GeRAK Aceh Dorong Partisipasi Perempuan Wujudkan Pilkada Inklusi dan Demokratis

Foto bersama peserta dan narasumber diskusi yang dilaksanakan GeRAK Aceh menggandeng Aceh Women’s for Peace Foundation (AWPF) di Banda Aceh, Sabtu, 10 Agustus 2024. (Dok GeRAK Aceh)

PORTALNUSA.com | BANDA ACEH – Lembaga Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh melakukan diskusi bersama Aceh Women’s for Peace Foundation (AWPF) untuk mengoptimalisasi peran kelompok perempuan pada Pilkada 2024. Kegiatan berlangsung di salah astu warkop di Banda Aceh, Sabtu, 10 Agustus 2024.

Destika Gilang Lestari mewakili GeRAK Aceh menyampaikan bahwa ini bentuk kolaborasi untuk mengawal Pilkada 2024.

Sebelumnya, GeRAK Aceh uga sudah berdiskusi dengan orang muda dan disabilitas tentang peran mereka dalam mengawal pilkada yang inklusi di Banda Aceh. Juga dengan AJI mendorong peran media pada pilkada ke depan.

“Pada setiap diskusi ada rekomendasi mengenai peran perempuan dalam pilkada nanti,” kata Gilang.

Ketua KIP Banda Aceh, Yusli Razali mengakui sangat menarik mendiskusikan peran perempun pada pilkada.

Manurut Yusli, jumlah pemilih perempuan lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki. Hal Ini menunjukkan bahwa perempuan memiliki peran yang sangat besar dalam proses demokrasi di Banda Aceh.

Oleh karena itu, sangat penting bagi LSM perempuan untuk mendorong perempuan agar tidak hanya menjadi pemilih, tetapi juga calon pemimpin.

Indra Milwady selaku Ketua Panwaslih Banda Aceh menjelaskan, pemilu di Indonesia sudah cukup akomodatif terhadap perempuan dan penyandang disabilitas.

Dikatakan Indra, perempuan di Indonesia mendapatkan dukungan melalui kebijakan afirmatif, di mana ada kewajiban 30% keterwakilan perempuan dalam kepengurusan partai politik. Jika syarat ini tidak terpenuhi, partai tersebut tidak dapat mengikuti pemilu.

“Ruang partisipasi bagi perempuan sebenarnya sudah cukup terbuka. Namun, tantangannya adalah bagaimana kita bisa mengajak lebih banyak perempuan untuk terlibat aktif dalam pilkada,” kata Ketua Panwaslih Banda Aceh.

Unsuril Imani selaku perwakilan kelompok perempuan menyebutkan, kendala yang dialami perempuan ketika berpartisipasi bahkan mencalonkan diri adalah isu perempuan tidak boleh jadi pemimpin. Ini sangat membatasi ruang perempuan, apalagi ketika dikaitkan dengan isu agama.

“Padahal kita tahu hak berpolitik merupakan hak semua warga Indonesia baik laki-laki maupun perempuan,” kata Unsuri.

Pada sesi diskusi yang melibatkan AWPF emua peserta yang hadir merumuskan bersama agar adanya policy brief terkait peran dan partisipasi kelompok perempuan dalam mewujudkan pilkada yang inklusi dan demokratis. Rumusan itu nantinya akan diserahkan kepada penyelenggara pemilu dan pemangku kepentingan.[]