Oleh Darmansyah
MAAF…saya menyebutnya dengan “penjabat gubernur” pemadam kebakaran.
Saya punya alasan sangat kuat untuk menyebutnya begitu. Bidang tugasnya sebagai pejabat eselon satu memang itu. “Pemadam kebakaran”,,, hahaha…
Ia kini berada di eselon satu. Eselon tertinggi untuk jabatan seorang aparat sipil negara. Direktur jenderal. Dirjen. Mengepalai sebuah direktorat jenderal di sebuah kementerian.
Direktorat jenderal bina administrasi wilayah. Yang akronimnya: Adwil. Yang salah satu direktoratnya manajemen bencana dan kebakaran. Ia pernah jadi direkturnya.
Beberapa tahun silam tugas adwil itu mengurusi yang itu..itu,, Termasuk sengketa batas daerah hingga satuan pengamanannya.
Tugas yang tiga tahun lalu menyebabkan ia pernah kepleset ketika menyelesaikan sengketa titik..titik.. Kepeleset atas lepasnya empat pulau di barat laut selatan sana…
Yang menyebabkan ia urung jadi… Ahhh anda lebih tahu dari saya musabab urungnya ini…
Untuk makna kata kepleset saya gak perlu memberitahu. Sama-sama tahulah. Harfiah inggrisnya “slipped,” Yang anda sendiri sering mengatakan secara gak sadar: slippp..
Ya, untung saja keplesetnya gak terjengkang. Jatuhnya hanya doyong ke depan atau ke belakang
Sebagai penjabat pemadam kebakaran ia pernah ditugaskan di Kalimantan selatan. Kala itu ada kebakaran kecil yang harus ia padamkan. Kebakaran kecil itu bisa ia lokalisir. Cuma enam bulan..
Tupoksinya memang itu. Gak membuatnya repot. Begitu juga ketika ia mengemban tugas yang sama di bangka-belitung. Babel. Jangan ditukar huruf “e”nya ke depan. Itu bikin celaka. Bebal.
Kebakarannya sangat besar. Bak tanah runtuh. Disertai gempa yang magnitudonya skala penuh dan menimbulkan tsunami berita. Rupiah banjir bandangnya mencapai dua ratus tujuh puluh triliun.
Sembilan bulan ia bertugas di sana. Banjir bandang beritanya surut. Menyisakan banyak kerusakan.
Kini ia bertugas di negeri “pucok donya.” Baru sebulan terakhir. Negeri yang sedang gak baik-baik saja. Banyak yang harus dibenahi. Dari angka kemiskinan hingga masalah sepele: nasi kucing.
Untuk itu saya “wait and see.” Hingga bulan-bulan berikut. Mungkin sampai Februari tahun depan. Lima bulan mendatang.. Entahlah…
Anda tentu lebih tahu dari saya harfiahnya kata “wait and see” ini. Gak usah diterjemahkan pun teman canda saya di ujung kluet sana tahu hingga ke maknanya.
“Wait and see”- tunggu dan lihat. Mohon jangan dicarikan arti transitif dan intransitif kedua suku kata ini. Gak akan ketemu walaupun dengan membujuk “mbah” google.
Sebagai seorang yang sering bermain dengan kata, saya hanya bisa memahaminya sebagai perintah penundaan untuk melakukan sesuatu sampai seseorang atau sesuatu datang atau sesuatu terjadi.
Wait and see inilah yang membuat saya gak mau menulis tentang penugasannya usai dilantik sejak hari-hari kemarinnya.
Saya ingin tahu dulu sambutan publik terhadap pelantikannya sebagai penjabat. Publik yang sedang euforia dengan pekan olahraga nasional. Publik yang sedang mabuk darat dengan calon gubernur.
Apalagi dimasa penugasannya ini pas dengan bulan maulid. Di bulan maulid ini akan banyak khauri. Bukan khauri blang. Khauri mulod yang panjang.
Saya berharap sang penjabat gak hanyut dengan khauri ini.
Tentang sambutan publik ternyata biasa-biasa saja. Gak ada harapan tinggi pada sang penjabat baru. Pun ketika dia memulai aktifitas usai dilantik. Dilantik jadi penjabat gubernur: Safrizal Zakaria Ali.
Pun di saat negeri ujung donya memerlukan pemecahan banyak persoalan yang rumit. Yang saya berharap ia tidak merumitkan lagi dengan reshuffle kepala dinas atau apapun.
Harapan saya ini bukan sebuah halu. Sudah tiga kali pergantian penjabat gubernur sepanjang tiga tahun terakhir tiga kali pula musim mekar bunga pergeseran pejabat.
Bukan rahasia lagi musim ganti mengganti ini tidak untuk rakyat.
Memang akan ada yang membantahnya: kepentingannya kan untuk rakyat juga.
Yang dibantah pun bisa balas membantah: justru rakyat yang dipakai untuk kepentingan pergantian.
Tunggu dan lihat inilah yang sedang saya pendam hingga berakhirya bulan pertama usai ia dilantik. Pendaman ini mungkin sampai bulan depan..depan lagi …atau bulan berikutnya.
Atau pun sampai hari terakhir ketika ia melepaskan tugasnya. Tugas penjabat gubernurnya.
Tugas, seperti dikomentari teman saya ketika kami jumpa di mall “kota kasablanka,” menjelang shalat ashar kemarin, ia hanya diberi membubuhkan tanda tangan sekaligus stempel dari uap mulutnya.
Saya tahu sebagai penjabat ia berada di ujung waktu. Di ujung waktu dari negeri yang tidak dalam keadaan baik-baik saja. Ada banyak masalah. Banyak ganjalan.
Saya tahu gak mudah untuk menyingkirkannya masalah dan ganjalan itu. Terlalu banyak “toke bangku”nya.
“Toke bangku” yang sehari setelah ia dilantik menebar janji ke semua arah. Yang menyebabkan si penjabat harus meluruskan arah mata angin tugas dan posisinya.
Pelurusan mata angin tugas yang menyebabkan saya terkena limbahnya. Limbah hilangnya banyak pesan di whatsapp saya. Yang salah satunya pesan ajakan untuk duek pakat jep kupi.
Pakat jep kupi yang ia tayangkan empat hari sebelum pelantikannya.
Pakat jep kupi khasnya negeri yang sering saya sebut “nanggroe di naca.” Negeri yang kaya angan-angan. Yang angan-angannya berada di balik langit sehingga muncul pepitih tentang “cet langet.”
Untuk harfiah ungkapan “cet langet” ini saya gak mau masuk ke uraian maknanya. Saya bukan “pang sagoe”nya. Banyak “pang sagoe” yang lebih paham dari saya.
Gak percaya? Datang saja ke keude kupi usai subuh menjelang dhuha. Bisa ke solong, taufik, smea premium atau pun dhapukupi.
Anda akan menemukan banyak orang ber..ha..haha..sembari “duek pakat” merentang “haba” yang ujungnya akan menderaikan tawa terbahak: cet langet.
Saya punya alasan yang argumentatif tentang “haba duek pakat” di keude kupi ini. Alasan ini bukan sebuah “daleh.” Ia sudah diuji oleh seorang akademisi peneliti.
Namanya: William Liddle. Guru besar. Ohio university. Kini masih hidup sebagai profesor emeritus. Akrab dipanggil Pak Bill. Dan saya pun memanggilnya seperti itu. Dulunya.
Kata Pak Bill: di Aceh semua urusan bisa diselesaikan di warung kopi. Gak milih harus dimana. Begitu Anda keluar dari hutan pertama ketemunya pasti di warung kopi. Hahahah…
Kaitannya dengan tulisan ini: kalau Anda ketemu dengan penjabat gubernur “naggroe di naca” itu tanyakan saja tentang pengalamannya sebagai “keuchik” dulunya.
Keuchik yang sebutan kerennya lurah. Dan sang “lurah” pasti akan terkekeh mengenangnya.
Mengenang kala memulai karier di sudut persimpangan “makatalana.”
Mengenang sebuah masa ketika negeri ini dilanda hura-hara dan sang lurah berkantor di keude kupi, menurunkan tanda tangan sembari meniupkan uap mulutnya ke permukaan stempel. Plap..Selesai.
Itulah tesis Pak Bill tentang keude kupi di negeri “naca.” Tesis yang tambahannya” bila Anda duduk di warung kopi, pungut segenggam batu. Lemparkan ke semua arah. Jatuhnya pasti di keude kupi juga.
Saya punya asumsi tentang kedai kopi ini. Orang dari daerah mana pun, pasti pernah nongkrong di keude kupi. Nongkrong melepas penat. Dan apakah itu budaya?
Saya gak berhak menjawabnya. Bukan seorang budayawan. Hanya seorang “tukang” tulis.
Sebagai tukang tulis saya tahu tradisi ini lahir dari kebiasaan saja.
Aceh pun begitu. Secara spesifik, orang-orang di sini punya budaya nongkrong di warung kopi. Oleh karena sudah jadi budaya, akhirnya terbiasalah orang-orang melepaskan penatnya ke warung kopi.
Bahkan, bisa dibilang, beberapa orang menjadikannya suatu keharusan, meski tak punya urusan.
Tentang Safrizal ia memang kalah glamour dari sisi sambutan kalau dibanding pendahulunya. Tak ada baliho besar yang berjejal di sepanjang jalan ketika ia memulai tugas.
Tapi saya tahu ia pekerja keras. Ia langsung terjun ke pusar masalah. Ia pun melihat betapa rumitnya persoalan di negeri ini. Safrizal harus mengatasi persoalan itu.
Sebagai orang berkecimpung dengan masalah otonomi saya yakin ia bisa mengurai benang kusut masalah daerah ini. Ia dikenal sangat ramah dalam melakukan pendekatan.
Wajahnya terlihat sering senyum. Bukan seperti wajah eleganitas orang-orang kusam. Sebab ia cendekia.
Saya sadar tulisan ini gak perlu harus mengajarinya bagaimana menata kelola pemerintahan daerah.
Sistem pada undang-undang otonomi khusus dan topik yang disentuh undang-undang ini sudah hafalannya. Begitu juga dengan tradisi dan normanya.
Secara normatif, ada enam belas urusan yang menjadi tanggung jawab pemerintahan daerah.
Sekalipun tidak hafal dengan ke-16 belas urusan dan tanggung jawab ini, teman saya yang paling jongkok “iq”-nya pun mafhum tugas paling pokok yang harus dilakukan oleh pemerintah manapun di dunia.
Tugas itu adalah seberapa jauh kinerja mereka mampu memenuhi kesejahteraan dan kebutuhan hidup paling dasar masyarakatnya.
Kini kita lihat kondisi yang ada. Bagaimana kondisi kemiskinan masyarakat di sana? Bagaimana dengan akses dan kualitas pendidikan dan kesehatan?
Bagaimana penanganan masalah-masalah sosialnya?
Saya hanya bisa menjawabnya dari akses data yang ada. Akses data dari fakta. Fakta tingkat pengangguran. Yang angka persentasenya masih berada di posisi corot.
Lainnya tingkat angka kemiskinan. Masuk termiskin di negeri ini dan termiskin di kawasan. Padahal saya tahu berapa jumlah gelontoran dana otonomi khusus yang sudah di eksekusi.
Angka melimpah. Banjirnya juga melimpah. Bahkan ada ruahnya. Ruahnya beserta sumber daya alam melimpah.
Sebagai seorang jurnalis saya tak heran mengapa itu terjadi. Pemerintah di sana lebih mengutamakan menganggarkan pokir dan belanja rutin ketimbang bangun rumah dhuafa.
Data-data di atas masih kurang memukau?
Sejak delapan tahun lalu, Aceh telah resmi menjadi provinsi dengan peringkat pendidikan terburuk.
Hebat?
Nggak lah. Penetapan daerah miskin jauh lebih miris. Saya sering ketemuan teman-teman sembari mempertanyakan dasar penetapan kriteria daerah miskin.
Apakah pendapatan daerah, pendapatan per kapita, belanja penduduknya, atau apa?
Kalau pendapatan penduduknya dianggap kecil, tapi memang gak kekurangan sandang, pangan, papan kesehatan, apakah masih disebut miskin?
Itu baru masalah mendasar. Saya belum mengulas kualitas objektif para pimpinan daerah di Aceh saat ini termasuk pihak yang Anda usung itu, baik secara politis maupun moral.
Maaf, jangan tanya ke kelompok fanatiknya, ya, budaya primordial dan patronase di sini juga masih tinggi problematiknya.
Kebijakan dan kinerja progresif-signifikan-kerakyatan apa yang sudah mereka dan kelompok mereka hasilkan untuk kesejahteraan dan ketenteraman hidup masyarakat.
Salam-salaman Safrizal Zakaria Ali…. Ehehem…[]
- Darmansyah adalah wartawan senior, penulis “Kolom Bang Darman”