PIDATO infrastruktur itu seperti raib dari lalu lalang toll media. Komentator yang biasanya memburu rente “breaking news” mengendap di semak-semak pilkada.
Sudah dimuat di beberapa media online. Tapi tak ada tanggapan “luar biasa” dari netizen. Biasa-biasa saja. Datarlah, begitu. Sebagai seorang jurnalis saya heran. Kok gak ada yang punya nyali tajam.
Bahwa sebenarnya pidato itu bisa ditafsirkan dari berbagai sisi dan akan menarik kalau diperdebatkan. Tapi gak ada yang mau angkat ke posisi debat.
Kalau pun ada yang mengulasnya gak terang-terangan. Hanya menyesuaikan dengan pandangan. Mungkin untuk menjaga etika. Etika buluk. Gak mau memancing diskusi, menafsirkan, pada akhirnya memberi kesimpulan.
Kalau ada yang mau tentu sangat seru. Apalagi mendudukkan perbedaan itu dalam satu menjelis. Dari “kubu yang berbeda”. Tapi tidak ada yang mau. Setidaknya sampai saya meng-”up” tulisan ini.
Ada rasa enggan untuk mengutilnya. Mengutil pidato infrastruktur itu. Enggan itu kan antara mau dan gak mau.
Sebenarnya mudah sekali membicarakan dan menuliskannya. Gak perlu waktu panjang.
Yang menurut kebiasaan saya untuk menulisnya hanya butuh waktu setengah jam. Blas..blas..lanjut klik..klik..klik terus tut..tut..tut.. selesai.
Pidato infrastruktur itu yang saya lihat, dengar dan baca diucapkan di depan tentara muda.
Prabowo bicara soal pentingnya keamanan. ”Untuk apa membangun infrastruktur hebat-hebatan, jalan tol, bandara, kalau negara tidak aman.”
Kalau Anda ingin menulis atau mengomentarinya silakan pilih konteksnya. Boleh pilih konteks berbeda. Begitu juga dengan kesan berbeda.
Bahkan bisa memberi kesan sesuka hati. Yang pasti membicarakan dan menulisnya bisa lebih menarik.
Terserah dengan media. Bagaimana membolak-balik kesimpulannya. Bolak-balik kesimpulan sebuah peristiwa yang sama kan memang pilihan hidup media.
Bagaimana bisa menghasilkan kesan membangun infrastruktur itu salah?
Dan itulah yang kemudian menjadi kesan saya. Mungkin juga kesan umum. Kesan Anda. Kalau setuju.
Prabowo menyalahkan orang yang ia gantikan. Menyalahkan pembangunan infrastruktur dengan mengabaikan kekuatan. Keamanan.
Jika pun Anda ingin menjawab keduanya penting, terserah. Seperti jawaban seorang teman saya yang masih menjadi pimpinan media kemarin.
Jawabannya itu datang dari colek kawan lain yang minta pendapatnya.
Kalau saya terserah. Terserah juga jawaban kawan bos media itu yang mendahului kesimpulannya dengan kalimat mana bisa negara kuat tanpa infrastruktur yang baik dan memadai.
Infrastruktur yang baik akan membuat negara jadi efisien. Ekonomi jadi berkembang secara merata bisa dinikmati oleh seluruh rakyat di negara ratusan pulau ini.
Antardesa, antarkota, antarprovinsi saling terhubung dengan baik. Jangan hasil bumi dikeruk habis tanpa meninggalkan prasarana dan jalan yang lebih baik.
Masih sempit, banyak kelokan dan tanjakan, juga banyak kerusakan. Malah jalan raya dipindah hanya untuk diambil batu baranya. Ini mah merusak dengan semena-mena.
Ini milikku, kamu bisa apa. Kekuatan selalu yang lebih ditonjolkan. Toh tidak ada yang bereaksi karena sudah dicekoki dengan amplop yang ember-emberan rutin tiap bulannya.
Sekarang muncul fenomena baru lagi, jalan umum dipakai untuk jalan hauling batu bara antarprovinsi. Gimana ini bos?.
Membangun jalan sendiri belum bisa, harus menggunakan fasilitas publik. Kedua pemimpin tidak satupun yang menyinggung tentang korupsi dan usaha pemberantasannya.
Kelihatan jelas mau dibawa ke mana bangsa ini ke depan. Selamat menikmati yang kemarin telah memilihnya.
Saya jelas tidak karena ketiganya tidak satupun yang berkomitmen tentang pemberantasan korupsi, jadi tidak ada dosa yang harus ditanggung di akhirat nanti.
Lantas lain lagi dengan komen di grup whatsapp mantan jurnalis majalah berita mingguan yang saya salah seorang anggotanya.
Gak usah saya opinikan dalam komentar isinya. Cukup saya kutipkan aja utuhnya:
Sepertinya tidak ada yang aneh ataupun janggal dengan pernyataan infrastruktur itu. Kejanggalan dikaitkan dengan relasinya.
Yang disampaikan masih dalam tataran normatif dan kontekstual, karena memang prasyarat dasar suatu negara kalau membangun adalah kondisi aman.
Bagaimana suatu negara akan membangun kalau disibukkan dengan gangguan keamanan, contoh yang dekat adalah di wilayah Papua yang pembangungannya tersendat karena gangguan keamanan.
Logika sederhananya misalnya membangun suatu gedung butuh waktu yang cukup lama bisa tahunan, tapi bisa dihancurkan hanya dalam hitungan detik.
Itulah mengapa rasa aman adalah prasyarat dasar suatu negara kalau mau membangun.
Apalagi presiden terpilih mantan tentara tentu saja wajar apabila mengedepankan keamanan, kedaulatan bangsa dan negara sebagai hal prioritas dalam masa kepemimpinan.
Tentu juga ada aman lainnya: program makan siang gratis, eh maksudnya makan bergizi gratis.
Tulisan di whatsapp grup lainnya:
Soal kapasitas pribadi presiden yang akan dilantik, saya tak ragu.
Alumnus frogg bragg mana ada yang cupu. Termasuk lulusan terbaik bersama sahabatnya raja Jordania yang dulu nampungnya di masa gempa politik.
Raja Jordania, yang menyampaikan ucapan selamat ,ketika barusan kelar quick count pemilu.
Rekaman percakapan hangat antardua sahabat lama tersebut, kurang lebih bisa sedikit singkap kepribadian sang presiden.
Ingat ktt bali? Bah… ketika itu minggir ke samping menghindari karpet merah? Self awareness seperti itu, susah dipunya banyak orang.
Lihat saja berapa kali banyak juru bicara tokoh besar mbacot tak jelas di televisi, ketika memberikan pernyataan, sampai-sampai setelahnya menciptakan persepsi yang salah.
Kemudiannya bikin kelimpungan koreksi dari rekannya di hari berikut, itu contoh profil orang kurang “self awareness”.
Didapuk sebagai juru bicara, malah menyampaikan pengertian akal pribadi sendiri, bukan garis besar pikiran yang diwakili.
Di kesempatan berbeda seorang teman lain yang bukan orang media minta pendapat saya tentang pidato infrastruktur itu. Saya tetap bertahan gak mau mengomentari. Itu memang kebiasaan.
Tapi sang teman gregetan dengan kebiasaan saya ini. Lantas ia bikin cerita halu. Anda yang sudah tahu cerita halu akan bisa maklum apa maksudnya.
Saya tulis saja cerita halunya. Halu yang bikin tergelak. Tapi maaf karena ia seorang “lakum dinukum waliyaddin …” saya hanya mendengarkannya sembari hirup sanger. Santai…
Ini dia kutipan cerita halunya dan silakan bikin konteks sendiri:
…….seorang pendeta pergi ke dokter gigi, minta dibuatkan satu set gigi palsu.
Pada hari minggu pertama setelah ia memakai gigi palsunya, ia hanya berbicara selama delapan menit. Hari minggu kedua, dia berbicara dua belas menit.
Hari minggu berikutnya dia terus berbicara tanpa henti hingga dua setengah jam lebih, sampai jemaat mendatangi dia dan menurunkannya dari mimbar.
Mereka bertanya apa yang terjadi. Pendeta menjawab, “hampir sebulan yang lalu aku minta dibuatkan satu set gigi palsu.”
“Hari minggu pertama setelah aku pakai gigi palsu itu, gusiku masih sakit sekali hingga aku hanya bisa berbicara selama delapan menit.”
“ Hari minggu yang lalu pun gusiku masih sakit.”
“Bagaimana dengan hari ini?”, tanya jemaat.”Apa yang terjadi tadi?”
“Tadi pagi saya bangun kesiangan. Saking tergesa-gesa, tak sengaja salah ambil gigi palsu istriku, dan langsung memakai nya. Jadilah, aku tidak bisa berhenti bicara …”[]
- Darmansyah adalah wartawan senior, penulis “Kolom Bang Darman”