PORTALNUSA.com | BANDA ACEH –Tahapan Pilkada terus bergulir, hari penentuan itupun mendekati paruh waktu, para kontestan kian marak membranding diri dengan beragam semboyan dan slogan menuju pentas politik 2024.
Aceh hanya ada dua pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur, yakni Bustami Hamzah (Om Bus) dan Tgk. Muhammad Yusuf A Wahab (Tu Sop) yang di usung Partai NasDem, Golkar, PAN, PAS, PDA, Gelora, Partai Buruh dan Partai Gabthat.
Satu lagi adalah pasangan Muzakir Manaf (Mualem) dan Fadhlullah (Dek Fad) yang diusung Partai Aceh, Gerindra, PKS, PKB, PBB, PSI, Partai Ummat, PNA, PDI dan Partai Garuda.
Mencermati perolehan suara Partai Aceh pada Pemilu 2024 ditambah dukungan sejumlah Partai Nasional dan Partai Lokal menunjukkan langkah Mualem menuju kursi Aceh 1 menjadi lebih mudah.
Namun analisa tersebut dipandang beda oleh seoarang pemerhati politik yang juga ketua Institut Peradaban Aceh, Haekal Afifa.
Dikatakannya, kehadiran Mualem dengan Partai Aceh yang mendominasi suara parlemen pada Pemilu 2024 tidak dapat dibranding sebagai peta kemenangan, sebab kalkulasi politik tidak bisa disimpulkan seperti itu.
Terbukti Mualem kalah di 2017 yang perolehan suara Partai Aceh lebih dominan dibanding 2024, waktu itu Mualem juga berpasangan dengan ketua Gerindra Aceh, TA Khalid.
Tetapi, memilih Dek Fad untuk wakilnya pada Pilkada 2024 mengindikasikan Mualem tidak tegas dalam mengambil sikap politik, sebab keputusan tersebut diambil di saat partainya itu ingin membranding diri sebagai sebuah partai yang lebih elegan, moderat, lebih terbuka dan selektif dengan membuka kesempatan yang luas kepada semua kalangan.
Semakin menarik dengan gugurnya sejumlah calon wakil Mualem karena tidak lulus fit and proper test, bahkan menurut Haekal, Dek Fad sendiri juga tereliminir bersama beberapa nama lain yang tidak memenuhi kriteria.
Sayangnya, branding tersebut diruntuhkan Mualem dengan memilih Dek Fad, walaupun pengakuannya di media bukan memilih tapi ditunjuk oleh partai Gerindra.
Apapun itu, Mualem tidak tegas, artinya lebih mendengar sabda Gerindra dibanding mempertimbangkan analisa dan mapping politik yang dibangun partainya sendiri, akibatnya fit and proper test menjadi tak berguna.
Walaupun sebenarnya wajar-wajar saja dalam politik, mengingat Mualem juga memiliki afiliasi dengan Gerindra, bahkan ia pernah menjadi pembina di partai besutan Prabowo itu, akan tetapi dalam branding politik justeru semakin menjelaskan Mualem tidak tegas.
Disinggung lawan, Haekal mengaku malah lebih tertarik manuver yang dilakukan Om Bus, efek bola salju yang dimainkan dan tak terprediksi sebelumnya justeru terjawab teka-teki melawan kotak kosong yang kerab digadangkan.
Dengan memilih Tu Sop sebagai wakil, Om Bos telah mematahkan asumsi bahwa sosok ulama kharismatik itu tidak diperhitungkan. Apalagi setelah Mualem mengabaikan rekomendasi seribu lebih ulama yang menghendaki Tu Sop menjadi wakil.
Ketika Tu Sop muncul, para ulama yang mendukungnya sudah pasti akan berdiri tegak di barisan ini untuk melawan Mualem. Terlebih hadirnya itu di waktu yang tepat, ketika publik berharap adanya sosok yang berani melawan Mualem pada Pilkada mendatang.
Walaupun Tu Sop tak dapat direpresentasikan sebagai seluruh ulama, namun yang diuntungkan di sini adalah Tu Sop dapat mewakili dirinya sendiri sebagai ulama yang mendapat legitimasi publik.
Situasi ini tentu akan memancing lawan politik mencari legitimasi yang sama bahwa ulama juga ada di pihak mereka. Namun secara politik tidak dapat dipungkiri bahwa legitimasi keulamaan itu adanya di Tu Sop yang hadir sebagai kontestan.
Akhirnya tidak ada jalan lain bagi Mualem-Dek Fad selain memfokuskan kekuatan kombatan, apalagi keduanya memang mantan panglima GAM dan panglima operasi, tetapi tak dapat dipungkiri juga bahwa tidak semua kombatan mendukung Mualem, maka sangat tergantung bagaiamana strategi yang dimainkan agar kekuatan kombatan itu dapat dikembalikan.
Namun secara keseluruhan Haekal menyimpulkan adanya keseimbangan kekuatan antara kedua pasangan, kesimpulan itu juga kontras dengan pertarungan memperebutkan dukungan di wilayah yang sama. Mualem utara, Dek Fad di Pidie, Tu Sop di Bireun dan Om Bus di Grong-grong dan juga Bireun.
Pertarungan itu lebih layak disebut pertarungan pantai Timur-Utara, tinggal lagi bagaimana strategi keduanya merebut dukungan di pantai Tengah dan Barat-Selatan, tetapi publik juga akan menilai bagaimana blunder yang dilakukan oleh kedua pasangan tersebut, belum lagi pemilih cerdas (Swing Voters) yang sampai saat ini belum menentukan sikap untuk kedua pasangan itu.
Sekilas, pasangan Om Bus-Tu Sop lebih elegan dalam penerapan strategi dibanding Mualem-Dek Fad yang masih mempraktekkan pola lama seperti di 2017, jika pola itu terus dipertahankan dan membentuk sekat eksklusivitas yang sulit ditembus oleh kalangannya sendiri, tidak tetutup kemungkinan mereka akan bergeser ke Om Bus-Tu Sop.
Ini mungkin menjadi masukan juga untuk Mualem-Dek Fad agar lebih dinamis dalam penerapan strategi ke depan dan belajar dari kelemahan-kelemahan masa lalu.[]