Mendorong Revisi UUPA Jadi Prioritas Nasional
Oleh: Mayjen TNI (Purn) Teuku Abdul Hafil Fuddin, S.H., S.I.P., M.H*)
NASKAH ini tidak saya tulis karena merasa lebih tahu atau lebih berpengalaman dari siapapun.
Saya menulis karena merasa terpanggil sebagai seorang putra Aceh, oleh nurani dan oleh sejarah panjang perjuangan rakyat Aceh.
Saya menulis karena memikul tanggung jawab moral terhadap masa depan generasi kita.
Harapan saya sederhana: semoga proses revisi UUPA ini dapat menjadi jalan yang membawa masyarakat Aceh mengatasi ketertinggalan dengan lebih cepat, menuju kehidupan yang sejahtera lahir dan batin, tidak hanya untuk satu wilayah, tapi untuk seluruh Aceh, dari pesisir hingga pegunungan, dari kota hingga pelosok.
Sudah 20 tahun Aceh menjalani babak baru dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) adalah fondasi utama otonomi khusus yang lahir dari rekonsiliasi nasional melalui MoU Helsinki.
Namun, sebagaimana hukum yang hidup dalam masyarakat, UUPA tidak bisa berhenti berkembang.
Banyak ketentuan yang belum terimplementasi maksimal, sementara situasi nasional dan global telah berubah signifikan.
Maka, ketika Pemerintah Aceh dan DPRA menyerahkan draf revisi UUPA ke DPR RI pada 23 Mei 2025, kita memasuki fase penting: penyempurnaan otonomi Aceh.
Draf revisi UUPA telah tercatat dalam urutan ke-135 Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR RI tahun 2025.
Posisi ini tentu belum menjamin pembahasan cepat, sebab hanya sebagian kecil dari Prolegnas yang masuk agenda prioritas tahunan.
Pada tahap awal, saya pribadi, sebagai orang Aceh, jujur menyimpan keraguan.
Namun karena proses ini telah menjadi keputusan politik resmi Pemerintah Aceh dan DPRA, sikap terbaik kita sekarang adalah mendukung, mengawal, dan memastikan bahwa revisi ini benar-benar memperkuat kekhususan Aceh, bukan malah melemahkannya.
Jangan Hanya Menunggu
Tanpa strategi dan diplomasi yang aktif, revisi ini berisiko tertunda—bahkan dilupakan.
Aceh butuh lebih dari sekadar menunggu giliran. Butuh strategi. Butuh kepemimpinan. Butuh konsolidasi.
Prinsip Kehati-hatian
Pasal-pasal yang tidak diajukan untuk direvisi harus tetap dijaga dan dihormati.
Jangan biarkan celah dalam revisi dijadikan alasan untuk menggerus kekhususan Aceh yang sudah sah dan berlaku secara konstitusional.
Dana Otsus Bukan Hadiah
Poin paling krusial dalam draf revisi adalah kejelasan dan keberlanjutan Dana Otonomi Khusus Aceh.
Dalam naskah yang diajukan, harus ada penegasan bahwa:
- Dana Otsus adalah komitmen jangka panjang negara kepada Aceh, bukan bentuk belas kasih;
- Persentasenya tidak boleh dikurangi secara sepihak, bahkan harus diperkuat;
- Masa berlakunya tidak boleh dibatasi hanya dengan logika fiskal;
- Mekanisme evaluasi penggunaan dana harus mengutamakan kesejahteraan rakyat, bukan semata indikator administrasi.
Ketidakjelasan soal Dana Otsus dapat membuka konflik baru berupa ketidakpuasan rakyat terhadap pusat. Ini yang harus kita cegah.
Siapa Harus Berbuat Apa? Pemerintah Aceh harus memimpin proses ini, tidak hanya administratif, tetapi juga diplomatik dan politis, melobi DPR RI, Presiden, KSP, Menko Polhukam, dan kementerian terkait.
DPRA wajib mengesampingkan ego fraksi dan bersatu demi tujuan bersama: memperkuat fondasi hukum Aceh.
Anggota DPR RI dari Aceh perlu membentuk koalisi pro-revisi untuk mendorong percepatan pembahasan.
Tokoh masyarakat, ulama, akademisi, dan pemuda harus menjadi penjaga moral perjuangan ini, menyuarakan kepentingan rakyat dengan cara yang santun namun tegas.
Media lokal dan nasional harus menjadi jembatan edukasi publik—agar masyarakat memahami bahwa revisi ini adalah bagian dari upaya memperkuat otonomi, bukan mengancamnya.
Menyempurnakan bukan Mengganti
Arah Revisi UUPA adalah jalur tengah yang bijak untuk menyempurnakan kekhususan Aceh, dalam semangat damai dan keadilan.
Ini bukan pengingkaran atas MoU Helsinki, tetapi justru upaya untuk menghidupkan kembali semangatnya dalam bingkai hukum yang lebih operasional dan relevan dengan tantangan zaman.
Mari kita kawal proses ini dengan hati yang jernih, niat yang tulus, dan langkah yang strategis.
Pertahankan yang telah sah. Perkuat yang belum tegak. Demi Aceh yang lebih kuat, lebih adil, dan lebih bermartabat.[]
*)Penulis adalah tokoh Aceh, mantan Pangdam Iskandar Muda