PORTALNUSA.com | BANDA ACEH – Sidang perkara sengkata tanah Kuala Village di Pengadilan Negeri (PN) Banda Aceh sudah sampai pada amar putusan pengadilan.
PN Banda Aceh berdasarkan amar putusan Nomor 8/Pdt.G/2024/PN Bna terungkap bahwa pihak penggugat dalam kasus sengketa tanah di Desa Lambaro Skep, Kecamatan Kuta Alam Banda Aceh diduga menggunakan Akta Jual Beli (AJB) palsu untuk menguasai kembali tanah yang telah resmi dijual oleh orang tuanya pada 1998.
Hakim yang mengadili, Ketua Sayid Hasan dengan anggota Zulkarnaen dan Yusuf.
Kuasa Hukum Jafaruddin Husin (Tergugat I), Arifin SH, Rabu, 18 September 2024 menyampaikan beberapa kejanggalan fatal terhadap terbitnya AJB PPATS Camat Kuta Alam tanggal 4 Maret 1981.
AJB tersebut sebagai dasar kepemilikan Alm. Bakri Ibrahim atas tanah seluas + 4.284 M2 dengan cara membeli dari M. Daud yang dijadikan sebagai Bukti (P-3) oleh Para Penggugat dalam Perkara Nomor 8/Pdt.G/2024/PN Bna di PN Banda Aceh, adalah sebagai berikut.
Pertama, Akte Jual Beli PPATS Camat Kuta Alam tersebut tidak memiliki nomor, sehingga tidak terdaftar di kantor Camat Kuta Alam;
Kedua, pada 4 Maret 1981 (tanggal dikeluarkannya akte jual beli tersebut) Gampong Lambaro Skep masih berada di dalam wilayah Kecamatan Ingin Jaya, Kabupaten Aceh Besar. Gampong Lambaro Skep masuk dalam wilayah Kecamatan Kuta Alam tahun 1983 sesuai dengan PP No. 5 Tahun 1983 tentang pemekaran wilayah. Sehingga secara yuridis formil pada tanggal 4 Maret 1981 PPATS Camat Kuta Alam Kotamadya Banda Aceh tidak memiliki kewenangan membuat/mengeluarkan Akte Jual Beli terhadap tanah yang terletak di wilayah Gampong Lambaro Skep Kecamatan Ingin Jaya, Kabupaten Aceh Besar yang telah berbeda wilayah administrasi;
Ketiga, Akte Jual Beli PPATS Camat Kuta Alam tanggal 4 Maret 1981 tersebut tidak ditemukan dalam arsip Camat Kuta Alam karena tidak ada nomor surat AJB (hal ini sebagaimana telah dijelaskan oleh Camat Kuta Alam melalui surat nomor 688/2019 tertanggal 12 Juli 2019).
Keempat, dalam Akte Jual Beli PPATS Camat Kuta Alam tersebut tidak terdapat tanda tangan penjual tanah dan juga tidak terdapat tanda tangan saksi–saksi;
Kelima, ketikan AJB diduga menggunakan komputer, tahun 1981 komputer belum digunakan di kantor Camat Kuta Alam (ada pembandingnya). Pihak penggugat diduga menggunakan AJB yang tidak sah untuk mengklaim kembali tanah yang telah dijual secara sah oleh orang tua mereka pada tahun 1998.
Menurut amar putusan, AJB yang dipergunakan oleh penggugat diduga palsu diterima dan dinyatakan oleh hakim sebagai bukti asli (halaman 76 amar putusan).
Selanjutnya menurut Arifin, AJB tanggal 4 Maret 1981 yang bukti tersebut kemudian dijadikan pertimbangan dalam keputusan hakim (halaman 138 san 139) terhadap tanah seluas 4.284 m² yang faktanya tidak ada di lapangan, sehingga terjadi tumpang tindih tanah seluas 3.032 m² yang tercatat dalam Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 412 atas nama Jafaruddin Husin.
Yang lebih ironis, kata Arifin, selama proses persidangan, hakim tidak melakukan pemeriksaan lapangan atau pengukuran terhadap tanah seluas 4284 m2 dan tanah 1210 m2 (walaupun tergugat 1 telah mengingatkan) melainkan hakim langsung mengabulkan dalil penggungat adanya sisa tanah seluas 1.210 m² yang posisinya berada di atas tanah seluas 3.032 m².
Keputusan ini berpotensi menimbulkan konflik hak atas satu objek tanah jika putusan tersebut tidak dapat dieksekusi dengan baik.
Pihak tergugat, termasuk Keuchik telah mengajukan bukti dan argumen terkait kepalsuan AJB dalam persidangan, baik melalui surat maupun dalam kesimpulan akhir.
Namun, hakim tampaknya hanya mempertimbangkan dalil dari penggugat tanpa memeriksa atau mengukur tanah di lapangan.
Disampaikan bahwa persoalan kepalsuan AJB ini memang belum mendapatkan keputusan resmi dari pengadilan.
Namun, pihak Tergugat berencana untuk melaporkan masalah ini kepada pihak berwajib karena penggugat diduga telah merusak wibawa pengadilan dan berusaha memperoleh hak yang bukan miliknya.
Secara kasat mata, AJB yang dijadikan bukti oleh penggugat tampak mencurigakan karena tidak terdaftar di Kantor Camat Kuta Alam sesuai dengan surat nomor dan tahun yang relevan dan tidak memiliki tanda tangan penjual, menjadikannya seperti sekadar kertas biasa.
“Meskipun demikian, penggugat berhasil meyakinkan hakim dan data yang disampaikan oleh tergugat I dan tergugat V (keuchik) diabaikan. Hal ini berpotensi menimbulkan masalah lebih lanjut jika tidak ada penyelesaian yang jelas,” terangnya.
Berdasarkan dasar/alasan tersebut, untuk memperjelas letak dan batas-batas tanah objek sengketa, dan terciptanya kepastian hukum demi menghindari permasalahan tumpang tindih letak dan batas batas tanah pihaknya memohon untuk dilakukan kembali pemeriksaan setempat, karena data harus jelas dan rinci.[]