MPA Macet di Tangan DPR Aceh

Jalaludidn

Catatan Dr. Jalaluddin, MPd, Dekan FKIP USM Aceh, Peserta Mubes MPA

MAJELIS Pendidikan Aceh (MPA) terancam vakum akibat mandeknya proses pengesahan anggotanya oleh Komisi VII Bidang Keistimewaan dan Kekhususan Aceh DPR Aceh periode 2024–2029.

Padahal, Qanun Aceh Nomor 7 Tahun 2022 tentang Majelis Pendidikan Aceh, yang merupakan inisiatif DPRA yang telah mengatur mekanisme seleksi yang lebih ketat, transparan, dan partisipatif dibandingkan aturan Qanun 2006 yang telah mereka cabut.

Qanun Nomor 7 Tahun 2022 memperketat proses seleksi menjadi anggota MPA melalui tahapan mekanisme berjenjang penjaringan, penyaringan,

Peranan Komisi VII DPRA pada Musyawarah Besar (Mubes) MPA pada 25 April 2024 di Hotel Hermes Banda Aceh, memilih 5 orang kandidat ketua dari 21 nama yang terpilih dari Mubes dan terakhir Gubernur Aceh memilih Ketua dan Wakil ketua.

Namun tahapan setelah Mubes, di mana Gubernur Aceh telah mengajukan 21 nama hasil Mubes ke DPRA melalui Komisi VII DPRA yang diberi mandat untuk melakukan wawancara dan menetapkan 5 nama terbaik yang akan dikirim kembali ke Gubernur Aceh macet alias belum diproses.

Hingga kini, proses itu tak kunjung dilanjutkan oleh DPRA periode saat ini. Hal ini menuai kritik dari kalangan akademisi dan pemangku kepentingan pendidikan di Aceh.

Sangat ironis, Qanun Nomor 7 Tahun 2022 yang mereka inisiasi sendiri justru diabaikan. Padahal, jika dibandingkan dengan Qanun Nomor 6 Tahun 2006 yang telah mereka cabut, mekanisme dan tahapan melalui qanun baru ini jauh lebih terbuka, partisipatif melibatkan banyak unsur dan akuntabel.

Ada ketidakkonsistenan dalam sikap Komisi VII DPRA. Terkesan tidak memprosesnya, malah di luar beredar isu bahwa Komisi VII DPRA akan melakukan rektrumen ulang walau dalam qanun tidak ada norma hukum demikian.

Kalau proses Mubes yang sah sesuai qanun dan pergub serta melibatkan banyak orang untuk memilih pengurus MPA tidak dipercaya, maka saya usulkan bubarkan saja lembaga keistimewaan di Aceh. Ini akan menjadi karya monumental dari komisi bidang keistimewaan DPR Aceh.

Rakyat Aceh perlu tahu, bahwa di bawah kepemimpinan Mualem–Dekfadh dan di bawah ketua DPRA lembaga-lembaga keistimewaan dibubarkan untuk efisiensi anggaran negara, karena sesungguhnya yang beruntung dari eksistensi semua lembaga istimewa di Aceh adalah ASN di sekrektariat, mereka menjadi orang-orang kaya di Aceh.

Penulis mengusulkan agar dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Aceh ke depan, tidak perlu lagi ada pembahasan terkait kelompok kerja (pokja) keistimewaan.

Untuk apa bicara lembaga keistimewaan Aceh kalau sesama orang Aceh penuh dengan kecurigaan. Dalam perang dulu berjuang atas nama keistimewaan, dalam damai bergerak untuk mengebirinya.

Kalau lembaga yang bersejarah yang sudah ada saja tidak mendapat asistensi program eksekutif dan legislatif, maka sudah layak dibubarkan.

Untuk diketahui, peserta Mubes MPA yang memiliki hak pilih berjumlah 44 orang mewakili berbagai unsur pemangku kepentingan pendidikan di Aceh yang sesuai dengan qanun dan pergub, seperti: PGRI, IGI, PGMI, Wakil Ketua MPU, Dayah Ulee Titi, Dayah Ishafuddin.

Juga Kepala Kanwil Kemenag Aceh, Dinas Pendidikan Aceh, Kepala Dinas Pendidikan Dayah, Perwakilan Komite Sekolah, Biro Hukum Setda, Biro Keistimewaan Setda Aceh, BKOW, Forum Anak Aceh, Balai Syura Inoeng Aceh, KADIN Aceh, serta tokoh-tokoh pendidikan dan budaya seperti Prof. Drs. Yusni Saby, MA, Ph.D, Mawardi Ismail, M. Hum, Prof. Dr. Warul Walidin, Ak, MA, Suraiya Kamaruzzaman, ST., MT, T.A. Sakti, Nabhani HS, DA Kemalawati, dan lainnya.

Mereka telah mengikuti Mubes yang digelar pada 25 April 2024 di Hotel Hermes Banda Aceh, dengan pimpinan sidang Dr. Edwar M. Nur, SE., MM, Almunzir, dan Hj. Nurhayati, serta disaksikan oleh Prof. Dr. H. Muhibbuththabary, M.Ag (Wakil Ketua MPU) dan Ismaidar, M.Pd.

Saya sebagai salah seorang peserta Mubes yang ditetapkan dengan Pergub mewakili unsur akademisi kampus USM, berharap Kepala Sekrektariat MPA, para profesor yang tergabung dalam tim penguji kompetensi dan para peserta Mubes lainnya dapat memberi pandangan yang relevan, terbuka dan apa adanya, supaya kita tidak malu dengan asumsi jahat yang beredar, untuk ikhtiar memajukan pendidikan Aceh yang lebih baik, sudah saatnya berani bicara, tidak perlu khawatir atas intervensi, karena jalan yang benar pasti mendapat kemuliaan.[]

Berikan Pendapat

Berita Terkait