Moderator Kopi Tarik

Screenshot

Oleh Darmansyah

KEMARIN ia datang mengklarifikasi candaan saya tentang seribu warung kopi di negeri “ideh.”



Klarifikasinya saya beri “cap sikeureung”. Sahih.

Kesahihannya berasal dari investigasi lapangannya bahwa di negeri “ideh” keude kupi  bak kluster perumahan di bumi serpong damai. Berbaris-baris, berbanjar-banjar dan berlapis-lapis.

“Bak jamur di ujung musim penghujan,” katanya di sebuah sapa siang dari solong beurawe ketika berkunjung untuk kepentingan “talkshow” di akhir bulan lalu.

Ia katakan, kedatangan itu yang pertama sepanjang hidupnya. “Ekstase,” komentarnya. Mohon jangan dipersepsikan dengan kata ekstasi di era “pulut panggang” saya dulu. Ekstasi yang…..

Ekstase yang dimaksud si yang datang klarifikasi itu merujuk pada keadaan kesadaran yang meningkat atau pengalaman yang sangat menyenangkan.

Ia mengatakan kedatangannya itu juga untuk membuktikan isi kebenaran candaan saya yang peringkatnya di angka dua puluh empat kuadrat.

Yang isi candaan itu: “picingkan matamu, ambil segenggam batu, lemparkan ke semua arah jatuhnya pasti ke keude kupi…”

Candaan sejak dulu-dulu sekali. Yang ia tanggapi dengan sinis sebagai uap anyir. Berbau “hoaks.”

Hari ia klarifikasi kebenaran candaan itu saya buka-bukaan  muasalnya. Ia bukan milik saya.

Pemiliknya seorang peneliti klas ayatollah dari ihio university.

Peneliti yang pernah menjadi mentor di sebuah lembaga penelitian kampus “tekad bulat.”

Kampus di negeri pucok krueng.

Nama sang peneliti William Lidle. Saya menyapanya dengan akrab: Bill.

Selain mengajarkan ilmu sebuah penelitian, Bill ini banyak membuat “joke” tentang keude kupi ketika tinggal di sana. Tentang “segenggam ..lempar batu”  itu merupakan salah satunya.

Bill sangat humble. Saya sendiri punya pengalaman banyak dengannya. Banyak sekali…. Gak mau cerita… bisa bikin mbong…

Untuk canda “lemparan batu” itu saya hanya  seorang plagiat. Plagiat  menyalin utuh “joke” si Bill kemudian menghapus nama pemiliknya seolah-olah hasil rekayasa sendiri.

Sebelum “ta jak” ke negeri ujung donya itu ia gak  pernah percaya bunyi candaan itu.

Tiap kali saya omongin ia selalu membalas dengan “hack.” Ketawa …hahaha….. disertai tutur telo terbata-bata dengan lidah tertekuk yang gembur: “pane na …bek i peungut kee.

Saya selalu terbahak mendengar cengkok desis yang datang dari suaranya. Mungkin, kalau Anda juga mendengar sendiri bagaimana ia menirukannya celana dalam bisa basah menahan geli…

Maklum lekuk lidahnya “n-jowo.”  Sesuai dengan muasalnya dari sebuah kampung udik di purbalingga.

Anda tahu dan ia pun sudah tahu kata “peungut” itu adalah khas tipu aceh.

Kemarin itu ia datang membawa “bungong jaroe.” Tentang kebenaran candaan saya sekaligus merentang haba bagaimana nikmatnya secangkir besar kopi tarik dari keude: “daphukopi.”

Kopi tarik yang ia katakan sebagai moderator untuk menghentikan sebuah diskusi di pagi hari.

Secangkir kopi tarik ….secangkir lagi… dan secangkir lagi…. untuk diteruskan sampai siang .. sore hingga larut malam yang diseruputnya.

Dan ketika di sebuah malam hari keduanya di negeri “ideh” di kawasan keudah ia baru tahu candaan saya bukan hoaks.  Ia gak berani melempar batu ke semua arah.

“Saya hanya  berani melempar pandang,” katanya. Lebih dari cukup. Semuanya jatuh ke keude kupi. Solong, taufik, smea dan entah apa nama lainnya,, hahaha…

Ia juga memuji kopi tarik yang ia seruput bak segelas anggur. Secangkir kopi tarik yang disiapkan dengan hati-hati adalah minuman sudah jadi.

Ia memilih seruputan “arabica gayo mountain coffe”  Ia tahu arabica gayo kopi terkenal di dunia.

Ditanam petani di lereng pergunungan gayo, kopi ini memiliki keasaman sedang dan kental.

Kopi dengan rasa yamg sama pernah dinikmatinya di sebuah kafe di bandara charles de gaulle. “Saya menikmatinya dalam kekentalan agak berbeda dengan lima belas euro.”

Yang kemudian ia ketawakan harga euro yang dibayarkannya itu lebih dari cukup mentraktir sepuluh meja masing-masing untuk empat kursi kupi sharing di “dhapukupi.” Wkwkwk…..

Lantas ia bercerita tentang arabica gayo yang tingkat kemurniannya di strata sepuluh.

Sebagai penikmat kopi ia tahu sejarah kopi. Selalu memposisikan arabica gayo mountain coffe sebagai kopi paling bagus dan mahal.

Ia juga punya kesan sangat dalam usai ke negeri “ideh” bahwa kedai kopi menjadi ruang sosial yang diciptakan di luar kendali siapapun.

Kedai kopi di negeri “seribu…” itu memperlihatkan bagaimana masyarakat sipil dapat berkembang dengan cara yang tidak terduga.

Ini terlihat dalam penyebaran informasi.

Pengunjung memperbincangkan apa saja. Semua isu. Ada yang isu politik, ekonomi, ataupun isu sosial.

Mereka juga memperbincangkan kasus vina, salah tangkapnya eki hingga dipecatnya ketua pe-we-i.

Baginya kedai kopi negeri “ideh” di strata mana pun memungkinkan pengunjung berpartisipasi dalam aktivitas dan praktik, dialog dan pertukaran yang terjadi di luar batas kelas tradisional.

Tidak ada batas siapa membahas apa. Benar-benar berfungsi sebagai ruang publik ..public spare..offentlichkeit. Tempat interaksi sosial di luar ruang privat dan ruang otoritas publik.

Saya sendiri mendapat pencerahan darinya tentang istilah “offentlichkeit.” Yang hakikatnya kondisi komunikasi di sebuah formasi opini dan aspirasi diskursif warga dapat berlangsung.

Offentlichkeit_tidak dikooptasi kekuasaan. Dan ia tumbuh dari ruang kehidupan.

Meskipun ada banyak lembaga ruang publik lainnya—dalam bentuk klub, teater, dan sejenisnya—kedai kopi adalah lembaga ruang publik terpenting.

Tiga karakteristik utama dimiliki oleh kedai kopi sebagai lembaga ruang publik: sosialisasi, kesetaraan, dan komunikasi.

Di dalam ranah kedai kopi sekelompok orang yang heterogen berkumpul untuk terlibat dalam debat rasional tanpa memandang peringkat.

Tentang kopi sendiri ia ngoceh bagaimana kopi dipilih, disangrai, dan diseduh tanpa kandungan gula sebagai bagian dari persamaan.

Lantas ia bercerita tentang kandungan kopi dengan mengutip banyak literasi yang membuat saya hang..hing…hong dan mengakhiri tulisan ini tanpa memerlukan moderator.[]

  • Darmansyah adalah wartawan senior, penulis “Kolom Bang Darman”