PORTALNUSA.com | BANDA ACEH – Seiring makin dekatnya Lebaran Idul Fitri dimana penukaran uang pecahan menjadi salah satu kebutuhan masyarakat, ternyata kondisi di lapangan tidak selancar yang diharapkan.
Ketua Koperasi Wirausaha Unggulan Bersama Indonesia (Wirubi), Zainal Abidin Suarja, menyampaikan keprihatinannya atas sulitnya masyarakat Banda Aceh dan sekitarnya dalam menukarkan uang pecahan menjelang hari raya dan kebutuhan lainnya.
Ia mengapresiasi sistem serta aplikasi pintar yang diterapkan oleh pemerintah dan Bank Indonesia dalam mengatur penukaran uang.
Namun, kata Zainal, kondisi di Aceh memerlukan pendekatan yang lebih bijaksana dan sesuai dengan budaya serta syariat Islam yang dianut oleh masyarakat setempat.
“Aplikasi pintar yang tersedia mengalami gangguan teknis, sering down, tidak bisa diakses, dan kuota penukaran langsung habis dalam waktu singkat. Hal ini menyebabkan masyarakat kesulitan mendapatkan uang pecahan yang mereka perlukan,” ungkap Zainal Abidin Suarja.
Zainal menekankan bahwa sejak dulu, masyarakat Aceh tidak memiliki kebiasaan menjual atau menyediakan jasa penukaran uang sebagaimana yang umum terjadi di daerah lain.
Hal ini dikarenakan pemahaman terhadap syariat Islam yang menghindari transaksi berbau riba.
Oleh karena itu, sistem penukaran uang yang diterapkan saat ini seharusnya mempertimbangkan aspek kultural dan keagamaan masyarakat Aceh.
Saat ini, libur Idul Fitri akan segera berjalan, dan masyarakat mulai bersiap untuk mobilisasi, baik untuk mudik maupun aktivitas ekonomi lainnya yang mendistribusikan uang ke berbagai sektor.
Jangan sampai, akibat kesulitan dalam menukar uang, masyarakat akhirnya memilih untuk berlibur ke luar negeri karena dianggap lebih murah dan tidak merepotkan.
Hal ini justru bisa berdampak pada berkurangnya perputaran uang di dalam negeri, yang seharusnya dapat mendorong perekonomian lokal.
Lebih lanjut, ia menyoroti bahwa jika pemerintah ingin masyarakat lebih banyak menghabiskan dan memutar uang dalam perekonomian, maka seharusnya proses penukaran uang dipermudah.
Selain itu, penukaran juga bisa menjadi sarana untuk menarik kembali uang yang tidak layak edar dan menggantinya dengan yang lebih baik.
Dengan jumlah penduduk Aceh yang hanya sekitar 5 juta jiwa, seharusnya hal ini tidak memerlukan upaya yang terlalu besar jika dilakukan dengan sistem yang lebih efisien dan inklusif.
Sebagai solusi, Zainal mengusulkan agar Bank Indonesia dan pihak terkait menyediakan mekanisme yang lebih fleksibel.
”Misalnya memperbanyak titik layanan penukaran uang fisik, menyediakan jalur khusus bagi masyarakat yang tidak dapat mengakses aplikasi, serta memperpanjang waktu operasional layanan penukaran menjelang beberapa hari libur lagi,” katanya.
“Kami berharap kebijakan ini dapat segera dievaluasi dan diperbaiki agar masyarakat Aceh tidak mengalami kesulitan yang sama di masa mendatang,” tutupnya.[]