Komisi Penyiaran Aceh, Ada tapi Tak Dirasa
Oleh: Denny Satria/Pengamat Media dan Kebijakan Publik
KOMISI Penyiaran Indonesia Aceh (KPIA) dibentuk sebagai wujud desentralisasi pengawasan penyiaran dan perwujudan nilai-nilai demokrasi di Aceh.
Dalam konteks otonomi khusus, KPIA bukan sekadar perpanjangan tangan KPI Pusat, melainkan lembaga independen yang seharusnya responsif terhadap dinamika lokal, menjunjung nilai syariat Islam, dan menjaga kepentingan publik dari dominasi kepentingan politik dan ekonomi dalam ruang siaran.
Namun, kinerja KPIA dalam beberapa tahun terakhir patut dipertanyakan.
Pertama, lemahnya pengawasan terhadap konten siaran lokal menjadi sorotan.
Meskipun Aceh memiliki kekhususan dalam norma sosial dan nilai agama, tidak sedikit siaran televisi lokal maupun nasional yang menampilkan konten kekerasan, sensualitas, dan candaan vulgar yang tidak sesuai dengan nilai budaya masyarakat Aceh.
KPIA terlihat lambat atau bahkan tidak bersuara dalam menegur atau memberi sanksi kepada lembaga penyiaran tersebut.
Padahal, dalam kewenangannya, KPIA bisa mengeluarkan teguran tertulis, menghentikan sementara program siaran, bahkan mencabut rekomendasi penyiaran.
Kedua, keterlibatan publik dalam kerja-kerja KPIA nyaris tidak terdengar.
Minimnya forum dengar pendapat, laporan tahunan yang tidak dipublikasikan secara transparan, hingga nihilnya pelibatan masyarakat dalam pengawasan isi siaran menunjukkan bahwa KPIA seperti bekerja dalam ruang hampa.
Dalam era digital dan partisipatif, seharusnya KPIA membuka diri terhadap laporan publik, aduan masyarakat, dan menjalin kemitraan dengan lembaga-lembaga keagamaan, pendidikan, dan LSM untuk memperkuat kontrol sosial terhadap penyiaran.
Ketiga, KPIA terkesan terlalu administratif dan pasif.
Alih-alih menjadi lembaga advokasi penyiaran yang aktif membela hak publik atas informasi sehat dan berkualitas, KPIA justru lebih sering terlihat “silaturahmi”.
Kegiatan-kegiatan formal seperti rapat koordinasi atau seminar rutin tidak serta-merta menggantikan fungsi pengawasan kritis terhadap isi siaran dan kepatuhan lembaga penyiaran terhadap kode etik serta norma lokal.
Yang lebih mengkhawatirkan, KPIA nyaris tidak memiliki posisi strategis dalam menghadapi gelombang digitalisasi media.
Ketika masyarakat Aceh semakin banyak mengakses konten dari platform digital seperti YouTube, TikTok, dan podcast, KPIA belum menunjukkan peran aktif dalam memberikan literasi media digital maupun menjalin kolaborasi dengan lembaga lain untuk menangkal disinformasi dan konten bermuatan negatif.
Kinerja KPIA hari ini ibarat gigi tumpul dalam mulut demokrasi lokal.
Padahal, KPIA memiliki posisi yang sangat penting dalam menjaga kualitas siaran, memperkuat identitas budaya Aceh, dan melindungi publik dari manipulasi media.
Jika KPIA tidak segera melakukan reformasi internal, memperkuat kapasitas pengawasan, serta membuka diri terhadap partisipasi publik, maka keberadaan lembaga ini hanya akan menjadi formalitas belaka “ada, tapi tak dirasa”.
Masyarakat Aceh berhak menuntut KPIA untuk bekerja lebih keras, lebih terbuka, dan lebih berani. Jika tidak, maka kita harus bersiap menghadapi generasi yang tumbuh dalam gelombang siaran yang liar, tak terarah, dan jauh dari nilai-nilai yang kita perjuangkan bersama.[]