Mengapa Public Relation Perlu Fast Respon dan Mudah Dihubungi?
Oleh: Jabbar, AMIPR*)
DI era komunikasi yang berjalan secepat kedipan mata, informasi menyebar hanya dalam hitungan detik, dan opini publik bisa terbentuk dalam sekejap. Dalam kondisi seperti itu peran Public Relation (PR) menjadi sangat vital. PR tidak lagi hanya berfungsi sebagai tukang bicara organisasi, tetapi juga sebagai penjaga reputasi, jembatan kepercayaan, dan pengelola persepsi publik.
Dalam posisi sentral ini, satu hal yang tidak bisa ditawar adalah kemampuan seorang PR untuk fast respon dan mudah dihubungi oleh siapa pun yang membutuhkan klarifikasi atau informasi penting dari organisasi.
Pertanyaan mengapa penting seorang PR harus fast respon dan mudah dihubungi memang terdengar sederhana, tetapi sesungguhnya menyentuh akar profesionalisme dan etika komunikasi yang sangat mendalam.
Di tengah masyarakat yang semakin kritis dan digitalisasi yang memberi akses informasi secara terbuka, PR dituntut untuk selalu hadir di garis depan komunikasi.
Ketika terjadi isu atau krisis, PR harus menjadi pihak pertama yang merespons. Tanpa respons yang cepat dan akurat, organisasi akan kehilangan kendali terhadap narasi yang berkembang, dan reputasi yang telah dibangun bertahun-tahun bisa runtuh dalam hitungan jam, bahkan menit.
Respons cepat bukan hanya keinginan, tetapi menjadi kebutuhan utama. Dalam dunia jurnalistik, misalnya, media memiliki tenggat waktu yang sangat ketat. Ketika wartawan menghubungi PR untuk konfirmasi, mereka membutuhkan jawaban segera. Bila PR lambat merespons atau tidak merespons sama sekali, maka kemungkinan besar media akan menyajikan informasi yang tidak utuh, bahkan bisa jadi salah.
Hal tersebut tentu saja dapat merugikan organisasi karena kehilangan momentum untuk menyampaikan klarifikasi ataupun pesan kunci yang bisa menenangkan publik. Dalam kondisi tertentu, informasi yang tidak diklarifikasi akan berkembang secara liar dan sulit diluruskan.
Kemudian, cara seorang PR bersikap—baik saat menerima telepon maupun menjawab pesan singkat—juga mencerminkan bagaimana organisasi memandang publiknya. Bila PR mudah dihubungi, responsif, dan mampu memberi kejelasan, maka publik akan merasakan bahwa organisasi tersebut profesional, terbuka, dan dapat dipercaya.
Sebaliknya, jika PR sulit dijangkau dan tertutup, maka akan muncul kesan bahwa organisasi itu tidak peduli atau menyembunyikan sesuatu. Persepsi seperti ini sangat merugikan, apalagi di era kepercayaan publik menjadi modal utama.
Lebih dari itu, kemudahan dihubungi juga menjadi bentuk penghormatan terhadap publik. Ketika kritik, pertanyaan, atau bahkan keluhan ditanggapi dengan cepat dan serius, maka publik akan merasa sangat dihargai. Rasa dihargai ini pada akhirnya akan tumbuh menjadi kepercayaan.
Dalam jangka panjang, kepercayaan tersebut akan menjelma menjadi loyalitas. Loyalitas bukan hanya berdampak pada stabilitas organisasi, tetapi juga memperkuat posisi institusi di tengah persaingan opini yang semakin ketat.
Namun, mudah dihubungi itu bukan berarti harus selalu siaga 24 jam tanpa henti. Seorang PR juga manusia yang memiliki kebutuhan pribadi, waktu istirahat, dan ruang untuk menyeimbangkan kehidupan. Oleh karena itu, perlu ada pengaturan sistem komunikasi yang cerdas dengan menyediakan saluran resmi yang selalu dapat diakses publik.
Tantangan menjadi PR yang mudah dihubungi memang tidak ringan. Dibutuhkan komitmen, dedikasi, dan kesiapan mental yang tinggi. Namun, di situlah letak keistimewaannya. Seorang PR yang bisa diandalkan dalam kondisi normal maupun krisis adalah aset tak ternilai bagi organisasi.
Ia bukan hanya berperan dalam menyampaikan pesan, tetapi juga membangun dan mempertahankan hubungan jangka panjang dengan publik, media, mitra kerja, dan pemangku kepentingan lainnya.
Faktanya, kehadiran PR yang cepat merespons juga menciptakan iklim komunikasi dua arah yang sehat. PR bukan hanya berbicara atas nama institusi, tetapi juga mendengarkan suara publik. Dalam kondisi seperti ini, organisasi tidak lagi terlihat sebagai menara gading yang jauh dari masyarakat, melainkan sebagai entitas yang hadir, peduli, dan siap membangun relasi.
Tak dapat dimungkiri bahwa dalam dinamika informasi yang begitu cepat dan tidak selalu ramah, PR sering kali menjadi pihak yang paling pertama disorot, baik oleh internal organisasi maupun oleh publik eksternal. Oleh karena itu, kesigapan dalam merespons tidak bisa dianggap remeh.
PR harus mampu membaca situasi dengan cepat, menganalisis potensi dampak informasi, dan memberikan tanggapan yang terukur. Jawaban yang cepat, meskipun sederhana, bisa menjadi pembeda antara keberhasilan dalam meredam isu dan kegagalan dalam menjaga reputasi.
Menjadi PR adalah perjalanan panjang dalam menjaga nilai-nilai komunikasi, kejujuran, keterbukaan, dan tanggung jawab moral terhadap publik. Mudah dihubungi dan responsif bukan hanya soal kebiasaan atau kemampuan teknis, tetapi juga bagian dari komitmen untuk menjaga amanah dan kepercayaan yang diberikan kepada organisasi.
Dalam setiap komunikasi yang dilakukan, PR sejatinya sedang membangun jembatan antara apa yang organisasi pikirkan dengan apa yang publik harapkan. Jembatan tersebut tidak boleh terputus hanya karena PR sulit dijangkau.
Pada akhirnya, profesi PR adalah ladang pengabdian yang mulia yang menuntut ketekunan, kepekaan sosial, dan integritas. Ketika seorang PR mampu menjalankan peran dengan sepenuh hati, hadir tepat waktu ketika dibutuhkan, dan memberikan tanggapan yang membangun, maka ia telah menjadi lebih dari sekadar perpanjangan lidah organisasi—ia menjadi pengawal etika komunikasi yang menjunjung tinggi kepercayaan publik.
Maka, jadikanlah keterhubungan dan kecepatan merespons sebagai bagian tak terpisahkan dari identitas profesional PR masa kini.[]
*) Penulis adalah personel Polri aktif yang saat ini bertugas sebagai Staf Public Relation Polda Aceh dan juga Wasekjen Perhumas BPC Aceh.