Khanduri Blang, Cara Petani Aceh Jaya Menjaga Warisan Leluhur ‎

Kebersamaan masyarakat tani Kecamatan Panga, Aceh Jaya larut dalam khanduri blang sebagai tradisi adat leluhur yang terus dijaga. (Foto Samsuar/Portalnusa.com)

Catatan Samsuar, Kontributor Portalnusa.com, Aceh Jaya

DI tengah arus modernisasi yang kian deras, tradisi lokal seringkali tergilas oleh budaya instan dan gaya hidup praktis. Namun, di Kecamatan Panga, Kabupaten Aceh Jaya, ada satu tradisi sakral yang tetap dijaga dan dilestarikan secara turun-temurun: Khanduri Blang — sebuah kearifan lokal yang mengakar kuat dalam kehidupan petani Aceh.

Bupati Aceh Jaya, Safwandi bersama unsur Forkopimda pada acara khanduri blang di Kecamatan Panga, Kamis, 25 Juni 2025.(Foto Samsuar/Portalnusa.com)

‎Khanduri atau kenduri blang bukan sekadar acara syukuran musiman, tapi sebuah bentuk tafsir budaya atas harmoni antara manusia, alam, dan Sang Pencipta.

Tradisi ini dilaksanakan menjelang musim tanam padi dan saat padi mulai subur (pade dara), sebagai bentuk permohonan kepada Allah SWT agar terhindar dari hama dan diberi hasil panen yang melimpah.

‎Prosesi ini digelar di balai kenduri, tempat yang diyakini sakral oleh masyarakat setempat. Para petani, tokoh adat, dan ulama berkumpul, menyembelih kerbau sebagai simbol dimulainya aktivitas pertanian.

‎Dagingnya dimasak, lalu disantap bersama dalam semangat kebersamaan yang kental—bukan sekadar makan bersama, tapi meneguhkan kembali ikatan sosial dan spiritual antarwarga.

‎Suasana yang begitu bersahaja dan khidmat terlihat Kamis, 26 Juni 2025 di Dusun Ie Itam Jaya, Gampong TUwi Kareung, Kecamatan Panga. Doa bersama dipimpin oleh Teungku Sagoe, dengan lantunan surat Yasin menggema di tengah areal persawahan.

‎Usai doa bersama dilaksanakan, panitia mengumumkan waktu yang tepat turun pertama membajak sawah, agar seluruh petani memulai proses tanam serentak demi menghindari serangan hama yang tidak merata.

‎Uniknya, selain khanduri blang petani setempat juga memberlakukan tradisi khanduri pade yang dilaksanakan saat padi mulai tumbuh subur. Air Yasin (Ie Yasin) dipercikkan ke sawah sebagai bentuk permohonan berkah.

‎Para wanita tani didaerah itu sibuk menyiapkan bunga dan dedaunan yang diletakkan di ateung blang (pematang sawah), sambil menjaga lisan dari ucapan sombong dan takabur—nilai yang sangat islami, namun dibingkai dalam kekayaan adat.

‎Sayangnya, tradisi seperti ini makin langka di banyak tempat. Di Aceh Jaya sendiri, hanya Kecamatan Panga yang masih konsisten menjaga situs adat ini. Pertanyaannya, apakah masih ada yang bersedia mempertahankan kearifan lokal ini?

‎‎Di sinilah pentingnya peran pemerintah daerah, tokoh adat, dan generasi muda. Budaya tidak cukup diwarisi; ia harus dihidupi. Khanduri Blang adalah simbol kesadaran ekologis, spiritual, dan sosial masyarakat Aceh yang patut dijaga. Bukan sekadar warisan, tapi fondasi identitas.

‎Jika tradisi ini punah, kita tak hanya kehilangan upacara adat. Kita kehilangan cara hidup, nilai, dan arah. Maka mari jaga khanduri blang—bukan sebagai simbol nostalgia, tapi sebagai cermin masa depan yang berakar kuat di tanah kelahiran kita.[]

Berikan Pendapat