Benang Kusut

 

Oleh Darmansyah

ANDA gak perlu dikasih  tahu atau mencari tahu bagaimana mengurai benang kusut.

Sudah tahu.

Kalau saya ditanya tentang benang kusut akan menjawabnya dengan sangat sederhana: luruskan dulu otakmu dan padamkan egomu.

Benang kusut itu bikin miring otak dan membakar ego.

Benang kusut itu kini sedang berpilin di kementerian kesehatan. Yang memilinnya adalah sang menteri kesehatan sendiri. Namanya sering diakronimkan dengan be-ge-es. Budi Gunadi Sadikin.

Ia orang pintar. Orang pintar yang kalau Anda mencari kamusnya pasti ketemu dengan egonya yang bak gajah bengkak. Besar.

Be-ge-es memang orang pintar. Orang yang sekaligus memiliki ego besar. Ego seorang yang datang dari profesional korporasi. Yang dulunya berkarier sebagai finansial.

Ia menjadi menteri kesehatan yang bukan berlatar kesehatan. Bukan dokter. Yang sepanjang sejarah republik ini merupakan orang kedua di kementerian kesehatan yang bukan dokter.

Dia meraih gelar sarjana bidang fisika nuklir dari Institut Teknologi Bandung. ITB.

Dan gak memilih berkarier di bidang ilmunya. Ia memilih finansial sebagai lanjutan kariernya.

Menjadi profesional di berbagai entitas keuangan. Bahkan merambah ke banyak sudut yang berkaitan dengan keuangan dan perbankan hingga informasi teknologi.

Anda juga gak perlu saya kasih tahu tentang njelimetnya hitungan orang keuangan. Hitungan untung dan rugi. Pilihannya pasti miring ke untung.

Kariernya cemerlang hingga menjadi wakil menteri badan usaha milik negara. Di era covid merajang negeri ini ia menjadi menteri kesehatan. Sukses.

Sukses mengatasi covid ini menyebabkan ia pede membenahi benang kusut kesehatan hingga merambah ke dunia profesi kedokteran. Membenahi pendidikan lanjutan kedokteran bahkan menghantam kolegium.

Di awal pembenahan be-ge-es meluncurkan program yang namanya transformasi kesehatan.

Banyak pihak sempat menaruh harapan. Enam pilar transformasi yang digaungkan—mulai dari layanan primer, rujukan, es-de-em kesehatan, pembiayaan, teknologi kesehatan, hingga ketahanan kesehatan nasional—terdengar menjanjikan.

Sayangnya, harapan itu perlahan bergeser menjadi kekecewaan. Transformasi yang dijanjikan justru menjelma menjadi deformasi.

Perubahan yang tak menuju perbaikan, melainkan distorsi sistemik yang mengancam fondasi layanan kesehatan nasional.

Di sinilah benang kusut jadi berpilin. Saya baru tahu bagaimana sulitnya mengurai benang kusut untuk kemudian menegakkan benang basah di dunia kedokteran.

Benang kusut ini makin berpilin secara telanjang saat be-ge-es hadir di mahkamah konstitusi dalam sidang uji materi undang-undang kesehatan.

Alih-alih memaparkan argumentasi berbasis bukti ilmiah yang kokoh dan data empiris yang terukur, yang tersaji justru sekadar retorika: narasi besar tanpa dukungan data kuat, tanpa kejelasan konseptual, dan tanpa kesiapan teknokratis.

Terutama soal konsekuensi penghapusan profesi dan konsil kedokteran independen, atau soal pendirian rumah sakit pendidikan tanpa keterlibatan kampus, jawaban yang muncul tak menjawab inti kekhawatiran.

Sebaliknya, kritik yang dilontarkan akademisi, profesi, dan kampus justru dilabeli sebagai suara “status quo yang takut berubah”.

Padahal kritik itu justru berangkat dari kekhawatiran tulus terhadap mutu, etika, dan kemandirian profesi kesehatan.

Tambah tahunya saya lagi betapa kusut dunia kedokteran tadi malam. Usai isya. Dari wawancara milik Rosi Silalahi di jaringan televisi “kompas.”

Wawancara yang tersendat-sendat disertai nada sentimentil dari uap kemarahan yang dibungkus dengan tatapan kosong. Seperti sebuah wawancara imajiner  yang hang hing hong…

Rosi sebagai pewawancara jauh dari gaya batak. Ia seperti n-jowo. Sangat santun dalam mengulik tanya. Gak provokatif seperti memotong jawab atau menghardik. Kesannya lurus-lurus saja.

Padahal wawancara semacam ini adalah panggung. Bisa dijadikan sebagai panggung sandiwara dengan memasukkan unsur teaterikal.

Lantas saya melayang: kenapa gak Najwa Sihab saja. Najwa lebih elegant dalam mengaduk-ngaduk tanya. Bisa mencibir  jika jawaban si narasumber complang…Bisa juga menyepelekan ego lawannya.

Entah.

Yang diwawancarai Rosi tokoh sentral dari benang kusut dalam menegakkan benang basah itu.menteri kesehatan. Yang egonya gak ketulungan besarnya.

Tentang ego besar sang menteri bukan kata saya. Tapi kata dokter-dokter. Mungkin dokter yang tergabung dalan ikatan dokter indonesia. Ikatan dokter profesi.

Sang menteri yang pakar nuklir dan keuangan dalam wawancara itu kelihatan kelelahan. Bahkan, seusai wawancara ketika sorot kamera belum dipadamkan ia nelangsa di frame long shoot

Terlihat menyandarkan punggung di sofa dan merebahkan kepala untuk berbicara dalam tangkapan kamera ketika lampu studio mulai meredup.

Tentang kelelahan ini ia beralasan kecapean mempersiapkan kedatangan Bill Gate. Pemilik microsoft. Yang dua hari lalu berkunjung dan bertemu dengan presiden.

Lepas dari alasan itu saya kasihan melihatnya.

Sebagai seorang jurnalis, saya melihat di kejauhan secara sama-samar adanya “pertarungan” ego yang belum selesai antara sang menteri dan para dokter yang terungkap selama wawancara berlangsung.

Ego ini terang benderang kala sang menteri berkutat di materi undang-undang dalam setiap pertanyaan nakal dari Rosi. Ia seperti menyepelekan etik kedokteran. Kode etik.

Ia lupa bahwa pekerjaan dokter itu profesi. Setahu saya lagi orang yang berprofesi adalah orang yang sangat independen.

Orang yang berprofesi adalah orang yang dalam jiwanya dibentuk sikap otonom: mau melakukan atau tidak mau melakukan. Itulah yang membentur setiap jawaban sang menteri yang tak berkesudahan.

Secara internal meteri kesehatan harus berurusan dengan jenis manusia seperti itu. Mereka adalah konsumen –konsumen internal. Harus dipuaskan juga.

Kadang saya pun sulit membedakan mana jiwa otonom, independen, dan arogan. Sepertinya tiga hal itu menyatu dalam sebuah jiwa profesi.

Profesi lebih taat pada kode etik dibanding ke undang-undang.  Menteri lebih taat pada undang-undang–tidak terikat pada kode etik.

Jika melanggar kode etika, tetapi harus dilakukan karena sesuai undang-undang, bisakah tetap dilakukan…?

Katanya bisa… sudah pernah dibahas dan ditemukan solusinya… jika ada kasus terpidana harus dihukum mati dengan disuntik, siapa yang melakukan…?

Dokter biasa gak mau karena melanggar kode etik… maka yang melakukan adalah dokter yang sekaligus polisi atau tentara.

Ketaatan dokter pada kode etik sudah melekat sebagai tanda dia berprofesi. Sampai hari ini menteri kesehatan  masih punya agenda besar bagaimana memperlakukan konsumen internalnya.

Terakhir muncul tantangan dari kolegium. Konflik tidak kunjung reda. Kini logo salah satu spesialis dokter ditambahi pita hitam. Viral dengan luasnya.

Konflik harus berakhir. Rasanya harus ada jalan tengah. Saya tahu menkes orang yang sangat pintar, pandai, dan cerdas.

Rasanya itu baru cukup untuk modal menjadi seorang menteri biasa. Untuk menteri kesehatan masih harus ditambah satu lagi: ia harus hebat!

Be-ge-es bisa jadi orang hebat –kalau ia bisa menundukkan dokter tapi juga tunduk pada prinsip-prinsip profesi dokter.

Tahun lalu ego sang menteri menang. Ia bikin sejarah. Itu terjadi di awal bulan Mei. Pendidikan dokter spesialis gratis. Bahkan mahasiswanya dibayar. Seperti di negara maju.

Pendidikan dokter spesialis tidak lagi dilakukan di fakultas kedokteran. Pendidikan itu dilakukan di rumah sakit. Ada sambutan gegap gempita. Saat itu waktu  injury time jabatan kepresidenan.

Saya tahu sejak dulu perubahan di bidang pendidikan dokter spesialis itu sulit diubah. Padahal begitu penting. Penting untuk perbaikan mutu kesehatan itu sendiri.

Debat publiknya masalah pendidikan dokter spesialis ini sudah berbilang tahun. Berbilang menteri datang dan pergi. Semuanya meninggalkan ego yang terbengkalai.

Kali ini pelontar  ego itu menteri kesehatan yang bukan dokter. Bukan seperti menteri kesehatan favorit saya dulu. G a siwabessy. Siwabessy yang humble. Menyenangkan banyak orang.

Pembaharuan pendidikan dokter spesialis ini  sudah sangat lama. Membentuk kelompok pro-kontra.

Lantas muncul kolegium yang merupakan kumpulan ahli dari disiplin ilmu kesehatan yang mengampu cabang disiplin ilmu tersebut dan menjalankan tugas serta fungsi secara independen dan menjadi alat kelengkapan konsil.

Sehingga kedudukan kolegium tidak dapat dimaknai berada dan/atau bertanggungjawab secara struktural di bawah konsil.

Dan kolegium ini menjadi tantangan baru bagi menteri.

Sebagai jurnalis yang dulu pernah berkutat di rubrik orke-olahraga-kesehatan- saya sudah lama menunggu saatnya diputuskan.

Dengan dicabutnya pendidikan dokter spesialis dari fakultas kedokteran berarti kemenangan ada pada be-ge-es.

Ia menang dalam menundukkan ego para dokter, sementara ego para dokter ingin tetap mewujudkan keinginan kelompok mereka.

Apakah langkah sang menteri itu sudah benar?

Dari banyak dokter saya menenteng jawaban yang gak bulat. Bisa jadi kebenarannya hanya sedikit. Bisa juga separuh benar.

Seharusnya, meski tidak sepenuhnya benar, kedua pihak perlu melakukan refleksi. Bagaimana cara terbaik agar kebutuhan masyarakat menjadi patokan yang utama.

Seperti yang dilakukan menteri kesehatan dengan membangun lima rumah sakit vertikal. Sudah jadi. Semuanya kelas triliunan rupiah.

Lantas datang pertanyaan sempatkah menteri membangun ”isi” dan sistemnya? Di lima rumah sakit itu sekaligus? Membangun ”isi” sejak dari nol? Berapa lama?

Sebagai ahli keuangan ia tahu: kalau rumah sakit itu tidak segera ”produktif” maka ratio investasi dengan out produksinya buruk. Negara ini terlalu banyak investasi dengan hasil yang buruk.

Kalau sampai satu tahun lagi produktivitas rumah sakit triliun itu belum baik citra sang menteri akan jatuh.

Ia akan dapat peneguhan bahwa bukan dokter tidak tahu bagaimana membangun rumah sakit. Apalagi kalau alat-alat canggih di dalamnya jarang dipakai.

Semua itu pekerjaan besar yang tidak kelihatan di mata: harus membangun manusia, membangun sistem, membangun team work, membangun budaya manajemen. Terakhir: membangun kepercayaan.

Sebagai orang keuangan menteri tahu tentang marketing  yang sudah berubah. ”Konsumen adalah raja” hanya bisa dicapai bila konsumen internal juga puas atas perlakuan leader.

Banyak leader berambisi memuaskan konsumen di luar sana seraya melupakan bahwa internal adalah konsumen juga.

Sulitnya, konsumen internal seorang menkes sangatlah khusus. Bukan seperti umumnya karyawan bank atau pabrik. Konsumen internal menkes lebih banyak dokter dan tenaga medis.

Tidak mudah ”menundukkan” jenis konsumen seperti dokter. Dokter adalah profesi. Bukan pekerjaan biasa.

Sebagai awam saya juga ikut lelah mengikuti wawancara. Subtema yang beranak pinak. Seperti beranak pinaknya subspesialis di pendidikan kedokteran yang memunculkan kolegium-kolegiuman.

Pernyataan sang menteri bagi orang seperti saya sulit untuk diternakkan di kepala. Saya yang dulunya banyak menyalin remah dunia kesehatan ikut terbawa hang hing heng keluh kesah sang menteri.

Tapi apa boleh buat. Apa saja bisa dilakukan. Walaupun sudah tidak ada lagi kesalahpahaman.[]

  • Darmansyah adalah wartawan senior, penulis “Kolom Bang Darman”

 

 

Berikan Pendapat

Berita Terkait

Merdeka Pesong

Darmansyah
0

Kopi Bid’ah

Darmansyah
0

Pulau Piatu

Darmansyah
0