Ibrahim Hasan

 

Oleh Darmansyah

ACEH pernah memiliki ibrahim Hasan. Saya masih selalu ingin memiliki Ibrahim Hasan sampai sekarang.

Dulu, Ibrahim Hasan ganteng dan gagah. Ada sedikit kelingnya. Keling Simpang Tiga. Pidie. Pidie yang nggak galak dan penuh tawa. Hahahaha.

Ibrahim Hasan dilantik jadi Gubernur Aceh ke-8 di usia lima puluh satu tahun. Saat dilantik ia telah melewati tangga-tangga kepemimpinan. Tangga meritokrasi.

Saya teringat betul kala itu majalah Tempo menurunkan tulisan di rubrik nasional dengan judul: Ibrahim tanpa Sapu.

Majalah dengan jargon “enak dibaca dan perlu itu”  di edisi VI/September 1986 mengulas tentang kepribadianya yang humble.

Ia juga telah mempersiapkan agenda yang akan dikerjakan dalam peta jalan kepemimpinannya.

Tentu, saya sendiri tak tahu persis bagaimana Tanah Air menjelang 1945. Tapi mungkin kita bisa membayangkannya: suatu masa ketika pikiran besar dan kecil telah ramai bergulat.

Harapan-harapan, untuk sebuah negeri yang bebas, mekar. Pemikir dan penyair sibuk; juga asyik. Dan Chairil pun menulis puisi: begitu segar, begitu kurang ajar.

Ibrahim tampil  begitu bersahaja, dengan ungkapan terkesan polos dan sederhana. Dalam banyak momen ia tampil dengan sentuhan kemanusiaan sejati.

Tak ada gemuruh impuls adrenalin yang menyenangkan tentang Aceh yang akan menjadi tempatnya mengabdi.

Ia muncul sebagai gubernur tak berbeda dengan orang kebanyakan, yang kadangkala karena dorongan sub-kesadaran melakukan hal-hal yang jenaka.

Saya mengikuti dan menjadi saksi pencalonannya. Saya banyak tahu prosesnya karena waktu itu sudah menjadi jurnalis di sebuah majalah berita mingguan dan menuliskannya di rubrik nasional.

Ia diterima hampir bulat oleh de-pe-er setempat — hanya tiga suara untuk saingannya, yang juga anggota satu partai. Istilahnya calon pendamping, saat itu.

Ia tahu persis apa yang dibutuhkan Aceh saat itu. Sebab ia sudah bergulat selama dua puluh dua tahun di tanah kelahirannya itu — sebelum dipercaya sebagai Deputi Pengadaan dan Penyaluran Bulog.

Ibrahim memang akrab dengan permasalahan Aceh. Namun, tidak dengan sendirinya mudah baginya. Ia mengakui “lapangan Aceh itu berat”, karena itu ia ingin masuk ke “relung hati masyarakat”.

“Soalnya, orang Aceh itu seperti gunung es. Perasaannya, pikirannya, hanya dikeluarkan sepuluh persen,” katanya di sebuah wawancara dengan saya di sebuah restoran pada waktu itu.

Ia tahu Aceh itu daerah yang telah ditelantarkan dua atau tiga generasi.

“Di bidang pendidikan, sangat ketinggalan. Itulah istimewanya Aceh sebagai daerah istimewa, yang perlu ditangani serius,” ujar gubernur yang bukan dari generasi proklamasi itu.

Untuk menanganinya, ia berpendapat perlunya semacam “pembaruan”.

“Sebenarnya masalahnya tidak terlalu rumit,” katanya, di sebuah kesempatan, dengan suara khasnya yang hahaha…

“Itu kalau kita telusuri masalahnya satu per satu bisa terlihat gambarannya dengan jelas.”

Cara Ibrahim Hasan melihat persoalan itu didasarkan latar belakangnya sebagai anak pertama dari tujuh bersaudara. Melihat persoalan sebagai keluarga besar. Dengan mengakomodasi kepentingan syedara masing-masing.

Dan ia termasuk jenis manusia optimis. Optimismenya didorong oleh semangat dan pemahaman tentang Aceh itu sendiri.

Ia melihat dan menempatkan diri sebagai Aceh tulen dengan segenap concern dalam urusan pembangunan dan menjalankan ukuran standar.

Baginya, masalah pembangunan berarti menjalankan saja semua program dan agenda dengan mengikuti posisi mainstream dalam berbagai isu.

Saya mengikuti perkembangan dialektika pemikiran anak Simpang Tiga itu berbarengan dengan kegandrungan akan teori modernisasi saat itu.

Ia bagian dari kelompok teknokrat pembangunan “tinggal landas”. Pembangunan keberlanjutan. Sebuah kosakata sehari-hari yang diucapkan setarikan napas dengan pembangunan di era itu.

Pada intinya teori modernisasi percaya bahwa masyarakat berubah dari ‘tradisional’ ke modern secara positif.

Dalam hal ini saya bukan sedang mengakaji pemikiran Ibrahim Hasan tentang modernisasi pembangunan.

Sebab posisi saya adalah jurnalis yang berada dipatahan tukang kritik. Dipatahan kata skeptis.

Saya juga tahu Ibrahim Hasan kala menjadi gubernur berada di relasi kekuasaan. Seperti naiknya bang gam yang nggak ada lampaknya sekarang. Yang beda pola demokrasinya. Tapi hakekat kepemimpinannya sama.

Ya… tapi tidak sebangun.

Yang dulu itu semua ini kita bisa lihat bagaimana perubahan-perubahan struktural dalam kemampuannya menurunkan angka kemiskinan, memberikan stabilitas, serta pembangunan berbagai fasilitas infrastruktur.

Selama menjabat ia telah mengubah wajah Aceh. Yang sangat saya kagumi dari Ibrahim adalah pola pemerataan pembangunan tanpa melihat sisi vertikalnya.

Ketika pembangunan infrastruktur pola horizontalnya menjamah sisi barat-selatan lewat jargonnya kala itu: jalan dan jembatan. Jargon dengan narasi bebas rakit.

Dia membangun jembatan yang menghubungkan jalan yang saat itu terputus oleh sungai-sungai besar. Masyarakat yang melintas di sana, saat itu, harus menggunakan rakit untuk menyeberang.

Program bebas rakit itu mengubah wajah perekonomian kawasan dengan menggeser istilah: Aceh ketalatan. Sebuah kosakata yang hidup di benak saya yang padanannya isolasi.

Tentang pembangunan infrastruktur ini bla..bla..nya bisa penjang. Sepanjang  Krueng Aceh yang ia belah dalam programnnya sehingga muncul istilah lainnya. Bebas banjir.

Sebagai kota provinsi waktu itu, sentuhan pembangunannya menyebabkan Banda Aceh bebas banjir. Bebas banjir dengan dua kuala atau muara untuk aliran Krueng Aceh. Kuala Aceh dan Kuala Alue Naga.

Tentu saja agenda yang menjadi road map Ibrahim era itu jelas terbaca.

Bukan seperti yang saya dengar hari ini ketika bang gam yang nggak punya cantoi jadi gubernur.  Menarasikan tentang barcode, pabrik ban Meulaboh, refinery sawit, investasi mubadala dan jalan tol.

Yang semua itu saya tahu narasi  hang… di tengah negeri yang jadi pesakitan dan berada dalam keadaan tidak baik-baik saja.

Bahkan kabar terakhir yang sayup kedengaran adanya regulasi lewat sebuah instruksi tentang syariah yang mencekik pedagang kaki lima.

Pedagang yang harus menutup lapaknya kala kumandang azan. Sebuah regulasi yang membonyok kaum marginal. Yang saya gak tahu kajiannya datang dari langit tingkat keberapa.

Kalau saya ditanya soal ini jawabannya kenapa nggak “koh takue” saja. Terlalu menyesakkan ke urat jantung. Urat jantung Aceh yang distigmanisasi sebagai negeri narayana. Negeri ganja, syariah dan entah apa lainnya..terserah aja.

Yang saya tahu,  pelaksana pembangunan memang akan sulit bekerja tanpa patronase.  Patronase itu akan bisa memberikan pertumbuhan dan memperkuat legitimasi berkuasa.

Ya, era Ibrahim Hasan memang terjadi lompatan pembangunan. Era yang saya kenang hingga kini dan menganggapnya fenomenal.

Sefenomenal kenangan seseorang yang saya baca kemarin di sebuah straihgnews ringkas sebuah media online. Kenangan seorang birokrat yang baru saja mengakhiri tugas pejabat gubernurnya.

Ia mengenang Ibrahim Hasan lewat sebuah foto selfie-nya di pekan kebudayaan daerah di sebuah stand.

Ia kala itu masih seorang pelajar dan sang gubernur memberikan semangat kepada siswa yang mengerubuti dirinya.

Sang gubernur fenomenal itu diingatnya sebagai pria bertubuh tinggi besar, mengenakan kopiah riman khas Pidie dan sebagainya..dsb….

Ada cerita menarik dari online itu. Sang mantan pejabat itu sempat diituding menikung naiknya pejabat sekarang. Ia dikatakan mempercepat proses demi mengumpulkan upeti.

Saya nggak melanjutkan tulisan tentang soal ini… biarlah ia menjadi debu di tiupan angin di tengah kenangan tergadap sang fenomenal. Responsif, solutif, transformatif, edukatif, aplikatif.

Ibrahim Hasan seperti banyak ditulis mengabdi di tanah kelahirannya itu memang akrab dengan permasalahan negeri ini.

Saya tahu dari banyak celotehannya ia mengungkapkan tidak mudah untuk membuat negeri maju. Ia mengakui “lapangan Aceh itu becek berat”.

Yang selalu ia ulang daerah ini ketinggalan dua atau tiga generasi.

“Di bidang pendidikan, sangat ketinggalan. Itulah istimewanya Aceh sebagai daerah istimewa, yang perlu ditangani serius,” ungkapnya.

Orang seumuran dan seperti saya sulit melupakan Ibrahim Hasan. Dia itu dirindukan meski tak lagi dimunculkan sebagai lelaki ampuh untuk Aceh yang miskin.

Tulisan ini saya up setelah pekan lalu, menjelang ied, saya bertemu dengan seorang teman dan terus terang mengatakan, merindukan Ibrahim Hasan.

Saya ditertawakan. Ia dengan sinis membalikkan pertanyaan kepada saya: “siapa itu Ibrahim Hasan? Saya tahu pertanayaan itu ejekan. Masa ia nggak tahu Ibrahim Hasan.

Pernah mewawancarai di suatu hari. Wawancara ekslusif. Dan terpesona dengan hasil wawancara itu. Bahkan ia sempat berujar: lihatlah Aceh di era kepemimpinannya.

Rindu Ibrahim Hasan untuk mengenang era kekuasaannya lewat program menutup Aceh yang bolong.

Ibrahim Hasan bagi saya adalah manusia serius meninggalkan kisah doda-ida doda-idi baru tentang kejayaan Aceh. Manusia yang nggak terjebak dengan kekuasaan.

Ia tidak berbedak dan gincu untuk kelestarian kekuasaan. Ia orang yang selalu bersih buat zamannya.

Saya sering sambil kencing kalau mengingat banyolannya. Nggak pernah nyinyir kalau ada protes.

Apa yang tak lekang oleh panas, tak lapuk oleh hujan dari kenangan itu?

Salah satunya tentang: birokrasi.

Birokrasi di negeri ini semuanyai ingin dicatat untuk dapat tempat. Ada perlombaan untuk ke atas karena jika berada di bawah betapa sumpeknya, betapa terancamnya.

Ahhh sudah terlalu panjang…[]

  • Darmansyah adalah wartawan senior, penulis “Kolom Bang Darman”

 

Penulis: DarmansyahEditor: Nasir Nurdin