Perspektif Kurban

Oleh Darmansyah

MAAF… Ini bukan khutbah. Hanya sebuah refleksi, Paling tidak untuk saya sendiri.

Saya ingin menulis gumam Idul Adha dari makna lain.

Bukan dari makna lembu, unta, kibas, kambing, dan domba yang dirajang untuk sebuah sebutan: kurban. Kurban yang sering menjadi bias dari makna seutuhnya.

Saya ingin mengambil sisi Idul Adha dari eksistensi yang berbeda. Nggak ada yang salah kecuali dipermasalahkan.

Dari sisi kiri. Bukan sisi kanan. Dari sisi seorang perempuan, sebagai istri, sebagai manusia biasa, sebagai ibunda… ibunda kemanusiaan kita semua.

Ibunda yang sering menjelma dalam kehidupan ril setiap anak manusia. Kemanusiaan seorang ibu. Ibu yang mengorbankan kehidupannya untuk meretas tali panjang bagi seorang anak.

Yang dalam ritual Idul Adha menjadi satu kesatuan sebagai pengorbanan milik Siti Hajar, Ismail plus Ibrahim.

Siapa pun tahu tentang dia.

Dia yang seorang budak perempuan berkulit hitam milik firaun yang dihadiahkan kepada Siti Sarah, istri pertama Ibrahim. Sang pembawa pesan agama monotheisme.

Hadiah budak perempuan dalam bacaan ayat-ayat dan kisah-kisah kitab suci setelah Firaun berkali-kali gagal “menjamah” Sarah, sebagai bentuk penghormatan dan takjubnya akan “karamah”-nya.

Firaun kemudian membebaskan Sarah dan menghadiahinya budak bernama Hajar itu. Sejak itu dimulailah kisah Siti Hajar yang luar biasa.

Dalam status sebagai budak Sarah, Hajar mendapat kabar bahwa Ibrahim a.s. menerima wahyu dari-Nya untuk menikahinya.

Pernikahan ini disertai dengan syarat dari Sarah. Syarat itu: bila Hajar hamil lebih dulu, ia harus rela dibuang ke tempat terpencil yang tidak ada manusia.

Maka, terjadilah kisah yang umumnya kita sudah tahu.

Dari sini dimulailah penderitaan Hajar. Penderitaan ketika ia harus dibuang sendirian bersama bayi di kandungannya yang kemudian kita diberitahu oleh pesan langit bernama Ismail.

Pembuangan itu bisa menjadi cerita panjang. Padang pasir terpencil. Yang tak ada sumber airnya. Dan banyak persambungan kisahnya. Seperti tidak ada manusia seorang pun di pembuangan itu.

Semua itu dia jalani semata-mata karena menuruti kata-kata suaminya, Ibrahim yang mendapat perintah-Nya.

Perintah yang seperti sering diulang-ulang para ahli agama. Perintah yang ditujukan kepada Ibrahim, tetapi penderitaan terberatnya harus ditanggung oleh Hajar.

Kisah pembuangan ini seperti yang kita dengar dan baca mengharu-biru. Dengan kesusahan yang luar biasa, hingga bayinya lahir. Hajar membesarkan sang bayi sendirian. Sang bayi bernama Ismail.

Seting cerita ini untuk kemudiannya berubah seiring berjalannya waktu.

Setelah Ismail tumbuh besar dengan jerih payah sang ibu sendiri di tempat terpencil itu, sang ayah, Ibrahim datang menjenguk mereka. Kali ini membawa wahyu yang lebih dahsyat.

Wahyu yang memerintahkan supaya Ibrahim menyembelih Ismail, yang saat itu masih kanak-kanak tak berdosa.

Bayangkanlah penderitaan Hajar saat itu, Sebagai seorang ibu yang ‘dibuang’ saat mengandung dan berhasil membesarkan anaknya sendiri.

Wahyu itu tak bisa ditawar. Hajar harus rela sang anak yang tak berdosa disembelih. Ia tidak pernah diajak berdialog, dimintai pertimbangan, atau diberi wahyu oleh-Nya Ibrahim.

Walau sesungguhnya ialah yang paling menderita karena ‘konspirasi suci’ antara suami dan Tuhannya.”

Saya berani mengatakan Hajar adalah seorang perempuan. Seorang manusia biasa, yang kemuliaannya melebihi nabi dan rasul.

Tuhan pun malu kepadanya sehingga memerintahkan Ibrahim menghadapkan rumah-Nya, baitullah, ke pangkuan hajar-hijir Ismail.

Ini semua merupakan simbol dari luasnya hati seorang manusia biasa yang bersedia menampung dan menanggung segala skenario ilahiah.

Sehingga tertulislah dalam sejarah umat manusia, salah satu kisah kemuliaan dan kebesaran hati seorang perempuan biasa, yang bukanlah seorang nabi ataupun rasul, melainkan seorang istri.

Ibu yang bersedia dengan tabah menanggung semua skenario Allah.

Maka saya menyimpulkan Idul Adha adalah hari yang memperingatkan kita mengenai kemuliaan, kebesaran dan keluasan hati, dan ketabahan perempuan sebagai ibu.

Idul Adha bukan sekadar hari raya hewan gembala yang dikurbankan, seperti yang diterangkan oleh beberapa pemuka agama kita.

Maaf, mungkin karena mereka korban juga.

Korban dari pemahaman dangkal, yang tidak mampu menangkap inti hakikat ajaran mulia dari agama suci sehingga tergelincir hanya mampu meniru budaya kulit luar saja.

Lantas saya bertanya: Ibrahim menyembelih seorang anak yang tak berdosa. Anaknya sendiri yang tak bersalah. Sanggupkah engkau?

Dalam riwayat, Ibrahim telah mendengar suara itu. Ia yakin itu titah, Titah tegak lurus. Saya memahami ia sedang diuji. Ujian sedekat manakah dirinya dengan sang pencipta-Nya.

Anda, saya atau siapapun: seandainya diberi perintah seperti itu akan menolaknya. Saya memang bukan Ibrahim. Seorang yang juga penuh ketakziman tapi berbelit dengan rasa takut.

Saya akan katakan, biarlah saya masuk neraka. Biarlah saya dikutuk, asal anak itu selamat. Belas kasih kepada bocah yang tak berdaya itu lebih mengguncang diri saya ketimbang kehendak-Nya.

Sekali lagi saya bukan ibrahim. Ibrahim yang kita tahu gambaran imannya sudah mengatasi nilai ”kebaikan” yang universal.

Dalam sebuah esai seorang ayatollah penulis negeri ini saya membaca bagaimana ia membangun narasi tentang seorang Ibrahim.

Tulisnya: ia bukan siapa saja. Ia unik, tersendiri, bersendiri. Menurut esai itu perbuatannya itu nggak bisa dibenarkan oleh nilai dan hukum apa pun.

Ditambahkannya, Ibrahim hanya bisa melakukan itu karena ia menaruh kepercayaan kepada ”kekuatan dari sesuatu yang absurd”.

Saya nggak berani mengatakan ia tokoh tragis. Ibrahim bukan seperti itu. Bagi saya ia adalah seorang  personifikasi ”ksatria iman”.

Tapi tetap saja tak mudah membayangkan seorang ”ksatria iman” harus memotong leher anaknya sendiri. Mungkinkah ia sampai hati benar?

Lantas saya teringat gambaran seorang Ibrahim meletakkan anaknya dengan muka yang menelungkup.

Dalam sebuah tafsir yang saya baca-at tabari- disebutkan bahwa si bocah berkata kepada ayahnya.

”Bila ayah baringkan aku untuk jadi kurban, telungkupkan wajahku, jangan ayah letakkan miring ke samping; sebab aku khawatir, bila ayah melihat wajahku, rasa belas akan merasuki diri ayah, dan ayah akan batal melaksanakan perintah-Nya.”

Ada sebuah lukisan yang pernah saya lihat di rumah pak cik sewaktu kanak-kanak di pengujung tahun lima puluhan. Lukisan saat Ibrahim menghunus pisau ke leher Ismail.

Latar warna lukisan itu biru. Ibrahim dengan baju khas arab sedang berdiri kukuh. Ismail sendiri duduk di kursi dengan mata dibalut kain.

Lantas ada manusia bersayap menghela kibas dalam posisi terbang ke arah Ibrahim. Manusia bersayap yang menghela kibas itu, menurut pak cik saya, yang imam sebuah masjid adalah malaikat.

Di lukisan tua itu tampak Ibrahim menutup wajah anaknya seraya ia menghunus pisaunya. Ia tak akan tega melihat mata si bocah dalam kesakitan.

Tapi yang menarik dalam lukisan yang kumal itu, Ibrahim tak memiliki rasa gentar dan gemetar.

Dalam lukisan yang dari rajutan benang itu, tampak tangan kanan Ibrahim dipegangi dan dicegah oleh tangan malaikat. Pisau itu terjatuh. Tangan kirinya masih menutupi wajah si bocah.

Matanya menatap ke arah sang malaikat yang lembut: biji matanya yang hitam itu tampak sebagai bagian dari senyum yang belum merekah.

Saya tak tahu dari mana lukisan itu datang. Apakah ia duplikasi dari lukisan yang banyak beredar dengan berbagai versi. Entahlah… Kala itu saya tak pernah bertanya. Menerima apa adanya.

Namun, ketika mengenang lukisan dari kain rajutan itu, di hari ini, saya bisa mengingat akan Hajar di saat itu. Ia jadi berarti. Karena itulah pengorbanan.[]

  • Darmansyah adalah wartawan senior, penulis “Kolom Bang Darman”
Berikan Pendapat

Berita Terkait

Merah Kuning

Darmansyah
0

Alta Zaini

Darmansyah
0
0