Tumpahan Batu Bara Terus Berulang, WALHI Aceh Angkat Bicara

PORTALNUSA.com  | BANDA ACEH –Tumpahan batubara yang kerab terjadi di Kabupaten Aceh Barat sudah sangat mengkhawatirkan,  karena dianggap mempengaruhi keberlangsungan hidup nelayan dan ekosistem laut sekitarnya.

“Tumpahan batubara terus berulang terjadi, sehingga setiap tahun ada masyarakat yang protes dan mengeluh terkait pencemaran debu dan percemaran laut terkait tumpahan batubara,” tulis M. Nasir Buloh selaku Deputi Walhi Aceh.

Berikut kutipan selengkapnya sebagaimana siaran pers yang diterima Portalnusa.com, Kamis 24 Oktober 2024.

Di tengah gelombang protes masyarakat anehnya, perusahaan-perusahaan tersebut diberi predikat PROPER biru setiap tahunya. Untuk diketahui, PROPER biru
ialah penghargaan tertinggi yang diberikan kepada perusahaan yang dinilai memiliki kinerja pengelolaan lingkungan terbaik.

“Artinya ini ada kesenjangan penilaian. Kami mencoba mengkritis bagaimana penilaian PROPER-nya ini, ” kata Nasir dalam diskusi bertemakan Pencemaran Limbah Batubaradi Aceh Barat Tanggung Jawab Siapa? yang digelar oleh KosTum, di Banda Aceh, Rabu (23/10/2024).

Untuk itu sebutnya, WALHI sependapat dengan rekomendasi hasil dari Panitia Khusus (Pansus) DPRA, yakni harus adanya Moratorium Izin Tambang. Menurutnya, moratorium izin tambang ini sudah cukup lama didorong pihaknya. Sehingga ini menjadi penting, sebab dalam masa moratorium tersebut, Pemerintah Aceh dalam kewenangannya dapat melakukan evaluasi dan melakukan perbaikan tata kelola terkait izin yang pernah dikeluarkan sebelumnya.

“Bagi perusahan yang dianggap melanggar izin, maka Pemerintah Aceh nanti harus berani mengambil sikap, apakah sanksi administrasi atau sanksi pembekuan izin. Atau sampai pencabutan izin. Saya kira itu sikap yang dinantikan masyarakat dalam konteks apa yang terjadi Aceh Barat saat ini, dimana dominannya paling tinggi angka protesnya di Aceh Barat,” pungkasnya.

Sementara itu, Sub Koordinator Standarisasi dan Peningkatan Kapasitas Lingkungan DLHK, Muhammad Subhan mengungkapkan bahwa DLHK Aceh terus mendorong dilakukannya kajian lokal mengenai dampak ceceran tumpahan batu bara di sekitar lautan. Subhan menekankan pentingnya mengetahui sejauh mana tumpahan tersebut mempengaruhi ekosistem laut, serta menyoroti perlunya evaluasi reklamasi di area bekas tambang.

Dalam rangka menjaga kualitas lingkungan, Subhan menyebutkan pihaknya melakukan pemantauan dan pengawasan baik secara langsung maupun tidak langsung.

Pengawasan tidak langsung dilakukan dengan mengevaluasi laporan yang diberikan perusahaan setiap tiga bulan. Laporan tersebut mencakup berbagai aspek, seperti pengelolaan limbah, pencemaran air, kualitas udara, dan lainnya.

Sementara itu, pengawasan langsung dilakukan setidaknya satu hingga dua kali dalam setahun. Subhan menyampaikan bahwa DLHK Aceh merespons cepat jika ada pengaduan dari masyarakat atau pemberitaan yang mengindikasikan adanya pencemaran lingkungan.

“Itu upaya-upaya yang kita lakukan dalam memitigasi serta memantau apa yang sudah dilakukan oleh perusahaan,” pungkasnya.

Selain itu, pihaknya merekomendasikan pemasangan peralatan Automatic Air Quality Monitoring System (AQMS) pada perusahaan pertambangan untuk memantau kualitas udara secara real-time.

Dikatakan Subhan, sistem pemantauan kualitas udara ini dapat membantu memastikan bahwa kualitas udara sekitar mematuhi regulasi lingkungan lokal. Ini sangat penting untuk melindungi masyarakat umum yang tinggal di dekat lokasi pertambangan.

“Pemantauan ini penting untuk mengetahui konsentrasi limbah udara dan apakah sudah mencemari lingkungan atau masih berada dalam batas aman,” ujar Subhan.[]

Penulis: AlimangeuEditor: Redaksi