NEWS, OPINI  

Keuchik Alta

Alta Zaini

Catatan Nasir Nurdin/Pemred Portalnusa.com

NAMANYA Alta Zaini. Tetapi orang-orang sering memanggilnya Alta atau Keuchik Alta karena dia sudah pernah satu periode penuh (2008-2013) menjabat Keuchik/Kepala Desa Lampulo, Kecamatan Kuta Alam, Kota Banda Aceh.

Kini dia masih Keuchik Lampulo setelah terpilih lagi pada 2021 lalu. Namun belum tahu sampai kapan.

Alta juga dikenal dengan panggilan Kak Alta karena dia pelatih paskibraka. Banyak juga yang memanggilnya ABG karena pernah memimpin organisasi relawan komunikasi RAPI Kota Banda Aceh. ABG itu sendiri bagian dari nama udara (callsign) RAPI, yaitu JZ01ABG.

Usia Alta Zaini sekarang sekitar 62 tahun. Perkiraan itu jika mengacu pada usianya ketika terpilih lagi sebagai Keuchik Lampulo pada 2021, waktu itu 58 tahun.

Meski sudah kepala enam, dia masih terlihat energik, humoris, dan parlente, walau beberapa giginya sudah tanggal sehingga ada yang mengolok-oloknya dengan panggilan ompong. Dia tak peduli karena menurutnya nggak penting gigi, yang penting lidah. Nggak jelas kenapa Alta lebih mementingkan lidah dari gigi, hahahahah.

Menjelang buka puasa, 29 Ramadhan 1446 H atau 29 Maret 2025 saya berselancar di beberapa grup WhatsApp.

Saya berhenti pada postingan video Alta Zaini di grup Silaturahmi Banda Aceh.

Video berdurasi 3 menit 9 detik itu berisi ungkapan perasaan Alta tentang kegelisahan, kekecewaan, kemarahan, dan narasi lain yang berbalut kesedihan.

Dia terlihat sangat sentimentil. Nggak tahu siapa juru kamera kegalauaannya. Tetapi bisa saya pastikan sang juru kamera ikut terbawa suasana. Janga-jangan yang merekam istrinya, yang akrab kami panggil Bunda.

Jika menyimak narasinya di video itu, Keuchik Alta seperti sedang memarahi diri sendiri karena telah menjadi bagian orang yang gagal mengimplementasikan hakikat puasa.

Dia mengaku malu harus ikut buka puasa bersama secara bermewah-mewah sementara di sisi lain banyak orang yang tak pernah merasakan kenyang.

Menurut Alta, dia gagal memahami kelaparan dan ketiadaan mereka (si miskin) karena dia dan juga kita hanya berpura-pura menjadi mereka. Mereka tetap lapar, mereka tetap kalah, mereka tak pernah menang.

Saya tak tahu kemana arah kritikan dan kegelisahan Alta itu dimuarakan. Yang saya tahu Alta adalah bagian dari kota ini. Kota Banda Aceh yang kini dipimpin Illiza Sa’aduddin Djamal dan Afdhal Khalilullah. Banda Aceh yang mengusung visi ‘Kota Kolaborasi’.

Sambil menunggu waktu buka puasa, saya tanggapi video Alta dengan sedikit komentar. Begini komentar saya:

“Di kota kolaborasi semuanya bisa terjadi. Yg menderita berkolaborasi sesama mereka, yang kekenyangan juga sesama mereka. Gak usah sedih Pak Keuchik.”

Menjelang suara sirine, masih sempat saya lanjutkan sedikit lagi, “kolaborasi itu kompromis Pak Keuchik, saling menjaga dan melindungi. Kekuasaan itu terlalu mahal.”

Setelah membatalkan puasa dan ketika dalam perjalanan ke meunasah untuk shalat magrib, pikiran saya secara spontan meragukan apa yang dinarasikan Alta Zaini tentang banyaknya orang miskin dan kita gagal menjadi mereka.

Pikiran saya berontak, apalagi kalau yang dipaparkan Alta berangkat dari studi kasus di Kota Banda Aceh. Sungguh tak mungkin itu.

Kalau memang Banda Aceh banyak si miskin, si duafa, atau orang yang tak pernah menang, mustahil pemimpinnya tega berkolaborasi mengusulkan kendaraan dinas jabatan seharga Rp 3 miliar. Artinya mereka juga gagal memenej rasa.

Bukan soal boleh atau tidak boleh, tetapi, sekali lagi soal rasa yang bisa merasakan rasa mereka. Gitu maksudnya. []

Penulis: Nasir NurdinEditor: Redaksi