Innalillahi…Pribadi

Oleh Darmansyah

SAYA  mengenalnya. Lebih dari kenal….Kelebihan kenalnya: mengenal ayahnya.



Tidak sekadar mengenal nama. Kenal sampai ke cas..cis..cus…nya.  Cas..cis..cus..sangat khas. Khasnya Teuku Bordansyah. Ayah si yang “lebih kenal” itu. Si ayah yang humble….riang..dengan sapaan nyelutuknya.

Semua itu datang kembali setelah saya mengais-ngais punca memori setelah kabar duka itu datang.

Kabar duka tentang kepergian “si lebih kenal.”

Kabar duka yang mengalirkan kaisan sapa yang saya kenal dari seorang entrepreuner yang terakumulasi dalam onjak wartawan.

Pak Bordan, sang ayah “si lebih” kenal. begitu kami dan banyak orang menyapanya,  memang berada di jepitan humble..keriangan sapa nyelutuk bagi yang mengenalnya..

Onjak seorang  pedagang dalam bauran seorang wartawan yang meninggi. Setinggi titian benang.

Dan Pak Bordan memang begitu setahu saya. Juga setahu orang yang menjadi jembatan saya dengannya. Pak Arahas. Arahas pemilik suratkabar kembang-kempis “taufan.”

Tak banyak orang yang bisa mengingat suratkabar itu di hari-hari ini. Hari-hari “online.” Hari-hari mati satu tinggal seribu.

Itu yang membedakannya saya dengan orang yang mengenal si “lebih kenal” itu. “Si lebih kenal”: Teuku Pribadi….

Teuku Pribadi Borthan yang di bakda subuh tadi pagi saya menerima pesan dari kata bersambung: “innalillahi….”

Saya sedikit gugup membacanya.

Lantas mem-“blow up” foto-fotonya di aplikasi facebook dan ketemu dengan sambungan kata.. wainna Ilaihi rajiun.”

Sambungan kata yang disertai share tatapan sumringah dari foto-foto yang di “up”. Fota dan baris kata yang panjang di  layanan daring media sosial pertemanan itu. Jaringan sosial milik raksasa teknologi meta platform yang memudahkan saya dan Anda mencari lebih awal perkabaran.

Ke sanalah saya datang membaca ulang profilnya, unggahan foto, kontak-kontaknya dan informasi terbarunya.

Secara pribadi… bukan untuk nama Teuku Pribadi…saya bukan maniak facebook.

Status saya sendiri di jejaring itu bak rumah tua. Keropos. Seperti keroposnya “cerita darmansyah” yang di-up teman.

Padahal saya sudah diingatkan penggunanya dapat memperluas silaturahmi dalam sumbu komunitas untuk melakukan koneksi dan berinteraksi dengan pengguna lainnya.

Ya…  pagi tadi saya berdamai menelusuri jejaring itu khusus untuk menatap sungging senyum “si kenalan.”

Sungging senyum di banyak share lokasi. Di banyak posting pertemanan. Di banyak kedai kuliner atau entah di mana-mana. Andalah yang lebih tahu…

Di jejaring media sosial itu ia menuliskan namanya: Teuku Pribadi Borthan. Saya tak pernah tahu kenapa harus Borthan…

Saya sudah lama gak pernah menyapanya usai ketemuan dalam suasana haha..hihi.. di sebuah kedai nasi gurih yang tak jauh di rumah tetirahnya. Sebuah rumah yang saya ingat benar roadmapnya.

Rumah sang ayah…Rumah yang dibangun di sebuah masa lalu. Masa sang ayah bergabung di trading bernama firma anda. Trading yang dimiliki seorang entepreuner hebat. Teuku Hamdani.

Teuku Hamdani yang mantan tentara pejuang yang membangun firma dagang ekspor impor.

Hari-hari ini Pribadi telah tuntas menjalani periode  panjang kehidupannya. Di usia tujuh empat tahun.

Perjalanan sebagai aparat sipil negara. Banyak berpindah tugas. Hingga di sebuah tahun pertengahan dua ribu ia diangkat sebagai Penjabat Bupati Aceh Utara.

Pribadi dikenal luas oleh masyarakat baik karena kepribadiannya maupun jabatan publik yang pernah dipercayakan kepadanya.

Pernah menjadi pegawai di lingkungan dinas pekerjaan umum, kepala dinas di kominfo provinsi, kepala biro humas setwilda, kadispora, sekretaris dewan.

Di ujung kariernya, usai berkecimpung di sebuah organisasi massa yang kemudian menjelma menjadi partai politik ia ditunjuk menjadi komisaris pt timah.

Saya hanya bisa bergumam tentang kepergiannya ini: pengalaman kehidupan ini sangat kaya. Tak terkecuali Teuku Pribadi. Pengalaman badan, pikiran, roh. Tiada  terhingga.

Tidak mudah bahasa mengungkapkan ke-tak-terhingga-an pengalaman manusia, seperti saat ini ketika saya mengenang kenalan Teuku Pribadi yang lahir di Banda Aceh tujuh puluh empat tahun lalu.

Ia tutup usia Jumat dinihari.

Puluhan tahun kami terikat dalam pertemanan. Tidak di tempat kerja. Tapi di ruang luas kehidupan. Dengan jarak kerja dan profesi berbeda pergaulan saya dengannya naik turun.

Ada masa-masa mendekat. Dan di sebuah waktu yang panjang sangat menjauh. Ini adalah cermin kehidupan. Tapi suasananya gak pernah terlepas dari pertemanan.

Teman yang selalu menekankan pentingnya kebersamaan. Ia selalu mengatakan tiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan.

Kelebihan yang lain niscaya menutupi kekurangan yang lain. Semua saling melengkapi. Selalu mampu melihat kebesaran tiap orang.

Dengan adagium itu ia bisa ketemu siapa saja, tokoh masyarakat yang lalu lalang dalam kehidupannya tanpa mengenakan topeng, dan lain-lain.

Bagi saya Pribadi adalah pekerja yang tidak sekadar mencari jati diri, tetapi juga melakukan apa yang bisa diistilahkan sebagai soul searching.

Dia sangat aktif dengan banyak kegiatan, terutama setelah pensiun.

Sebagai orang yang sama-sama memandang bahwa yang penting bagi seseorang adalah apa yang dijalani, proses, saya tahu ia akan terus berjalan—menuju ke-tak-terhingga-an.

Jalan yang ia tempuh di dunia berakhir sembilan belas juli tengah malam kemarin. Jumat dinihari.

Teman-teman kaget. Terasa begitu mendadak. Padahal gak ada yang mendadak. Samar-samar saya melihatnya melanjutkan perjalanan menuju kedamaian tak terhingga.

Belakangan ini saya merasa kehilangan banyak sahabat dan teman. Beberapa namanya cukup dikenal masyarakat.

Situasi saat ini terus terang membuat saya melulu dibayangi rasa cemas memikirkan sanak saudara, handai taulan, sahabat, teman, dan lain-lain.

Dalam suasana batin seperti itu, saya tertegun ketika  kabar duka itu datang.

Kepergian Pribadi mengejutkan semua teman. Saya mengabari beberapa teman lebih muda yang sebagian saat ini masih aktif di di banyak tempat.

Sebelumnya ia tidak banyak membicarakan dirinya. Termasuk penyakit yang diidapnya.

Tiba-tiba saja dia pergi begitu saja.

Nanti, di bukit sepi, akan datang teman mengunjungimu, berdoa di depan pusara, di mana tertulis: Teuku Pribadi bin Teuku Bordansyah…[]

  • Darmansyah adalah wartawan senior, penulis “Kolom Bang Darman”