PORTALNUSA.com | RABAT – Putusan terbaru Mahkamah Konstitusi (MK) terkait ambang batas usia calon presiden dan wakil presiden memicu kontroversi yang mendalam di Indonesia.
Putusan yang mengizinkan calon di bawah 40 tahun untuk mencalonkan diri telah memicu kekhawatiran publik terkait konflik kepentingan dan integritas peradilan.
“Dalam konteks ini, penting bagi Indonesia untuk meninjau kembali pelajaran dari negara lain, seperti Maroko dan Turki, dalam menjaga integritas lembaga peradilan tertinggi mereka,” kata Guru Besar FSH UIN Ar-Raniry, Banda Aceh, Prof. Muhammad Siddiq Armia.
Menurut Prof Siddiq, studi komparatif yang dilakukan oleh tim peneliti dari UIN Ar-Raniry Banda Aceh yang dipimpinnya, mengungkapkan bahwa Maroko dan Turki memiliki mekanisme pengawasan etika yang ketat terhadap hakim konstitusional mereka.
Di Maroko, Mahkamah Konstitusi dibentuk untuk memastikan supremasi konstitusi dan perlindungan hak-hak fundamental.
Selain itu, mekanisme pengawasan yang ketat diterapkan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang dan memastikan integritas keputusan hakim.
Turki, di sisi lain, menghadapi tantangan tersendiri dengan adanya pengaruh militer dalam sistem peradilannya. Namun, reformasi konstitusi yang dilakukan pada 2017 menunjukkan upaya untuk mengurangi pengaruh militer dan meningkatkan independensi Mahkamah Konstitusi.
„Meskipun masih terdapat tantangan dalam penerapan Kode Etik, langkah-langkah ini menunjukkan pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam menjaga kepercayaan publik terhadap peradilan,“ kata Muhammad Siddiq.
Studi tersebut juga menyoroti bahwa MK Indonesia, dalam beberapa tahun terakhir, sering kali menghadapi kritik terkait keputusan-keputusan yang dianggap sarat dengan konflik kepentingan.
Salah satu contoh yang paling mencolok adalah putusan terkait batas usia calon presiden, di mana salah satu hakim MK memiliki hubungan keluarga dengan kandidat yang diuntungkan oleh putusan tersebut.
Dalam konteks ini, Indonesia perlu memperkuat mekanisme pengawasan etika dan memperkuat independensi MK untuk mencegah terjadinya “kartel peradilan,” di mana sekelompok individu atau entitas dapat memanipulasi proses hukum untuk keuntungan pribadi.
Ditegaskannya, belajar dari Maroko dan Turki, Indonesia harus mengadopsi pendekatan yang lebih ketat dalam memastikan bahwa hakim MK bertindak dengan integritas dan bebas dari pengaruh eksternal.
“Dengan menerapkan reformasi yang tepat, Indonesia dapat memperkuat kepercayaan publik terhadap MK dan memastikan bahwa lembaga ini tetap menjadi penjaga utama konstitusi dan demokrasi di Tanah Air,” tutup Prof. Siddiq.[]