PORTALNUSA.com | BANDA ACEH – Empat organisasi pers konstituen Dewan Pers di Aceh; Aliansi Juranlis Independen (AJI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Pewarta Foto Indonesia (PFI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJT) plus sejumlah organisasi masyarakat sipil/Civil Society Organization (CSO) mendeklarasikan terbentuknya Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ).
Deklarasi berlangsung Sabtu sore, 14 September 2024 di Kantor AJI Banda Aceh, kawasan Batoh, Banda Aceh.
Hadir langsung para deklarator, yaitu Ketua AJI Banda Aceh, Reza Munawir; Ketua PWI Aceh, Nasir Nurdin didampingi Ketua Seksi Hukum-nya, Fauzul Husni; Ketua IJTI Aceh, Munir Noer, mewakili Ketua PFI Aceh; Direktur LBH Banda Aceh, Aulia Wafisa, dan Koordinator MaTA, Alfian.
Prosesi deklarasi dipimpin Ketua Bidang Advokasi AJI Indonesia/Koordinator KKJ Nasional, Erick Tanjung disaksikan Program Officer for Human Rights Yayasan Tifa, Zico Mulia, dan sejumlah undangan termasuk para wartawan lintas media dan asosiasi.
Ketua AJI Banda Aceh, Reza Munawir menyampaikan terima kasih atas kehadiran semua pihak yang mendukung terbentuknya KKJ Aceh.
Dukungan atas terbentuknya KKJ Aceh juga disampaikan Program Officer for Human Rights Yayasan Tifa, Zico Mulia.
Zico mengatakan pihaknya sangat mendukung kebebasan pers dan keamanan jurnalis.
“Terima kasih atas kerjasamanya, khususnya dengan AJI yang sudah lama terjalin,” kata Zico.
Di tingkat nasional, lanjut Zico, mereka memiliki kampanye untuk menciptakan ekosistem yang aman bagi jurnalis dan kebebasan pers di Indonesia.
“Kampanye ini juga kami bawa ke Aceh, dan nanti akan ada peluncuran indeks keselamatan jurnalis di Aceh,” ujar Zico.
Pada sesi diskusi yang dipimpin Juli Amin dari AJI Banda Aceh, para ketua asosisi pers, CSO, dan perwakilan wartawan menyampaikan tanggapan terhadap pembentukan KKJ Aceh.
Direktur LBH Banda Aceh, Aulianda Wafisa menyatakan pihaknya senang bisa terlibat dalam kolaborasi strategis ini.
LBH Banda Aceh tentu saja mendukung dan siap memberikan pendampingan hukum bagi rekan-rekan jurnalis.
Sebelumnya, kata Aulia, pihaknya sering melakukan advokasi bahkan hingga ke pengadilan untuk membela hak-hak jurnalis.
“Kami sering menemui kasus di mana narasumber atau jurnalis diintervensi, dan energi kami terkuras untuk mengatasi masalah tersebut, sementara inti persoalannya terabaikan,” tandas Aulia.
Kemerdekaan pers ini merupakan bagian dari hak untuk menyampaikan kebebasan berekspresi dan berpendapat di muka umum, karena banyak warga yang menyampaikan pendapatnya melalui media pers.
Dalam kasus tindak pidana korupsi (Tipikor) pada suatu peristiwa, sering kali jurnalis atau narasumbernya justru dikriminalisasi. Nah, aspek korupsinya sendiri siapa yang akan mengurus jika jurnalisnya dikriminalisasi agar kasus ini tidak diberitakan?
“Yang kita inginkan adalah menggagalkan tujuan dari kriminalisasi itu. Jadi, seharusnya ada satu tim yang fokus pada advokasi jurnalis, dan satu tim lagi yang mengusut kasus korupsinya. Jangan sampai jurnalisnya dikriminalisasi, sementara kasus korupsinya tidak berjalan,” begitu pendapat Aulia.
PWI siap berkolaborasi
Ketua PWI Aceh, Nasir Nurdin mengatakan, ada kegelisahan yang dirasakan bersama oleh pekerja pers di Aceh terkait kondisi terkini yang dihadapi.
Inisiatif membentuk KKJ dinilai oleh Nasir sangat bagus untuk melindungi aset, baik perusahaan maupun sumber daya manusia, agar tetap bisa menjalankan fungsi pers sebagai mata dan telinga masyarakat.
Di PWI sendiri, kata Nasir sudah ada satu bidang yang bertugas mengadvokasi dan melakukan pembelaan terhadap berbagai kasus yang dihadapi wartawan.
“Kami sudah bekerjasama dengan Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) untuk melakukan pendampingan hukum. Dengan adanya kolaborasi lintas asosiasi dan CSO saya pikir akan semakin memperkuat upaya kita melindungi pekerja pers dari berbagai ancaman dan teror,” kata Nasir Nurdin.
Pada dasarnya, lanjut Nasir, PWI siap untuk berkolaborasi, agar kita semakin kuat dalam menghadapi berbagai bentuk teror dan intimidasi yang membuat pekerja pers merasa tidak nyaman.
“Kami berkomitmen untuk bersama-sama memperkuat perlindungan bagi pekerja pers,” demikian Nasir Nurdin.
Tanggapan juga disuarakan Ketua IJTI Aceh, Munir Noer. Menurut Munir, seharusnya Aceh sudah memiliki inisiatif seperti ini sejak 20 tahun lalu, terutama ketika sering terjadi teror, baik yang langsung maupun tidak langsung.
Menurut Munir, ada beberapa insiden yang menimpa rekan-rekan jurnalis di Aceh, dan LBH selama ini telah memberikan respons yang luar biasa, seperti dalam kasus terakhir pembakaran rumah wartawan Asnawi Luwie di Aceh Tenggara.
“Sebagai penjaga UU Pers, kita harus selalu siap membekali jurnalis agar mereka lebih mampu melindungi diri sendiri. Sehingga, apabila ada ancaman dari luar, mereka sudah tahu apa yang harus dilakukan dan ke mana harus melapor,” kata Munir.
Harapan sejak lama
Sementara itu Koordinator MaTA, Alfian mengaku sangat senang menerima kabar tentang rencana pembentukan KKJ Aceh.
“Kami sudah lama memiliki harapan agar ada kerja sama yang lebih erat antara organisasi masyarakat sipil dan jurnalis. Kolaborasi melalui KKJ ini sangat penting, dan seharusnya tidak hanya berhenti pada deklarasi saja. Ini bisa menjadi ruang untuk berdiskusi, berbagi ide, dan saling bertukar informasi,” ujar Alfian.
Salah seorang wartawan anggota PWI, Saiful Ansari ikut angkat bicara. Saiful mengatakan, esensi kebebasan pers adalah terlindunginya para wartawan dari berbagai bentuk sensor dan teror.
“Kami semua sangat merasa terancam dengan potensi kriminalisasi. Banyak kasus di Aceh yang berujung pada intimidasi terhadap jurnalis, dan hal ini menjadi momok bagi kami. Kami berharap KKJ ini menjadi benteng utama kami dalam menjalankan tugas peliputan,” kata Saiful.
Kasus meningkat
Ketua Bidang Advokasi AJI Indonesia/Koordinator KKJ Nasional, Erick Tanjung mengatakan, KKJ bertujuan untuk menangani segala bentuk ancaman dan intimidasi terhadap jurnalis, termasuk dalam bentuk kekerasan.
Kekerasan ini beragam, tidak hanya fisik, tetapi juga meliputi teror, intimidasi, dan ancaman.
Sekarang, katanya, kekerasan digital juga termasuk dalam kategori tersebut, dan trennya meningkat.
Selama dua tahun terakhir, serangan digital terhadap jurnalis terus bertambah.
Pada 2022, tercatat ada 61 kasus kekerasan terhadap jurnalis, di mana 14 di antaranya adalah serangan digital.
Pada 2023, jumlah kasus meningkat menjadi 89, dengan 15 di antaranya berupa serangan digital. Tren ini terlihat semakin meningkat.
Contohnya, akun media sosial, WhatsApp, hingga Telegram milik jurnalis menjadi sasaran serangan.
Selain itu, media juga mengalami serangan DDoS yang membuat situs web mereka down dan tidak bisa diakses.
Ini merugikan publik karena mereka tidak bisa mengakses berita, dan jurnalis tidak dapat bekerja. Oleh karena itu, KKJ memiliki tanggung jawab untuk menangani hal ini.
Kebebasan berekspresi juga menjadi perhatian utama KKJ. KKJ Aceh yang merupakan KKJ ke-7 di Indonesia nantinya dapat membuat SOP sendiri, yang bisa disesuaikan dengan kebutuhan lokal, sementara di tingkat nasional ada SOP yang akan menjadi panduan.
Saat ini, tren yang muncul bukan hanya serangan terhadap jurnalis, tetapi juga terhadap narasumber. Narasumber harus dilindungi sesuai dengan amanat UU Pers.
Ketika narasumber diintimidasi karena pernyataannya, tanggung jawab itu harus diambil alih oleh medianya.
“Sebagai ahli pers di Dewan Pers, saya sering menemui kasus-kasus konsultasi dari kepolisian yang melibatkan narasumber. Ini berbahaya. Pernyataan narasumber harus dilindungi oleh UU Pers,” kata Erick.
Tidak bisa narasumber dikriminalisasi. Bahaya bagi kebebasan pers adalah ketika tidak ada lagi orang yang berani berbicara kepada media, terutama dalam isu-isu sensitif seperti korupsi.
“Begitu juga jurnalis dan keluarganya harus mendapatkan perlindungan. Dalam kasus jurnalis menjadi korban, KKJ menyiapkan safehouse yang mencakup perlindungan bagi jurnalis dan keluarganya,” demikian Erick Tanjung.[]