PORTALNUSA.com | PIDIE – Laporan dugaan penipuan pembangunan rumah bantuan di Pidie ditanggapi oleh berbagai pihak termasuk oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh.
Kepala Operasional Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBHI) LBH Banda Aceh, Muhammad Qudrat dalam siaran pers-nya yang diterima media ini mengatakan, sudah sepatutnya Polres Pidie bergerak cepat untuk menindaklanjuti laporan masyarakat terhadap Ketua KP2 Aceh, MR selaku terlapor.
Baca: Warga Pidie Polisikan Tersangka Penipu Rumah Bantuan
Terlebih, dugaan tindak pidana yang ia lakukan telah memakan banyak korban, mayoritas merupakan masyarakat tidak mampu yang benar-benar membutuhkan rumah layak huni.
Menurut Muhammad Qudrat, terlapor diduga sengaja membuat kontrak atau perjanjian dengan calon korban untuk menyamarkan aksinya.
Seolah-olah kasus ini merupakan kasus ingkar janji (wanprestasi) yang tunduk dalam domain hukum perdata.
Padahal, kata Qudrat, meskipun telah terikat kontrak atau perjanjian dengan korban, tidak berarti kasus ini murni perdata.
“Tindakannya tetap dapat diproses secara pidana jika memenuhi unsur pidana,” tulis Qudrat.
Oleh karena itu, penting bagi penyidik untuk mencermati sikap batin (mens rea) dan tindakan (actus reus) dari terlapor, beserta unsur-unsur pasal pidana yang relevan.
“Jangan hanya terpaku pada kontrak atau perjanjian,” sebutnya.
Apabila sikap batin terlapor menunjukkan ia sejak awal memiliki niat atau itikad buruk untuk tidak menyelesaikan pembangunan rumah yang dia perjanjikan, serta adanya penggunaan nama palsu, keadaan palsu, rangkaian kebohongan, atau tipu muslihat dalam pembuatan dan/atau pelaksanaan perjanjian, maka yang bersangkutan dapat dibidik dengan tindak pidana penipuan sebagaimana diatur dalam Pasal 378 KUHP.
Di samping itu, kata Qudrat, jika uang yang diserahkan masyarakat untuk kepentingan pembangunan rumah ternyata dipergunakan untuk kepentingan pribadi yang tidak ada kaitannya dengan pembangunan rumah yang dijanjikan, maka selain dapat dibidik dengan tindak pidana penipuan, terlapor juga dapat dibidik dengan tindak pidana penggelapan sebagaimana diatur Pasal 372 KUHP.
Dalam kasus ini kuat dugaan bahwa terlapor memang sejak awal memiliki itikad buruk untuk tidak menyelesaikan rumah yang dijanjikan.
“Namun hanya bermaksud memanfaatkan uang pembangunan rumah yang disetorkan masyarakat,” ujar Muhammad Qudrat.
Uang tersebut kemudian tidak digunakan untuk keperluan pembangunan rumah, tapi dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi.
Terlapor juga diduga menggunakan rangkaian kebohongan atau tipu muslihat untuk membujuk korban sehingga bersedia membuat perjanjian pembangunan rumah dan menyetorkan uangnya.
Perjanjian itu kemudian tidak pernah ditepati. Bukan karena kelalaian dalam menjalankan perjanjian, tetapi lebih didasarkan pada tipu muslihat dan rangkaian kebohongan untuk menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum yang menjadi itikad buruknya sejak awal.
Indikasi itu dapat dilihat dari banyaknya rumah yang ia janjikan kepada masyarakat untuk dibangun, tapi tidak ada satupun yang rampung.
Setelah ditagih korban, terlapor malah memberikan alasan yang kebenarannya tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Jadi, adanya perjanjian dengan korban patut diduga hanyalah bagian dari modus operandi kejahatan. Jika dicermati, polanya serupa kepada semua korban.
“Pola serupa yang jamak ini merupakan indikasi kuat adanya dugaan tindak pidana yang dilakukan terlapor,” demikian pernyataan YLBHI LBH Banda Aceh.[]