Pulau Piatu di Negeri Setengah Yatim
Oleh Darmansyah
SAYA yakin empat pulau itu tetap akan menjadi pulau piatu. Maka untuk seterusnya, bukan hanya di tulisan ini, saya tetap menamakan keempatnya pulau piatu.
Empat pulau di selatan arah mata angin negeri setengah yatim yang sempat jadi silang sengketa dalam sengkarut kata-kata kemarin-kemarin itu.
Empat pulau yang dinarasikan seperti perang model referendum yang dulu menjadi bagian dari elegenitas kebangsaan. Yang narasinya secara domestik gak kalah dengan krisis Gaza dan Iran.
Ketetapan saya untuk menamakannya sebagai pulau piatu gak akan berubah hingga arash berbisik ke saya tentang janji untuk kembali ke negeri ujung langit.
Saya percaya kepiatuannya terus berlanjut hingga di sebuah hari nanti. Saat itu ia akan karam. Innalillahi… dan menjadi rumah bagi eungkot keurapu dan bandi merah di dasar samudera.
Rumah pulau karang untuk dinikmati para pelancong backpeaker yang berdiving dan snorkeling di gua-gua karang tempat clownfish, gobi, butterflyfish, angelfish dan cleaner wrasse bercengkerama.
Ikan-ikan yang memiliki warna dan corak yang menarik serta berperan penting dalam ekosistem terumbu karang yang kemudian diperjualbelikan hingga ke Hongkong dan Sanghai.
Saya tahu itu semuanya. Pernah mengikuti perjalanannya. Dulu. Ikut melihat ikan “surga” itu dipreteli, dioksigin, dipak dan diterbangkan atas nama paket milik very important person.
Paket naratama, yang yang mendapatkan perlakuan khusus.
Entahlah…
Kalau Anda anak udik di negeri setengah yatim seperti saya ini pasti tahu bagaimana para backpacker selama bilangan dekade menyambangi Pulau Balai, Pulau Tuanku hingga ke Bangkaru.
Backpeaker yang dengan ransel dan dollar receh lebih memilih perjalanan mandiri dan otentik untuk menyelami pulau karam yang bertumpuk di kepulauan banyak. Seperti pulau piatu itu kelak.
Backpeaker yang membuat roadmap pelancongan secara sendiri-sendiri, menggunakan transportasi umum, dan mencari akomodasi yang lebih murah seperti hostel atau guesthouse.
Atau pun backpeaker seperti saya di lima puluh satu tahun lalu yang tidur di tenda plastik beralaskan terpal tipis di celah pandan laut dan pohon kelapa yang meranggas di Pulau Panjang.
Backpeaker anak negeri setengah yatim yang membasuh muka di sebuah subuh dengan air asin dan memakan nasi setengah basi di pulau piatu itu.
Saya punya alasan untuk mengatakan empat pulau itu pulau piatu. Pulau kecil punya kapasitas kecil dalam mempertahankan eksistensinya sendiri dari kenaikan permukaan laut.
Saya tahu hingga hari ini gak ada yang tahu bagaimana Pulau Mangkir Ketek yang daratannya tinggal sejengkal dibanding ketika saya berhula-hula lima dekade silam yang luasannya masih sedepa.
Saya tahu juga bagaimana Pulau Panjang yang ujungnya dulu ada bukit karang kecil yang dibasuh ombak angin selatan kini sudah menjadi rumah ikan bandi merah dan dipanggang anak nelayan Manduamas.
Apa lagi kalau pulau piatu yang kemasan narasinya. seperti saya dengar kemarin subuh, dipetakan sebagai blok migas. Narasi alay yang entah dari mana hang hing hong muasalnya.
Yang saya tahu di pertengahan tahun tujuh puluhan ketika saya bolak-balik ke Kepulauan Banyak sebagai guiden bergaji sekadar makan siang pernah nyambi sebagai buruh lepas.
Buruh lepas penunjuk jalan bagi para ekspiditeur pencari minyak dan gas. Yang akhirnya mereka pulang tanpa menanam rig di lepas pantai. Berarti halusinasi migas itu heng.
Saya tahu bila pulau piatu dihajar tambang yang mengancam eksistensinya: ia akan mengelupas dan akan membunuh terumbu karangnya.
Maka tamatlah riwayatnya.
Saya tersedak ketika hari-hari kemarinnya empat pulau piatu dijadikan komoditi dalam rajang perang kata-kata. Rajang kata-kata dijadikan berita.
Saya sempat terjebak dalam arus konflik itu. Konflik kata-kata yang sudah jadi berita. Sudah jadi komoditi. Di sebuah duek pakat dengan beberapa teman di sebuah kafe kawasan Setiabudi.
Sangat sulit bagi saya untuk menghindar dari konflik yang sudah jadi komoditi berita di duek pakat itu. Komoditi berita empat pulau piatu yang menjadi bonanza.
Dalam rajang merajang kata ini saya sulit memilah mana berita yang akurat dan mana yang rekayasa. Apalagi kalau membaca blog atau pun media sosial semacam facebook.
Padahal pemilahan mana yang benar dan tidaknya sebuah berita sudah begitu sempurna. Lama-lama saya jadi gak percaya dengan semua rajang itu.
Bahkan ketika rajang perang kata-kata ngelantur menjadi narasi mbong khas negeri miskin yang sedang tidak baik-baik saja.
Saya hanya menatap senyap ke tungkai wajahnya sembari mengurai kata: sejak pajan kau pernah menyelami negeri piatu itu. Pulau piatu itu.
Ia tergagap. Dan kembali merajang kata mengungkit sejarah dan bermain dengan narasi anyir mencari padanan yang pas untuk memposisikan letak duduk perkara yang complang.
Saya tahu ia bukan siapa-siapa dalam sengkarut pulau piatu di negeri piatu itu. Ia hanya mengambil hikmah dari sengkarut orkestrasi yang tanpa derigen dan partiture itu.
Saya sudah tahu rajang kata-kata ini akan berakhir elegan. Sudah tahu sejak tiga tahun lalu ketika saya menulis sebuah esai pendek.
Sebuah esai tersedak dari investigasi report setengah pesong untuk menjinakkan riak “atjeh moorden” waktu itu.
Sejak lama saya menamakan empat pulau konflik di sekatan bumi selatan negeri setengah yatim itu pulau piatu. Di negeri tumpah darah saya.
Saya gak ingin mengecam mereka yang merajang konflik. Gak juga ingin membela “wahabi” pembela dan penentang.
Maaf bila saya salah kalau melabeli mereka yang pembela dan penentang di pusaran konflik kata-kata ini sebagai “wahabi.”
Alasan saya melabeli keduanya dengan “wahabi” karena mereka orang-orangnya jumud, konservatif dan berkacamata kuda membela dan menentang setiap pendapat. Tak peduli konteksnya.
Mereka bertahan tentang maslahat dan manfaat menurut masing-masing. Maslahat dan manfaat yang saling ditolak dalam setiap debat
Saya terus terang heran dengan cara pandang kedua kubu. Bukankah yang dijadikan konflik pikiran mereka sendiri. Mindset. Cara mereka berpikir, memahami, dan merespons.
Memang ada maslahat dalam rajang merajang opini itu. Dan saya bertanya siapa yang paling diuntungkan?
Anda gak usah saya kasih tahu. Mungkin bisa mencari tahu siapa sebenarnya yang menguasai opini itu.
Siapa yang menikmati bonanza itu? Lalu tanyakan pula: Siapa yang membayar ongkos kerusakan cara berpikir banjir bandang berita itu?
Saya jujur saja. Gak melihat rajang kata-kata itu seluruhnya buruk. Tapi, harus dilihat apakah mudharatnya lebih banyak dari manfaat.
Saya bersyukur rajang kata-kata berakhir elegan. Gak ada yang kalah menang, Semuanya menang. Memang ada kerusakan yang nyaris memicu konflik sosial.
Tapi semuanya sudah berakhir dan doa saya jangan diperpanjang
Saya tak heran jika di pekan ketiga rajang kata-kata itu ada kesadaran bersama untuk menjauh dari klaim empat pulau itu makin memanas.
Saya menelurusi ada upaya secara gak diduga untuk muncul memori kolektif lama yang terpendam yang tegangannya bersambung dengan pemerintah pusat.
Ini hanya sebuah obsesi lama. Obsesi untuk merdeka yang kini sudah digantikan otonomi khusus. Maka bahasa yang dipakai dalam setiap narasi terselip kata dicaplok.
Saya kembali mengingat munculnya keresahan ini salah satu penyebab berasal dari pengelolaan sumber daya alam. Tapi itu dulu. Sudah selesai.
Yang belum selesai dari konflik empat pulau piatu: Panjang, Mangkir Gadang, Mangkir Ketek dan Lipan itu, adalah patok batas laut. Masalah sepele.
Sebenarnya tahu penyelesaian itu di dua pekan lalu. Dari kalimat yang sinis dari seorang teman menanggapi banjir bandang berita yang judul dan isinya centang prenang itu.
Dari lebih tahu itu saya menulis lagi dalam esai berbau apak dengan judul dua kata yang gak bersambung: pulau piatu.
Selain itu saya juga tahu, sejak dulu, rajang perang cebong kadrun media, baik mainstream maupun media sosial umurnya paling bertahan empat puluh hari. Sesudah itu soh..Jadi gelembung.
Gelembung yang isinya uap angin. Yang dulu ketika saya masih aktif sebagai jurnalis “sepatu bot” model berita begitu sering kami ejek sebagai “bubbles containing steam.”
Bubbles yang sering jadi mainan anak-anak, Bubbles bak cairan sabun yang beterbangan untuk kemudian meletus tanpa bunyi.
Dalam konteks rajang perang media hari ini, istilah “gelembung” itu bisa ditafsirkan sebagai omon-omon.
Lebih ngenyeknya lagi ia hanya “having a bubble”. Tertawakan saja dan entry dengan bahasa gaul mandi berbusa. Basah..basah…
Entahlah…
Maaf saya berimajinasi. Imajinisasi yang datang dari halunisasi khas seorang jurnalis. Jurnalis yang harus jujur dalam mengurai kata. Jurnalis yang posisinya sudah jelas.
Pertanyaan dasarnya sederhana: benarkah keempat pulau ini memang milik kita?
Jawabannya benar. []
- Darmansyah adalah wartawan senior, penulis “Kolom Bang Darman”