Oleh Darmansyah
DARI kemarin hingga malam tadi status media sosial saya terus diseruduk kata-kata melecehkan. Kata-kata yang membentur dan menyuruk dari belakang; tabrak.
Kata-kata itu membentuk kalimat ambyar yang bercerai-cerai; berpisah-pisah; tidak terkonsentrasi yang rangkaiannya terakumulasi menjadi sebuah jargon: stigmanisasi.
Gak perlu harus saya jelaskan rinci pengertian stigmanisasi ini. Kawan saya yang di pucok krueng keureuto sana pun tahu. Bahkan “aneuk keumuen” saya yang di pucok panga pun ngerti.
Stigmanisasi sebagai sebuah tanda aib atau kehinaan. Stigmatisasi berupa label sosial yang bertujuan untuk mencemari seseorang atau sekelompok orang dengan pandangan buruk.
Stigma dalam bahasa gaul media sosial hari ini sama dengan pencitraan negatif yang terkait dengan budaya, ras, atau label lain yang mengaitkan stereotip yang tidak diinginkan.
Lewat serudukan kata-kata itu saya seperti terasing sebagai “awak” negeri “katalana.” Negeri “katalana” yang bohay dengan kampung belakang donya…
Kampung belakang negeri ganja…cambuk polisi syariat…wali pang sagoe…negeri miskin nagabonar… dan entah apa lainnya. Silakan Anda sambung sendirilah.
Sebelum-sebelumnya stigmanisasi ini saya lawan. Soal ganja saya hoak-kan. Masalah polisi syariat saya goreng. Soal kemiskinan saya logikakan. Tapi kali ini saya harus mangkir untuk melawannya.
Untuk itu saya gak ingin mengurai panjang kosakata-kosakata ini.
Jangan cari arti dan padanannya di kamus jadul s.j. poerwadarminta. Dan jangan tanyakan ke google. Anda akan kepentok. Gak akan ketemu.
Apalagi kalau Anda masih panasaran dengan menelusuri kamus baku bahasa indonesia.
Saran saya:lebih baik diamkan saja sebagai jalan damai.
Muasal bohay itu datang dari tamparan kasus jatah makan kontingen berbagai daerah yang mengikuti pekan olahraga nasional. Jatah makan yang heboh karena standarnya gak jauh dari “nasi kucing.”
Kalau Anda pernah tinggal atau datang ke Yogyakarta, saya gak perlu menjelaskan kelas makan “nasi kucing” ini. Cukup gumamkan dan kulum mulut Anda sembari mencecahkan lidah .. eehemmm.
Bahkan seorang atlet dari Kalimantan Tengah dengan santainya membuka kotak nasi jatah kontingennya yang kemudian viral mengomentarinya sebagai nasi hakikah.
Untuk itulah serudukan pesan di whatapps saya yang berjubel itu cukup saya sengapkan saja. Tak satu pun saya balas. Sebab gak ada kata-kata yang bisa dirangkai untuk menjelaskannya.
Karena gak saya balas pesan serudukan itu melar menjadi pertanyaan menggelantung dalam kalimat penedek tentang status otonomi yang makin lapuk.
Kasus “nasi kucing” ini kemudiannya berkembang lagi ke praduga penyelewengan dana pekan olahraga dikaitkan dengan berantakannya jadwal penyelesaian venue-venue.
Entahlah…
Saya gak tahu untuk menjawab apa. Kalau dijawab pakai logika saya bukan kelasnya rocky gerung. Jika memakai perasaan itu namanya cengeng yang ujungnya mentok jadi cengengesan.
Lantas saya mencari tahu tentang konsumsi “nasi kucing” ke sebuah usaha katering. Ia anak sepupu istri. Sepekan sebelum pelaksanaan pekan olahraga istri saya pesan makanan khauri kepadanya.
Ia mengatakan sibuk menyiapkan jatah makan kontingen. Namun ia masih bisa nyambi melayani permintaan helat kecil sang istri.
Dari dia saya tahu ada yang “mugee” proyek katering ini dari pemenang tendernya. Ia tak mau menyebut nama toke bangku”-nya. Saya mafhum. Ini rahasia meukat. Rahasia bisnis.
Dari dia juga saya tahu pemenang tender penyedia konsumsi pekan olahraga itu sebuah perusahaan yang beralamat di Jakarta Selatan. Nama perusahaannya: aktifitas atmosfer. Vendor tunggal.
Pagu anggarannya empat puluh dua setengah miliar rupiah.
Dari angka itu disebutkan satuan harga per porsi makanan untuk atlet besarnya lima puluh ribu sembilan ratus rupiah.
Dengan jumlah atlet dan official yang dicover secara keseluruhan besaran harganya mencapai tiga puluh koma delapan miliar rupiah.
Plus snack atlet per satuannya delapan belas ribu sembilan ratus rupiah yang nilainya terakumulasi sebelas koma empat miliar rupiah.
Dengan satuan harga lima puluh ribu per atlet, seperti kata si pemilik katering, semuanya bisa beres-beres saja.
“Saya gak tahu dimana yang gak beresnya,” kata si pemilik katering. “Abis yang menetapkan standar menu vendor sendiri,” lanjutnya sembari mengirim video nasi kotak.
Ia tak tahu tentang laporan kondisi makanan yang diterima para atlet dan ofisial memprihatinkan.
Seperti dikatakana seorang ofisial ia mendapat satu kotak nasi yang di dalamnya hanya telur bulat, irisan wortel dan air mineral gelas.
Teman lainnya mengeluh mendapat lauk berupa ayam seukuran jari kelingking orang dewasa.
Selain itu ada yang menerima konsumsi dengan kondisi tak layak makan, seperti nasi keras dan lauk yang sudah basi. Makanan juga didistribusikan sangat terlambat.
Menurutnya pula, lima ribu enam ratus tiga puluh enam atlet plus dua ribu tujuh ratus official ditanggung konsumsinya.
Jumlah itu berasal dari tiga puluh tiga cabang dari keseluruhan cabang olahraga yang dipertandingakan di pekan olahraga kali ini. Enam puluh lima cabang olahraga.
Sedangkan tiga puluh dua cabang lainnya dipertandingkan di provinsi tetangga, Sumatera Utara.
Dari tiga puluh tiga cabang olahraga ini ada empat puluh dua disiplin dan lima ratus sepuluh nomor pertandingan.
Untuk mencari jawab sahih kasus nasi hakikah ini saya menghubungi seorang anak teman di lembaga pengawasan. Ia memang ditugaskan untuk itu.
Jawabannya: tim sedang mengumpulkan informasi dan memotret kondisi real di lapangan yang nantinya dokumen dan data ini akan kita gunakan untuk review pertanggungjawaban.
“Nanti akan kelihatan pada saat mereka melakukan pembayaran,” katanya.
Saya ngerti jawaban itu khas seorang auditor. Dan sang anak teman itu memang berstatus ahli madya.
Apakah memang ada permainan harga?
“Informasinya begitu. Masih dugaan. Belum bisa menentukan apakah harga makanan yang tertera di rencana anggaran biaya sesuai dengan kondisi di lapangan yang diterima atlet, ofisial.”
Ia enggan berbicara layak atau tidak layak dengan harga per porsi. Enggan juga mengungkapkan alasan mengapa panitia memilih vendor menangani konsumsi atlet dan kontingen.
Semuanya memang mengacu ke peraturan. Dan soal laporan atlet yang menyampaikan adanya makanan yang tidak layak konsumsi hingga keterlambatan distribusi makanan itu masalah lain.
Saya tak tak tahu bagaimana akhir kasus nasi hakikah atau “nasi kucing” ini. Terserah komentar Anda-andalah. Komentar yang riuh, gaduh, tambak viral hoak… hoak dan hoak…[]
- Darmansyah adalah wartawan senior, penulis “Kolom Bang Darman”