Gempa dan Tsunami Aceh Dalam Kenangan Santri Pesantren Al Manar

Hari ini, 20 tahun silam.  Pesantren Modern Al Manar  satu di antara kisah pilu yang terbuku dalam catatan korban tragedi 26 Desember 2024.

Gempa berkekuatan  8,9 pada Skala Richter  yang disusul gelombang  pasang bernama Tsunami telah meluluh latakkan daratan Aceh.

Ratusan ribu nyawa manusia  melayang, tak terhitung jumlah bangunan dan harta benda rata dengan tanah digulung ombak  yang datang tiba-tiba.

Diguncang  Gempa

Pagi itu mentari  baru saja meninggalkan ufuk, arloji menunjukkan pukul 8.00 WIB. Seperti biasa para santri sibuk dengan pelajaran di dalam kelas.

Belum terhapus dari ingatan, ketika bumi berguncang dengan kekuatan yang tak biasa,  saat  anak didik  berhamburan mencari perlindungan.

Lapangan basket satu-satunya tempat tujuan, para ustadz yang  menuntun ke sana, di rasa lebih aman di alam terbuka.

Seorang santri bahkan nyaris terkubur di reruntuhan jika saja temannya tak bergerak cepat membangunkan di tempat istirahat.

Masjid satu-satunya tempat mereka  menghadap SANG KHALIQ  juga ambruk dalam musibah tersebur. Beruntung, tak ada santri di dalam ketika bangunan roboh.

Di tengah panik itu,  tetiba para santri dikejutkan dengan luapan air sungai yang datang tak diduga.

Untuk diketahui, Pesantren Almanar sangat  dekat  dengan Krueng Aceh yang bermuara tak jauh dengan laut.

Melihat air yang semakin tinggi, para ustadz segera ambil sikap untuk mengevakuasi seluruh santri ke tempat lebih tinggi.

Mereka berlari menyusuri jalan berbatu,  tak peduli rasa sakit  tertusuk cadas di  sepanjang jalan. Yang terpikir saat itu adalah menyelamatkan diri.

Tiba di atas  jembatan Cot Iri, para santri direnyuhkan dengan pemadangan yang menyayat.

Deras sungai menghanyutkan puing-puing bangunan, peratalan rumah tangga, perahu nelayan, hewan dan jasad manusia.

Tak ada yang sanggup menjelaskan apa terjadi, sistem komunikasi dan informasi pun   belum secanggih sekarang.

Mereka terus berlarian, hingga sampai di gedung Sekolah Dasar (SD)  Cot Bambu, Kecamatan Kuta Baro yang tepaut beberapa kilo meter dengan pesantren.

Tempat itu jauh lebih tinggi dibanding lokasi pesantren di Lampermai, Kecamatan Krueng Barona Jaya, Aceh Besar.

Lafaz takbir  tak berhenti, dipimpin para ustadz yang mendampingi mereka terus mengumandangkan kalimat kebesaran Allah itu.

Sejumlah ustadz  tetap tinggal di pesantren untuk berjaga-jaga dari berbagai kemungkinan, sebahagian yang lain ikut mengevakuasi jenazah yang di bawa arus sungai.

 

Berlari Ketakutan, Pulang Berair Mata

Setelah situasi  tenang  santri kembali ke pesantren, ada juga yang dijemput oleh keluarga.

Namun, tak  semua beruntung. Beberapa diantaranya tak lagi melihat wajah orang tua, Allah sudah menjemput bersama syuhada tsunami.

Isak tangis, renyuh  sedih bergelayut  tak terbendung, asma Allah terucap indah di lidah anak berbakti, mendo’akan orang tuanya yang sudah pergi.

Didikan pesantren membawa mereka tak berlarut, dalam sajadah bersimbah simpuh untuk bersujud. Mengharap Allah menempatkan orang tua di tempat yang patut.

Selain itu ada juga sejumlah santri Pesantren Al Manar  menjadi korban tsunami yang mendapat  izin pulang sebelum musibah tiba.

Hari-hari pasca tsunami  tidak baik-baik saja, para santri terpasa tidur di bawah tenda. Logistik pun mulai menipis karena pasar belum beroperasi.

Beruntung, pesantren memiliki peternakan ayam yang menjadi sumber makanan dalam masa darurat.

Satu pekan  kemudian, barulah bantuan mulai berdatangan,  meski masih terbatas namun sudah mencukupi.

Seiring waktu kondisi berangsur pulih, ditambah lagi dengan datangnya  bantuan dari organisasi Al Nidaa, Malaysia yang menyantuni para santri korban tsunami.

Tak tanggung-tanggung, bantuan saudara dari negara tetangga itu hingga  santri menyelesaikan pendidikan di pesantren.

Bahkan  menjadi orang tua angkat yang  sering menjenguk dan membawa mereka ke Malaysia saat liburan.[]

Penulis: AlimangeuEditor: Redaksi