Musuh Menulis

Oleh Darmansyah

NAMANYA Desmond. Umurnya separo dari usia saya. Ia pernah menjadi “murid” kelas “wakataba” yang ingin belajar mengayuh sepeda.  Di kelas “wakataba” itu saya salah seorang mentornya.



Kelas “wakataba” adalah kelas menulis. Dan setiap murid punya keinginan mengayuh asa untuk bisa menulis.

Murid kelas “wakataba” itu datang dari berbagai kelompok dan  secara berkelompok. Seperti Desmond. Kelompok dari komunitas “middle manager.” Peringkat kelompok manajer menengah.

Level manajer ini berada di bawah top manajemen dan di atas manajemen lini pertama.

Secara hirarkis struktural middle manager ini biasanya bertanggung jawab kepada top management karena posisinya ditunjuk langsung oleh pucuk manajemen.

Hari minggu pagi pekan lalu ia datang dengan wajah kusut masai, sewot. misuh-misuh sembari menggerutu tapi masih bisa mengeluarkan canda: “aku sedang menghadapi situasi sulit.”

Di ujung kata sulit itu ia ketawa renyah. Yang saya balas juga dengan kerenyahan plus: “kok orang di situasi sulit bisa ketawa…”

Selanjutnya… saya dan Desmond ketawa ngakak dalam durasi yang panjang..haho..haho..

Desmond memang senang ketawa hingga ngikik terkikik sejak saya mengenalnya tiga bulan lalu. Khas tawa anak pantai yang tawanya harus mengalahkan debur gelombang ke tubir karang.

Asbab an-nuzul  mantan si murid kelas “wakataba” itu “losut masut” datang  ke saya karena kesulitan-nya menyelesaikan sebuah tulisan. Sedemikian sulitnya sehingga gak pernah tuntas.

“Selesai tetapi tidak yakin isinya. Dan menulis ulang lagi… lagi… dan lagi….”

Hasilnya?

Malah lebih kusut. Gak bisa memulainya kembali. Hingga berhari-hari, dan akhirnya pusing tujuh negeri….

Tambah pusingnya si Desmond karena otaknya berkarat dengan keinginan untuk  menuliskannya sampai tuntas.

“Gak jadi …dan tidak pernah jadi..”  Itu yang membuat kepalanya hang..hing…heng.. dan hatinya tidak nyaman dan bahagia.

Saya cuma ketawa mendengar dengkur taklimat kata perkata yang dituturkan mantan murid kelas “wakataba” itu. Ketawa… karena tahu musabab situasinya. Situasi yang dialami oleh semua penulis

Situasi yang sama seperti sering saya alami, Padahal label ditahbiskan ke saya di sebuah kolom sebagai senior. Senior “ancuk,”

Tentu bukan hanya senior yang mengalami “deadlock” yang sama. Suhu penulis pun mengalaminya. Kecuali mereka yang sudah  dikukuhkan sebagai ayatollah. Yang anda tahu siapanya orangnya…

Nah,…. Kalau ini kasusnya apalah arti seorang Desmond. Anak kemarin di tulis menulis yang baru mengayuh “sepeda” di trek lurus. Belum berada di tanjakan.

Saya tahu Desmond seorang professional. Manajer human resources development yang akronimnya ha-er-de di sebuah mall besar.

Tahu juga tema yang ditulisnya, Masih dalam lingkup keahliannya: resign.

Resign yang harfiahnya mengundurkan diri, menyerah dan juga berhenti. Kata ini sering dipakai oleh seorang pekerja yang sudah tidak nyaman lagi dengan pekerjaannya.

Tidak hanya dilakukan oleh pekerja yang masih berstatus staff saja, bahkan atasan pun bisa resign dari pekerjaannya.

Alasannya  memilih persoalan resign ini berdasarkan pengalaman dan keahliannya, “Karena ada tantangannya, om.” katanya kepada saya dengan sapaan om.. Yang kali lainnya ia sapa pek de… Yang saya oke-oke aja.

Tantangan resign ini sangat ia kuasai.

Alasan lainnya, resign kini sedang menjadi issues yang trending dan menjadi pilihan bagi mereka di dunia kerja sekaligus mudah baginya untuk menuliskannya sebagai seorang human resources.

Orang sumber daya manusia.

Lantas … ia ingin menuangkannya  untuk di publish. Dibaca oleh publik.

Ia mengatakan  sudah paham proses menulisnya dari kelas “wakataba.” Dimulai dari pikir. Dipengaruhi banyak faktor. Baik internal, psikologis mapun aspek eksternal.

Bagi penulis yang sudah terlatih, akan mampu mengendalikan dan mengantisipasi aspek-aspek itu secara bijaksana sehingga bisa terus menuliskannya secara berlanjut

Desmond ingin menulis secara renyah, simple, singkat, tetapi fokus dan menohok isi serta sarat inspirasi. Itu yang menjadi kemauannya.

Dalam presentasi di kelas “wakataba” yang Desmond sebagai salah seorang muridnya saya sudah menjelaskan musuh minimal dalam menulis.

Salah satu musuh minimal itu, terutama bagi pemula: tidak memahami fokus sebuah tulisan. Mereka pikir semua  hal  ingin ditulis. Bak menjejerkan gerbong rongsokan.

Akibatnya, ketika menulis menjadi sporadis dan tidak mendetail pada isu utama yang diminati.

Keadaan ini sering juga dialami penulis apabila memiliki banyak data, informasi yang dimiliki, tetapi lemah dalam memilah dan memisahkan

Tidak tahu membedakan mana data yang utama dan tidak utama, Mana yang penting dan tidak penting.

Juga sering ada ketakutan kalau data yang dimiliki tidak terpakai.  “Sayang kalau data atau informasi dibuang!”

Makanya betul sekali kasus ruwet yang dialami Desmond. Kalau sudah ruwet isi tulisannya pasti amburadul. Gak jelas mana yang hendak diulas, diutas dan dituntas.

Gak tahu juga mana detail yang menarik, dan mana yang sampah  agar tidak mengganggu inti dan fokus tulisan.

Masalah inilah yang saya cerahkan kembali ke si Desmond sembari mengingatkan kembali alpanya dia menyiapkan kerangka isi tulisan.

Sekalian  mengatakan punca keruwetan itu karena tak memiliki simpul atau arena kunci yang akan menjadi pengikat dan pemikat sebuah tulisan.

Saya tahu betul pembaca harus digiring pada sebuah isu yang menjadi daya tarik, walau hanya sekedar sebuah inspirasi tetapi audiens bisa lanjut menuntas bacaannya.

Padahal, ada kecenderungan sangat kuat saat ini pembaca mau yang singkat dan ringkas, dan lebih baik kalau ada info grafis, gambar atau ilustrasi.

Tentu saja, berbeda bila tulisan yang berbau “agak ilmiah” atau ilmiah penuh. Kutub tulisan ini mempunyai kriteria minimal yang harus dipenuhi sebagai referensi bagi pembaca.

Musuh lainnya yang harus dituntaskan Desmond adalah dikira ”penting” itu pasti menarik. Maka tulisan menjadi sangat berat dan kaku.

Ini musuh yang tidak mudah ditaklukan. Penting dan menarik.

Bagi penulis inti penting, karena info dan datanya sangat penting, tetapi belum tentu menarik bagi pembaca, sehingga sangat terbatas.

Tantangannya adalah bagaimana cara menyajikan tulisan yang penting dengan daya tarik yang tinggi, sehingga pembaca rela singgah membacanya.

Dikira ”menarik” itu penting. Hasilnya jadi tulisan tidak berbobot.

Ketika tulisannya sangat menarik tetapi tidak penting, hasilnya tidak memiliki makna bagi si pembaca. Tulisan semacam ini lebih banyak “banyolan” alias joke saja.

Kalaupun banyak yang mampir membaca, sangat mungkin bagian dari komunitas atau sekedar mencari inspirasi saja.

Musuh lainnya sering dihadapi dalam pidato pejabat yang panjang dan isinya tidak ada yang layak untuk dikutip sebagai bahan tulisan.

Musuh ini fokus kepada para pejabat, atau petinggi dalam organisasi yang berpidato sangat panjang sehingga susah bagi publik menangkap apa point kunci dalam pidato tersebut.

Dalam konteks menulis, panjang atau pendeknya sebuah tulisan sangat tergantung target dari tulisan itu. Seperti target dari seorang Desmond.

Juga jenis dan level bobot tulisan yang dipublish ke publik.

Kata kuncinya adalah, sepanjang apapun sebuah tulisan, maka si penulis harus fokus pada inti tulisan itu

Tempatkan pembaca sebagai sahabat seperti Anda bertutur. Jangan alpa untuk menyyisipkan guyonan dengan penyajian “gaya stylish” agar pembaca mudah diajak kwek..kwek…[]

  • Darmansyah adalah wartawan senior, penulis “Kolom Bang Darman”