Broadcaster Politik

DIA seorang broadcaster.  Sebutan itu bukan saya yang menabalkan. Saya hanya mengamini. Karena tahu ia memang pantas menyandangnya.

Alasan sumir sebutan itu diberikan karena pergulatannya dengan dunia kerja broadcasting sudah di tingkat sufi.



“Kalau ingin belajar tasauf broadcasting pergi saja kepadanya,” tutur seorang teman saya yang juga temannya di sebuah hari.

Saya tahu broadcasting  adalah proses penyampaian informasi yang disampaikan secara bersamaan ke berbagai lokasi melalui satelit, radio, televisi dan media online untuk ditujukan kepada audiens.

Sebagai broadcaster ia sudah menekuninya dalam bilangan dekade. Onak durinya dunia broadcast sudah ia lewati. Untuk itu banyak orang menganggapnya ayatollah broadcaster.

Bagi saya ia bukan hanya broadcaster. Tapi juga seorang esais, juragan, sekaligus guru filsafat jurnalistik. Produk “casting” ramuannya bukan tipikal esek gesek.

Perannya di banyak sisi itu diakui kawan dan lawan. “Orang boleh gak ngah dengannya. Untuk membantah perannya di banyak sisi itu sangat sulit. Ia jenis makhluk totalitas”.

Pernyataan itu kutipan dari tumpuk pertemanan yang ia bangun. Saya sendiri mendengar langsung dari temannya yang teman saya juga.

Teman mantan pemimpin redaksi sebuah media mainstream. Media yang sudah damai di liang lahat.

Saya punya alasan untuk menulis tentang si broadcaster hari-hari ini. Hari-hari kembang bunga seroja politik “hantu laut.” Politik pragmatis atas nama koalisi. Yang semua masalah dikoalisikan.

Lihat, dengar dan tonton perdebatan di media. Mainstream, medsos, radio, televisi atau media kucing belang.

Perdebatan isinya sampah busuk muntahan bantah membantah, dukung mendukung yang cairannya mengambang di perairan hingga di ceruk laut dalam bak racun mematikan.

Berangkat dari kenyataan inilah si broadcaster menawarkan sebuah konten produk baru bernama: “politainment.”

Konten ini ditawarkannya lewat sebuah catatan yang ditulisnya dengan ringan, tapi… Persis seperti jargon kolom saya di sebuah media online: ringan tapi berisi. Maaf ada mbong-nya…

Ia mengatakan dengan jelas tentang polititainment  di catatannya yang  bergaya esai reflektif. Esai yang ia katakan gak berbau akademis.

Saya tahu apa itu esai reflektif: tulisan  tentang Anda dan pemikiran Anda. Esai yang memerlukan bukti untuk mendukung refleksi.

Sedangkan refleksi itu sendiri adalah gerak mundur untuk merenungkan kembali apa yang sudah terjadi dan dilakukan.

Jadi ia tahu sesuatu itu harus dilakukan dengan sadar dan terencana. Tidak spontan.

Kembali ke politainment. Istilah itu muncul “sekenanya.”  Menggabungkan kata berita politik dalam kemasan hiburan.

Saya minta kosakata itu jangan cari di kamus apapun. “Sia- sia”  Seperti juga ditulis oleh si broadcaster di esai sepanjang dua folio dengan huruf times roman yang memikat.

“Tak akan ketemu arti kata itu dalam kamus apapun.”

Saya setuju aja dengan pernyataannya seputar kosakata politainment. Setuju kata itu bisa memperkaya kosakata bahasa nusantara. Toh selama negeri ini defisit kosakata.

Saya membalik kisah kosakata politainment dikaitkan dengan infotainment. Tampaknya akar kata ini diilhami istilah infotainment. Istilah yang dulu pernah trending topik di lingkungan mak-mak.

Infotainment setahu saya sebuah program hiburan yang menyorot kehidupan artis dan kalangan selebriti yang marak pertengahan tahun sembilan puluhan.Era jayanya esek gesek berita selebrita.

Esek gesek seperti dikatakan si broadcaster kini pindah ke figur politisi. Kalau Anda gak percaya pelototi saja layar televisi kita dan berbagai saluran informasi di media digital.

Kalau Anda sih oke.. dengan kosakata politainment itu saya hanya bisa ikut senang.

Senangnya gak ada yang salah ketika hari-hari ini tingkah ulah politisi mendominasi sosial media, media mainstream, media online dan program news televisi berita negeri “cakak gadang” ini.

Kemasan beritanya berada di tataran format breaking news, hard news maupun talkshow. Apalagi di tahun politik sekarang ketika banyak rekomendasi menjadi partautan kepentingan.

Pertautan kepentingan yang disertai kawin cerai. Kawin cerai koalisi. Yang patronnya makin gak jelas. Yang kemarin bergandengan hari ini cerai hidup. Gak ada yang namanya cerai mati.

Yang kemarin dulu tuding menuding kini rujuk cipika cipiki sembari ber-hahaha melupakan perang bubat yang sempat degup jantung pendukung fanatik koma…

Andalah yang tahu dan bisa menulis lebih lengkapnya. Kalau saya sudah muntah titik…titik…setelah mual bertahun-tahun.

Makanya untuk menahan muntahan itu perlu diwarnai dengan kreasi baru sebagai jawaban atas kondisi yang terjadi. Politainment mungkin pilihan pas  seperti juga di infotainment dulunya.

Infotainment istilah “sekenanya”. Penemunya saya tahu. Seorang tokoh pertelevisian. Sudah berpulang.

Ia menemukan istilah  infotainment untuk memudahkan kepentingan marketing bagi pemasang iklan  di dalam industri televisi. Basis dari infotainment itu datang dari acara “gosip show”.

“Gosip show” ala televisi negeri di nun jauh sana yang diadaptir dalam berita  hiburan, ringan tapi justru disajikan dengan  prinsip kerja jurnalistik.

Basisnya: fakta. Bahwa banyak menganggap acara itu gosip, saya tahu karena  pembahasan seputar kehidupan selebriti sudah terlanjur dilabeli dengan istilah gosip.

Apakah politainment akan berbasis yang sama?

Jawabannya: iya.

Konsep kontennya harus dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Kemasannya gak perlu terlalu berat, serius, lebih bernuansa politik. Maunya memberi tekanan pada berita.

Maunya lagi televisi bisa punya nama dan tayangnya pun stripping Bisa setiap hari. Saya yakin jumlah jam tayangnya bisa mengalahkan jam siaran berita.

Politainment ini tahun sebelumnya sempat tayang di sebuah televisi. Tapi husss…gak bertahan lama.

Ada masalah. Umumnya pemilik stasiun televisi juga pimpinan partai politik. Ada conflict of interest. Mereka lebih afdhol bikin versi sendiri.

Masyarakat pun akhirnya terbiasa mengkonsumsi informasi tentang politikus dengan segala tetek bengeknya dalam kredo “ hidup, cinta, dan airmata”.

Dalam program politainment televisi lebih seru lagi  jejak infotainment melekat. Dari visual dan musik opening before broadcast  maupun closing before bebroadcast. Dramatis menyerupai infotainment.

Host politainment pun demikian. Sebelas duabelas dengan infotainment.  Intonasi dan artikulasi mirip sekali.

Bedanya ini saja: kalau infotainment berbasis  artis dan selebriti, sedangkan politainment mengulas para politikus sebagai menu utamanya.

Dalam infotainment, artis yang masih jomblo akan ditanya kapan menikah. Setelah menikah ditanya kapan merencanakan punya momongan (anak).

Artis yang sudah married tapi jalan sendiri, mulai dicurigai sesuatu telah terjadi dalam rumah tangganya. Namun anehnya,  kelak, pasangan itu akhirnya memang bercerai karena ada masalah.

Hampir sama dengan di dunia politik.

Apa beda dalam politainment yang mengulas soal masa bertahan suatu koalisi, sampai “perceraian”.

Dalam infotainment biasanya redaksi akan menetapkan nama artis terkenal yang diprediksi akan mendominasi informasi seputar kehidupan selebriti dalam setahun.

Seperti itu agaknya yang terjadi di politainment dari si joko hingga si kandar sampai si bowo. Sesekali mencuat nama si anu yang anunya anu…

Di dunia infotainment, yang menjadi aktornya pasti polisi, pengadilan atau pun lawyer yang  menjadi lokus sebagian kisah yang disajikan.

Di politainment Anda sudah tah: gak beda. Terutama tentang rating dan share audience program ajak saja tim survei.

Toh survei – survei itu memang menggunakan metedologi ilmiah, namun masih banyak yang hasilnya menghina akal sehat publik.

Keluhan itu juga diutarakan sejumlah politisi dan pimpinan parpol.

Dengan “kemiripan” yang ada antara infotainment dengan politainment tonton aja sebagai mencari hiburan.

Tonton bak drama.

Toh drama  politik.

Kok disikapi dengan serius.

Hambokan saja.[]

  • Darmansyah adalah wartawan senior, penulis “Kolom Bang Darman”