“Posay” Gelek  

Oleh Darmansyah

ESAI saya tentang “stigma ganja”  yang di up sebuah portal hampir satu bulan lalu,  pagi tadi dikomentari oleh seorang teman semasa sekolah lewat pesan panjang di whatsapp.



Pesan yang gaduh dengan hoha..hoha …Pesan yang ia layangkan dari benua jauh sana. Benua utara. Kanada. Disertai canda: “oiii, abis makan gulai kambing masih dikasih daun  ganja kering nggak?”

Ooii…nya itu sangat khas. Sangat kampungan. Gak ada gelitik britainica-nya yang medok telo.

Nama sang teman, Hamdani Ahmad. Sudah lama sebagai warga negara sana. Sejak memilih Ottawa sebagai negeri keduanya. Setelah ia beringsut dari Los Angeles,,,San Fransisco terus Ontario.

Kini ia menetap di pinggiran  kota kecil Burnaby di Provinsi British Columbia. Kota yang ia katakan sebesar Koetaradja.. Yang saya gak tahu apa Koetaradja lama atau kota serambi sekarang.  Lupa tanya…

Saya tahu Koetaradja menjadi perantauan pertamanya. Kala melanjutkan sekolah menengah atasnya di era Aceh “darul harb.” Koetaradja yang dalam benaknya masih ada Spordex, Stasion Atjeh Spoor maupun Bis PMAB.

Saya sering bertegur sapa dengannya usai ia mudik enam tahun silam. Dan di hari-hari terakhir ini intensitasnya meninggi. Saya tahu ia merindukan “wobakshot.”  Kembali lewat kenangan yang ada di memorinya.

Selain kewarganegaraan sana ia beristrikan juga orang sana. Punya dua anak jadi orang sana dan tiga cucu juga warga sana.

Saya cuma tergelak dengan kata seru “ooiii…. Sangat khas pertemanan era radio transistor sember antene bersilang bambu. Ooii.. yang kata seru dengan bunyi gembur bak teriakan dengan orang pekak.

Ooii…yang saya anggap sebagai akronim “orang Indonesia. Oi yang dulu terkenal sebagai jati diri anak-anak muda. Ooii..nya itu langsung saya balas dengan meng-”up” gambar boneka ketawa.

Sang teman yang ber-whats app ria itu,  tidak hanya teman biasa, tetapi juga tetangga. Tetangga sebelahan rumah panggung berdinding papan.  Dulunya. Di kampung udik negeri “posay.”

Tetangga yang sering mencampur bir cap bintang dengan bumbu rendang sebagai obat kuat yang kami namai “posay” lantas kami cas..cis..kan sebagai nama kampung udik.

Selain teman oii dan cas cis cus di negeri “posay”  ia juga teman sesama gelek.

Gelek yang mencampur ganja dengan tembakau rokok merek kisaran lantas dilinting. Selanjutnya glek-glek… melewatkan malam di sebuah meunasah tua dengan bantal balok kayu yang ditekuk tengahnya.

Wajar saja ia masih ingat tentang daun ganja kering karena saya dan dia merupakan urban gelek. Dia ke negeri utara turbelensi “jetlag” sedang saya ke selatan insomania.

Candaan sang teman khas joke ketika kami masih sebagai anak sekolah rakyat. Sekolah inlander untuk anak-anak udik.

Dipesannya itu sang teman menyelipkan rasa kangennya mengulang indahnya hari-hari ketika kami melinting.

Melintingnya bisa saja ketika  malam menyambut tahun baru.  Untuk itu di interfal pesannya saya mengais-ngais ingatan tahun baru itu.

Betul juga. Waktu itu persis pada malam pergantian tahun saya melinting bersama dia di sebuah rumah kosong. Dinamai rumah hantu. Karena sering muncul suara cekikan kala malam jumat. Bukan jumat kliwon…

Hamdani yang bisa saya ingat adalah teman terbaik semasa sekolah lanjutan pertama yang ayahnya seorang kepala sekolah.

Saya sebenarnya rindu untuk membuat ingatan itu benderang dengan lintingan gelek. Lintingan gelek yang gak pernah membuat  saya bla-bla-bla dicokok polisi. Bukan pencandu. Gak tergantung.

Kecanduan yang sering menjadi ocehan. Ngoceh ngelantur tidak karuan pengaruh gelek campuran ganja kering dengan tembakau rokok kisaran yang dilinting.

Ketika itu tidak ada orang ambil peduli dengan perayaan tahun baru. Di negeri “posay,” kampung saya dulu malam tahun baru tak ada bedanya dengan malam-malam yang lain.

Malam yang hanya diselingi suara dengung uir-uir. Selebihnya cekikan suara burung hantu dan harimau yang bermain ambai-ambai di pinggir laut hingga ke tubir karang.

Sang teman bisa berkicau bebas dengan ganja. Ia tercatat sebagai orang legal bergelek ganja. Kanada sebagai domisilimya sudah boleh makai ganja untuk senang-senang.

Memang ada lebih banyak negara yang masih melarang ganja untuk pengganti rokok, namun membolehkannya sebagai obat. Thailand adalah contoh terbaru dan terdekat.

Saya ingin membuka sedikit informasi gambaran tentang seluk beluk ganja yang masih kabur bagi beberapa orang.

Saya gak berkelit sebagai anak gelek daerah penghasil ganja. Saya akrab dengan barang terlarang itu. Wajar saja bila saya termasuk urban gelek.

Dulu saya sering  melihat ibu memasak sayur dengan menggunakan daun ganja. Ia  memasaknya seperti  sayur dengan daun singkong yang bentuknya agak mirip dengan daun ganja.

Makanya  kalau ditanya, apakah masakan ibu saya menggunakan bahan dari ganja? Jawaban saya adalah “iya” karena saya menemukan dan merasakannya.

Saya sebenarnya gak merasa bingung banyak orang  mengira-ngira masakan di kampung saya  ada campuran ganjanya.

Persepsi itu muncul lantaran banyaknya kasus penangkapan pengedar ganja yang berasal dari sana. Tambah masakan khasnya, seperti kuah beulangong, pliek u, maupun sie reuboh memang nyusss…

Sekali lagi gak ada yang salah bila orang menganggap, saking banyaknya ganja, sampai dijadikan sayur. Bisa benar bisa juga salah.

Perihal penggunaan ganja dalam masakan di kampung saya memang begitu adanya. Karena era itu memang begitu. Era gak ada larangan memakai daun ganja sebagai penyedap.

Era ketika saya melinting ganja dengan tembakau rokok merek kisaran, kansas dan escort gak ada polisi memata-matai. Karena gak ada orang yang fly macam lalat terbang.

Yang ada saat itu fly sebuah lagu dari nicky minaj feat rihanna. Atau fly album sarah brightman. Lagu di era ketika saya masih menjadi bagian dari kisah kasih di sekolah

Lantas sebagai urban gelek kenapa saya harus lari dari kenyataan. Kenyataan dulu ketika ibu saya menggunakan biji ganja sebagai bumbu masakan untuk menambah cita rasa.

Cita rasa yang gak perlu micin-micin dan kawan-kawannya. Kenapa harus dilarang. Kenapa harus dirazia ketika akan berlangsung pekan olahraga nasional. Kenapa… dan kenapa…

Tolong kasih jawaban agar saya bisa terus melawan stigmanisasi ganja dan kampung saya.

Kenapa harus ada kelucuan  pelarangan penggunaan ganja menyebab orang tidak lagi menggunakan biji ganja sebagai bahan masakan.

Kan nggak lucu juga kalau  lagi enak-enak masak tiba-tiba datang polisi.

Saya gak tersinggung bila muncul  pertanyaan dari orang-orang  luar seputar ganja. Gak bete mereka beranggapan bahwa ganja legal di kota ini, bahkan bisa ditanam di pekarangan rumah.

Yang saya lawan bila ada seorang menjustifikasi bahwa peristiwa gempa dan tsunami dulu karena di kampung saya orang kebanyakan mengisap ganja. Ini sudah kurang ajar.

“Kurang ajar” juga stigma negatif persepsi ganja lansiran pemberitaan di media dengan temuan berhektar-hektar tanaman ganja di berbagai pegunungan di pelosok provinsi saya.

Pemberitaan yang menjustifikasi bahwa semua orang di kampung saya menanam ganja. Kalau pun ada itu hanya dampak dari pelarangan dan dilakukan oleh segelintir orang.

Saya gak peduli ganja merupakan tanaman yang dilarang sesuai undang-undang. Terserah.

Dalam kehidupan masyarakat saya ganja bukanlah hal baru. Sejak era kesultanan, tanaman itu digunakan sebagai penyedap rasa makanan dan sebagai pengawet makanan.

Kalau sekarang penggunaan biji ganja dalam makanan sudah jarang dilakukan karena ketatnya aturan hukum yang berlaku terserah aja.

Yang saya tahu penggunaan ganja di tradisi gak pernah bergeser sebagai bumbu masakan. Bukan sebagai alat giting bersama.

Jadi buang pikiran kalian kalau orang-orang di kampung saya  sering ditemukan kewer di halaman rumah.

Dari banyak literasi saya mengikuti perkembangan fungsi ganja  Dalam dunia medis, ganja dikenal punya banyak manfaat. Ganja bahkan disebut tumbuhan ajaib karena efek positif yang begitu banyak.

Tapi penelitian tentang efek positif ganja belum bisa maksimal karena pelarangan membuat proses ngurus izinnya jadi ribet.

Karena efek positif yang didapat dari ganja, banyak negara yang mencabut larangan ganja.

Mereka melegalkan ganja dengan syarat yang ketat dan tidak bisa digunakan sembarangan. Dengan begitu, peredaran ganja ilegal bisa ditekan.

Manfaat medis yang didapat dari ganja adalah untuk mencegah kejang otot untuk pengidap epilepsi, mengurangi nyeri, menghambat perkembangan alzheimer, dan mengatasi depresi.

Di negara atau wilayah yang melegalkan ganja, keputusan ini didasarkan pada fakt: efeknya tidak seakut dan separah opium.

Selain itu ada pertimbangan seperti, peredaran ganja secara bawah tanah justru membuat harganya mahal dan menjadi lahan bisnis geng kriminal.

Dengan melegalkan ganja, penggunaannya jadi lebih terkontrol serta perdagangannya menggerakkan ekonomi. Sejumlah negara tercatat melegalkan ganja

Meski penggunaan ganja untuk kepentingan medis mulai lumrah untuk dunia, tetap saja di negeri ini ia dilarang.

Resistensi dari masyarakat yang masih mengenal ganja lewat stigma negatif menyumbangkan banyak penolakan terhadap usaha melegalkan ganja demi kepentingan medis.

Wakaupun  sudah ada penelitian tentang menjadikan ganja sebagai obat diabetes.  Tapi tidak bisa dipungkiri meski khasiatnya banyak, ganja tetaplah memiliki efek samping.

Selain sering disalahgunakan untuk kegiatan mabuk, ganja juga punya efek samping penyebab glaukoma jika dikonsumsi berlebihan.

Apa-apa kalau berlebihan memang nggak bagus. Mulai dari makan nasi sampai mencintai dia.[]

  • Darmansyah adalah wartawan senior, penulis “Kolom Bang Darman”