Aroma Daging Kurban dan Semangat Kesembuhan di Rumah Singgah BFLF
PORTALNUSA.com | BANDA ACEH – Idul Adha 1446 Hijriah, ketika sebagian besar masyarakat telah kembali ke kampung halaman merayakan Lebaran bersama keluarga sambil menyantap rendang dan lontong sayur, suasana tak jauh berbeda justru terasa di Rumah Singgah Blood For Life Foundation (BFLF) Indonesia, Banda Aceh.
Di sinilah puluhan pasien dari berbagai kabupaten/kota di Aceh menetap, jauh dari rumah dan orang tercinta.
Mereka bukan tidak ingin pulang, tapi kondisi kesehatan yang belum pulih memaksa untuk tetap bertahan. Sakit kronis tak mengenal hari libur, dan rumah singgah menjadi tempat perlindungan sementara, bahkan di hari raya kurban.
“Saya rindu anak,” kata Yusmawati (44), pasien autoimun asal Aceh Utara, pada salah seorang pengurus rumah singgah pada hari kedua Idul Adha.
Matanya berkaca-kaca sambil menyibukkan diri memasak daging. Ia sudah lama berpisah dengan buah hatinya demi bisa menjalani pengobatan lanjutan di RSUD Zainoel Abidin, Banda Aceh.
Tak tinggal diam, pengurus rumah singgah langsung menawarkan: “Masaklah daging kurban itu, Bu. Nanti kirimkan pakai mobil L-300 ke kampung untuk anak. Itu sedekah orang-orang yang peduli.”
Hari itu, Yusmawati pun memasak daging bersama pasien lain. Saling bercerita, saling tertawa kecil, menenangkan hati yang gundah. Sejenak mereka merasa punya rumah, bukan hanya tempat berteduh, tapi juga rumah dalam makna yang lebih dalam bak tempat berbagi rasa dan harapan.
Menghapus sepi
Sebanyak 34 orang—terdiri 11 pasien, 22 pendamping, dan lima pengurus siaga mengisi rumah singgah yang beralamat di Jalan Kepiting No. 5, Banda Baru, Banda Aceh, serta satu rumah singgah tambahan di Jalan Arifin Ahmad II, Ie Masen Kayee Adang.
Mereka berasal dari Aceh Utara, Bireuen, Simeulue, Aceh Singkil, Aceh Tamiang, Bener Meriah hingga Subulussalam.Beberapa di antaranya adalah anak-anak.
Shanum Salsabila Berutu, bayi berusia 1 tahun dari Subulussalam, didiagnosis tumor di paha. Ada juga M. Bilal El Shadid, bayi berusia 4 bulan dari Bireuen dengan gangguan usus besar.
Meski belum bisa bicara, wajah polos mereka menjadi pengingat bahwa perjuangan untuk sehat tidak mengenal usia.
Daging dan doa tak pernah putus
Lebaran kedua, barulah daging kurban tiba. Tak banyak, tapi cukup untuk membuat suasana sedikit lebih meriah. Pengurus membaginya secara adil, dan dapur rumah singgah hidup sejak pagi.
“Saya baru saja pulang kontrol dari RSUDZA, langsung ke sini, ke rumah singgah,” ujar Yunidar (49), pasien asal Bireuen yang mengidap komplikasi. Ia bersyukur, tak perlu memikirkan biaya sewa penginapan atau ongkos makan selama di Banda Aceh.
Dibuka untuk siapa saja
Michael Octaviano, Ketua Yayasan BFLF Indonesia, menegaskan bahwa rumah singgah selalu terbuka, bahkan saat hari besar seperti Idul Adha.
“Orang sakit tidak bisa menunggu sembuh setelah Lebaran. Justru saat semua orang pulang, mereka membutuhkan tempat yang aman untuk beristirahat dan melanjutkan pengobatan,” ujar Michael.
Ia juga mengajak masyarakat untuk datang, sekadar menyapa untuk memberi kebahagiaan bagi para pasien.
“Senyum, cerita, bahkan makanan rumah bisa menjadi obat penenang bagi mereka yang sedang menahan sakit,” tambahnya.
Sejak pertama berdiri, rumah singgah ini telah membantu 1.506 pasien dan pendamping dari seluruh Aceh.
Di balik angka itu, ada cerita-cerita perjuangan yang tak terhitung seperti harapan seorang ibu, tangis seorang anak, pelukan yang tertunda, dan doa-doa panjang yang terus dipanjatkan.
Di hari-hari suci seperti Idul Adha, rumah singgah BFLF tak hanya menjadi tempat berteduh. Ia menjadi ruang berbagi, tempat berlindung, dan rumah bagi mereka yang memilih bersabar di antara kurban, ridha, dan ikhtiar.
“Karena bagi mereka yang sedang berjuang sembuh, setiap hari adalah perjuangan. Dan setiap kepedulian adalah cinta yang menyembuhkan,” ujar Michael.[]