Aceh dan Iklim yang Terus Berubah

TM Zulfikar

Oleh: TM Zulfikar, Pemerhati Lingkungan Aceh

ACEH tidak sedang baik-baik saja. Langit yang dulu cerah kini sering muram tanpa aba-aba. Hujan datang tak menentu, banjir melanda di luar musim, dan kekeringan menghantui sawah petani.

Perubahan iklim bukan lagi wacana global yang jauh di luar sana. Ia sudah mengetuk pintu rumah kita — dan bahkan mendobrak masuk tanpa permisi.

Sebagai wilayah yang pernah menjadi paru-paru hijau Sumatra, Aceh menyimpan keragaman hayati dan bentang alam yang sangat rentan terhadap perubahan cuaca ekstrem. Sayangnya, aktivitas manusia justru mempercepat kerentanannya. Alih fungsi hutan, pembukaan lahan gambut, dan ekspansi tambang mengoyak kantong-kantong karbon yang seharusnya menjadi tameng kita dari badai perubahan iklim.

Data dari BMKG menunjukkan bahwa rata-rata suhu tahunan di Aceh meningkat dalam dua dekade terakhir.

Curah hujan kian tidak menentu, menyebabkan banjir bandang di sejumlah wilayah pesisir dan longsor di kawasan pegunungan. Ketahanan pangan pun terancam karena pola tanam petani tidak lagi selaras dengan musim.

Apa yang seharusnya kita lakukan?

Pertama, mengakui bahwa krisis iklim adalah krisis kita bersama. Pemerintah daerah harus berani mengevaluasi proyek-proyek yang merusak bentang alam, terutama yang berpotensi mengganggu ekosistem sensitif.

Kedua, memperkuat pendidikan lingkungan di tingkat masyarakat akar rumput. Tanpa dukungan rakyat, kebijakan hanya akan menjadi lembaran kertas yang mudah dilupakan. Dan yang tak kalah penting: memulihkan hutan Aceh, bukan sekadar menanam bibit, tapi memastikan ia tumbuh menjadi sistem yang hidup dan utuh.

Iklim memang terus berubah, tapi kita tak boleh pasrah. Masa depan Aceh bergantung pada keberanian kita hari ini — untuk memilih jalan lestari atau tenggelam dalam bencana yang kita ciptakan sendiri.[]

Berikan Pendapat