Kepala Daerah Tak Wajar Salah

Tarmidinsyah Abubakar

Oleh: Tarmidinsyah Abubakar*)

SEORANG yang menjabat kepala daerah, apakah dia gubernur, bupati atau wali kota sewajarnya harus senantiasa benar dalam kebijakan publik.

Karena mereka adalah orang terpilih diyakini dengan trust rakyat bahwa merekalah yang terbaik di antara semua warga masyarakat di daerahnya.

Kepala daerah harus tergolong dalam kecakapan yang tinggi dan merupakan warga yang mumpuni dalam ilmu membangun rakyatnya.

Maka hidup mereka diberi segala fasilitas negara yang paling lengkap dibanding semua warga negara lain.

Intinya, mereka diberi alat membuat kebijakan dan aturan serta untuk pengambilan keputusan yang paling lengkap di negara ini.

Asisten, ajudan, dan staf ahli serta jaringan kerjanya di semua SKPA semua dibayar rutin, tidak ada bandingannya bila dihadapkan dengan organisasi apapun milik masyarakat.

Maka sewajarnya kepala daerah tidak boleh ada kamus lupa atau alpa dalam kinerjanya.

Kalau mereka lupa atau alpa apa bedanya dengan warga biasa yang harus selalu hidup berjibaku dengan kondisi ekonomi yang sering tidak menguntungkan mereka.

Berikutnya atas dasar apa negara membayar semua secara rutin untuk kebijakan, kinerja dan manajemen kepala daerah.

Sering kita saksikan, kalau kepala daerah salah membuat kebijakan, salah membuat keputusan maka dengan mudah mengatakan akan diperbaiki.

Padahal dalam hukum pelayanan masyarakat salah bicara atau baca saja mengundang tanda tanya masyarakat. Hal semacam ini bahkan dapat digolongkan sebagai pemimpin bermental korup.

Jika tidak untuk apa semua fasilitas yang dibiayai negara dari pajak masyarakat dikuras untuk membiayai mereka.

Sebaliknya masyarakat harus paham pada positioning mereka bahwa keberadaan suatu negara adalah untuk memudahkan rakyat mencapai kesejahteraannya.

Sementara keberadaan kepala daerah dan pemerintahannya adalah untuk mensukseskan visi dan misi rakyat dimaksud.

Untuk itulah maka masyarakat harus cerdas dalam memilih pemimpinnya. Kalau pemimpin senantiasa salah dalam satu hal saja maka rakyat wajib mengkritik dan memberi hukum kepadanya agar tidak mengulang kesalahan yang sama di kemudian hari.

Kenapa? Karena dalam melayani publik mewakili negara tidak serampangan, tentu semua kebijakan dan keputusan sudah diverifikasi secara cermat oleh seabrek staf ahli dan birokrasi se-daerah.

Jika ini masih terjadi maka sesungguhnya kepala daerah itu sendiri yang tidak memenuhi syarat menjadi kepala daerah, kecuali masyarakatnya secara umum bermental seperti anak ingusan yang dimaklumi dalam melakukan kesalahan.

Karena itu jangan sampai kepala daerah Anda melakukan hal-hal di luar kewajaran karena masyarakat lain akan menganggap masyarakat di daerah Anda sebagai masyarakat sampah yang direpresentasikan oleh kepala daerah yang bermental alpa.

Merekrut Potensi Masyarakat

Lalu apa yang sewajarnya dilakukan untuk mengatasi kesalahan dalam mengurus negara?

Kepala daerah wajib memahami sumber daya yang mumpuni di daerahnya, meski bukan pendukungnya yang mengantarkannya ke kursi kepala daerah.

Untuk memahami orang yang memahami organisasi dan ruh bernegara dan berdaerah, standarnya tidak cukup dengan pergaulan sehari-hari.

Dengan kematangan memahami standar tuntutan negara maka ia bisa meminta masyarakat yang mumpuni untuk membantu kesuksesan tugasnya sehingga daerah dapat diurus dalam kebijakan dan keputusan yang normatif.

Kenapa, tentu saja karena negara dan rakyat tidak dapat diurus dengan persekongkolan teman-teman kepala daerah hanya dalam konteks menghidupi mereka dari uang negara tanpa mampu melakukan pekerjaan secara benar.

Anehkan, kalau seorang kepala daerah menyalahkan stafnya dalam mengangkat pejabat daerah? Karena semua kebijakan dan keputusan sudah melalui filter verifikasi yang valid untuk menjadi standar final dalam proses pembuat keputusan.

Karena itu keberadaan negara demokrasi yang utama adalah bentuk keterlibatan seluruh masyarakatnya, maka kepala daerah minimal memahami orang yang mana untuk kepentingan politik partai, orang mana yang dibutuhkan sebagai politik kepentingan rakyat dan kepentingan negara.

Kalau disamaratakan maka apa beda dengan kepala daerah suka-suka atau bersikap otoriter yang melanggar prinsip-prinsip bernegara yang demokratis.

Budaya Internal Partai Politik

Tidak rumit untuk melihat seorang kepala daerah yang mengutamakan kepentingan partai politiknya, lantas membebani dan mengatasnamakan pembangunan daerah.

Menempatkan orang-orang partai politiknya secara subyektif, dia lupa bahwa melakukan kebijakan tersebut justru telah melakukan proteksi terhadap rakyat untuk bernegara secara benar.

Oleh karena itu negara dan daerah sering kali menjadi kepemilikan kelompok politik yang membatasi sumber daya manusia maksimal pembangunannya. Pada akhirnya sebuah pemerintah hanya menutup lubang-lubang kekurangan dari media sosial dangan berbagai dalih.

Hal ini tidak berbeda dengan mengutamakan kepentingan kelompok. Juga sama artinya dengan memimpin tidak menggunakan standar bernegara dan berdaerah.

Begitulah sikap mentalitas otoriter, dan yang lebih rendah kualitasnya tidak berbeda dengan kealpaan dan pemerintah korup yang bisa memusnahkan trust sosial walaupun semua kebijakan bisa dipaksakan tetapi pada akhirnya orang hanya mengenang mereka sebagai pecundang bukan sebagai pemimpin.

Oleh karena itu semua kebijakan dan keputusan kepala daerah perlu mendapat proses yang terverifikasi secara valid agar kepala daerah tidak senantiasa berada dalam mohon maaf, akan diperbaiki, ada kesalahan staf, ada kesalahan ketik, ada kesalahan dan kesalahan yang membuat rakyat muak dan apatis terhadap trust bagi negara.[]

*) Penulis adalah pemerhati politik dan pemerintahan berdomisili di Aceh