ACEH memiliki banyak masjid kuno sebagai warisan penyebaran Islam beberapa abad lalu. Masjid-masjid kuno tersebut masih berdiri kokoh hingga saat ini di sejumlah kabupaten/kota. Salah satunya adalah Masjid Tuo Pulo Kambing di Desa Pulo Kambing, Kecamatan Kluet Utara, Kabupaten Aceh Selatan.
Mengutip laman acehtourism.travel, usia Masjid Tuo Pulo Kambing diperkirakan sudah 600 tahun. Masjid sudah masuk ke dalam daftar Cagar Budaya di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan Nomor Penetapan PM.90/PW.007/MKP/2011 Tanggal 17 Oktober 2011.
Masjid tua ini berada di tengah-tengah Desa Pulo Kambing, berbatasan dengan rumah penduduk di sisi utara dan barat, SDN Kluet Utara di sebelah selatan dan di tepian jalan desa yang membentang di sisi sebelah timurnya.
Arsitekturnya memang unik, termasuk mastaka di ujung atapnya yang sangat khas.
Pada dasarnya arsitektur Masjid Tua Pulo Kambing ini sama dengan masjid-masjid tradisional asli Indonesia, berupa bangunan masjid dengan atap limas bersusun tiga, namun susunan atap paling atasnya dibangun berbeda dengan dua susun atap di bawahnya.
Masjid Tuo Pulo Kambing terdiri tiga lantai. Pondasinya begitu kokoh, dinding kayu, dan besinya pun masih sama seperti pertama kali masjid ini dibangun.
Air dari tiang penyangga
Masjid Tuo Pulo Kambing ditopang oleh empat tiang yang berdiri di tengah-tengah ruang utama masjid. Masing masing tiang berdiameter sekitar satu meter dengan ketinggian masing masing sekitar 15 meter dengan ukiran kaligrafi yang mengisahkan riwayat kebesaran kerajaan-kerajaan Islam di Aceh.
Salah satu dari empat tiang masjid ini dikenal luas masyarakat karena sejak masjid ini selesai dibangun, salah satu tiang masjid ini mengeluarkan tetesan air bening dan dingin hingga membasahi lantai masjid ini yang kala itu masih berlantai tanah.
Tetesan air tersebut kemudian dikumpulkan dan diambil warga untuk dijadikan obat, dan alhamdulillah khasiatnya bisa mengobati berbagai penyakit yang diderita masyarakat.
Saat ini tetesan air dari tiang tersebut tidak sederas di masa lalu sejak lantai masjid dikeramik dan pangkal tiang dicor semen. Sejenis tempat penampungan dibuat di sekitar satu tiang ini untuk menampung air yang menetes dari tiang tersebut.
Dua versi sejarah
Ada dua versi sejarah tentang Masjid Tuo Pulo Kambing ini. Versi pertama menyebutkan bahwa Masjid Tuo Pulo Kambing didirikan oleh Tgk Ali Basyah (Teungku Aceh) semasa kepemimpinan Keujruen Kluet (setingkat Ulee Balang) ke-11 yakni Teuku Meurah Adam, sekitar sembilan abad (900 tahun) lalu atau jauh sebelum penjajah Belanda masuk ke Aceh.
Kala itu wilayah kekuasaan Keujruen Kluet meliputi Kasik Putih, Samadua hingga Trumon, sebelum dibentuk Kewedanaan.
Versi kedua, menyebutkan bahwa keberadaan masjid tua ini tidak terlepas dari usaha dan kegigihan Syech Syamsuddin atau Syech Muhammad Husen Al Fanjuri bin Muhammad Al Fajri Kautsar, seorang ulama yang merupakan murid dari seorang ulama sufi asal Persia (kini Iran dan sekitarnya), pada 8 Agustus 1351 Masehi, lebih 6 abad (600 tahun) lalu.
Ada perbedaan tarikh yang teramat jauh antara versi pertama dan versi kedua sejarah pembangunan masjid ini.
Pada masa-masa awal, masjid ini merupakan masjid utama muslim Kluet Raya. Pada masa itu tidak semua gampong memiliki masjid dan rumah penduduk pun masih jarang, sehingga masjid Pulo Kambing menjadi pusat ibadah masyarakat Kluet Raya, baik shalat lima waktu maupun shalat Jumat, Idul Fitri maupun Idul Adha.
Seiring perjalanan waktu, Islam telah berkembang pesat dan gampong-gampong sudah memiliki masjid. Kini Masjid Tuo Pulo Kambing menjadi Masjid Desa Pulo Kambing (saja).
Masjid ini telah beberapa kali direnovasi meskipun secara fisik dan ciri khasnya tetap dipertahankan.
Masjid Tuo Pulo Kambing ini sempat menjadi tempat perlindungan saat musibah gempa dan tsunami melanda kawasan Aceh pada 2004.
Masjid Tua Pulo Kambing bukanlah satu satunya bangunan tua yang ada di Pulo Kambing. Di sekitar masjid ini, bangunan yang berusia lebih tua pun masih kokoh berdiri. Salah satunya adalah rumah keluarga kerajaan di era Kerajaan Aceh Darussalam.[]