mendeskripsikan objek liputan dalam bentuk narasi.

Menulis reportase secara naratif berarti menuliskan suatu peristiwa yang bisa membuat pembaca seakan mengikuti liputan itu.

Syarat utamanya tentu saja harus detail dan relevan, serta ditentukan dengan sudut pandang atau angle yang berbeda dengan reportase umum.

Penulis  harus memiliki kesadaran atau keinginan untuk melihat hal-hal yang tidak terlihat oleh yang lain. Anda patut sentuh objeknya. Ingat, semakin spesifik angle maka semakin bagus tulisannya.

Kunci penting lainnya saat menulis narasi tidak harus menggunakan ornamen indah. Pakailah kalimat sederhana dan standar tanpa perlu berbunga-bunga.

Gak ada salahnya bila mengambil dari khazanah puisi yang sesuai dengan gambaran objek atau peristiwa itu. Asalkan narasi yang ditulis dibangun atas reportase yang benar.

Yang paling utama setiap memulai tulisan hindari data statistik dan kutipan pakar, sebab itu tidak dibutuhkan pembaca.

Sekali lagi, sentuh objek liputannya. Perjumpaan dengan objek liputan bisa dieksplor dalam kalimat yang sederhana.

Bisa jadi, suatu objek liputan dianggap biasa saja bagi orang lain. Tapi penulis yang sudah berpegang pada referensi dari objek tersebut bisa menemukan hal yang berbeda.

Contohnya, Anda meliput suatu kedai di sudut kota kecil. Tampilannya biasa dengan meja kursi layaknya kedai minuman.

Tapi karena Anda sudah mengetahui sebelumnya dari referensi sejarah bahwa kedai itu pernah menjadi tempat favorit seorang tokoh besar, maka kedai itu menjadi istimewa.

Referensi ini bisa menjadi modal menulis narasi. Tidak hanya referensi, hasil riset suatu penelitian juga dapat membantu Anda dalam melengkapi bahan tulisan.

Hal terpenting dalam jurnalisme naratif adalah memahami pentingnya penulisan.

Hasil penulisan reportase menjadi gagal ketika disajikan dengan rinci dan detail pada sesuatu yang tidak berkaitan dengan peristiwa yang diangkat.

Narasinya menjadi tidak ada artinya. Karena itu, narasi akan memikat jika sebelumnya jurnalis bisa menyerap dan berinteraksi dengan lingkungan yang akhirnya bisa jadi bahan tulisan.

Kemampuan berbahasa akan menjadi modal dalam menyusun runutan cerita dan menjahit fakta-fakta.

Itulah yang saya jalani selama dua hari dalam sepekan  di bulan ini. Berinteraksi dengan para “pamen”  yang menjabat di banyak lembaga.

Pemahaman  menulis hanyalah salah satu materi yang saya ajarkan seperti biasa. Selebihnya saya sharing mengenai “think like” penulisan  yang diperlukan lembaga mereka.

Lantas muncul tanya, mengapa  mereka perlu memahami apa yang dikerjakan wartawan media?

Sebab seorang yang memimpin kelembagaan harus paham apa yang dikerjakan jurnalis. Apa yang dimaui media, bagaimana framing dibuat. Lanjut  bagaimana wawancara dilancarkan, bagaimana narasumber dikejar dan bagaimana menuliskannya.

Saya memberi tekanan sesungguhnya “think like journalist” bukan saja harus dipahami bahkan perlu tahu bagaimana jurnalis bekerja.

Satu tujuannya agar mereka siap menghadapi jurnalis dari media apapun, khususnya menyangkut kasus besar yang dihadapi.

Seperti saat menghadapi kasus besar baik dalam konferensi pers, door stop, mapun saat harus menyusun rilis berita.

Alhasil di akhir saya tampil sebagai mentor mereka sangat puas. Ini tercermin dari komentar salah satu peserta. “Sekarang kami lebih confident. Jadi tahu apa yang dipikirkan dan dimaui wartawan.”

“Tinggal bagaimana menghadapi mereka.”

Sehingga saya membalas: “jangan pernah remehkan kekuatan sebuah tulisan yang baik, karena kita tak pernah tahu hati siapa yang akan terketuk karenanya.”

“Dia laksana aliran sungai, yang akan menemukan muaranya entah di mana.”

Dan di akhir session itu saya membagi kisah ketika kerja di era handset …era jadi typist intertype lanjut ke buruh pes-up, film dan plat yang kemudian giling jadi koran dan loper..

Era ketika saya menjadi reporter sebuah koran kecil di kota yang amat kecil: Banda Aceh. Koran empat halaman. Terbitnya seminggu sekali. Sering juga tidak terbit.

Koran di era dengan nama Mimbar Swadaya. Yang kemudian bermutasi ke koran lokal terkenal yang Anda sudah tahu …

Saya bersyukur merasakan kerja jurnalistik di zaman era teknologi  “wakataba”.  Era “wakataba” yang penyusunan huruf di percetakannya per satu huruf.

Sebuah percetakan milik negara di pertengahan kota. Yang kala itu persis di halaman depan sebuah terminal labi-labi.

Huruf-huruf di percetakan itu  terbuat dari timah. Huruf ‘a’ berkumpul menjadi satu di satu kotak. Demikian juga ‘b’, ‘c’ dan seterusnya. Lalu ada kotak-kotak lain untuk huruf  besar.

Pegawai penyusun huruf itu sering tidak masuk. Itu memberi kesempatan pada saya untuk belajar menyusunnya secara benar.

Gak mudah. Juga gak rumit amat. Ternyata saya akhirnya bisa.

Pengalaman hebat yang bisa saya dapat: gak perlu menulis berita.

Hasil wawancara langsung saya susun di tempat huruf-huruf itu. Saya juga bisa memutar mesin cetak yang masih menggunakan tangan.

Saya beruntung mengalami zaman paling belakang di teknologi cetak. Zaman yang kemudian berganti dengan mesin ketik sebesar gajah bernama intertype. Intertype yang masih berbahan baku timah.

Yang cara penyusunan per halamannya lewat cara pruf. Pruf yang akan dijadikan film… plat dan digiling oleh kuda tua mesin cetak yang bunyinya klatak…klutuk…

Kapan-kapan kalau Anda ke museum saya bisa menjelaskan bagaimana cara kerja benda kuno itu.[]

  • Darmansyah adalah wartawan senior, penulis “Kolom Bang Darman”