Fikih Syiah
Oleh Darmansyah
“Sepertinya, semua kita sudah jadi syiah.”
Itu bukan kata saya. Itu kata sepakat ketika kami “duek pakat” di sebuah keude kupi di kawasan Tebet Barat. Keude kupi milik seorang rakan . Pagi tadi. Keude kupi saring yang pahitnya di bawah Solong Ulee Kareng.
Yang bersepakat itu semuanya sunni. “Ahlul sunnah wal jamaah.” Sunni mazhab syafii. Sunni yang qunut dan doa usai shalatnya beda. Yang bacaan istighfar serta “allahumma antassalam” dan shalawatnya juga beda.
Sunni yang juga beda kitab rujukannya. Ada yang sunni kitab kuning. Kitab kuning yang sering di sepelekan karena ritualnya bercampur dengan tradisi. Sunni yang dituding bid’ah.
Dan ada pula sunni hambar. Yang ritual ibadahnya disederhanakan. Ibadah tanpa qunut maupun doa koor amin usai shalat.
Maaf saya gak mau menyebut mana sayap yang sunni kitab kuning bid’ah atau sunni hambar. Terserah kepada Anda dan Anda untuk menelusurinya.
Tapi tadi pagi di keude kupi Tebet Barat sepakat memproklamirkan sebagai syiah. Pendukung syiah. Syiah Iran-Persia. Pendukung Ali bin Abi Thalib dan mengutuk tragedi karbala. Tragedi pembunuhan Husein cucu nabi.
“Hari ini kita jadi syiah,” kata seorang teman yang sering kami sapa dengan ustadz. Ustadz yang dulu pernah menuding saya sebagai syiah karena sering menantang fikih-nya sebagai pesanan.
Fikih tentang keharusan umat tawadhuk terhadap seorang pemimpin. Biar pun pemimpin itu mutu dan kalibernya seperti Mulyono. Mulyono yang sering ngomong cawe-cawe.
Mulyono yang kini menjadi viral dan dikatakan terkena penyakit “buduk”. Penyakit kulit.
Berangkat dari bacaan saya sebelum abad ke-enam belas, mayoritas rakyat Persia yang kini bersalin nama menjadi Iran adalah penganut sunni. Sunni Syafi’i dan Hanafi. Selama berabad-abad.
Semua berubah saat Shah Ismail mendirikan dinasti Safawiyah. Ia menjadikan syiah imamiyah sebagai mazhab resmi.
Langkah ini memicu konflik panjang dengan kekhalifahan ustmaniyah di barat, yang sunni. Sejak itu, Iran menjadi benteng syiah dunia dan poros konflik sunni–syiah terus membekas hingga kini.
Saya ta tahu benarkah catatan sejarah yang tertulis di atas?
Entahlah….
Muasal dari munculnya kata syiah datang ketika kami “deuk kupi” itu muncul dan menjadikan trending karena perang Iran-Israel.
Iran yang kini di atas angin dan dipersepsikan sebagai negara yang mampu mengalahkan Yahudi. Bahkan Amerika ikut tersengat usai pangkalan militernya di ubeid dirudal.
Rudal balistik yang hulu ledaknya menggetarkan. Yang menyebabkan negara pemilik pangkalan qatar ketakutan bak kucing pesong.
Ubeid itu pangkalam militer Amerika paling besar di timur tengah. Terletak di Qatar. Qatar yang Anda tahu danau minyak dan gasnya sangt besar. Qatar yang pernah jadi tuan rumah piala dunia sepakbola.
Tidak hanya mengirim rudal ke pangkalan Amerika di Qatar itu, Iran juga bersiap-siap menutup Selat Hormuz. Selat yang menjadi jalur dua puluh persen distribusi minyak dan gas global.
Iran yang akan memanggang Selat Hormuz menyebabkan si Bowo membawa menterinya ngumpul di Hambalang. Ngumpul untuk menghitung tambahan anggaran untuk subsidi be-be-em.
Selain itu Iran juga mampu membuat gentar Trump. Membuat gedung putih gemeter dan donya menjadi ombang ambing.
Dan hari ini kita menyaksikan ternyata bukan Sunni atau Wahabi yang berani menentang hegemoni Israel-Amerika.
Mereka adalah jamaah, yang jika ada di kampung saya dulunya sering diusir. Jamaah yang sering dituding sebagai sempalan. Mereka itu adalah imam dan jamaah syiah.
Tapi, mulai pagi tadi kami para Sunni lep lap secara diam – diam mendoakan keselamatan mereka. Bahkan. mungkin, di kalangan atheis dan komunis sekalipun secara berjamaah pula mereka berdoa dengan harapan yang sama.
Iran adalah penjelmaan mimpi dan angan – angan dari mereka yang merasa terpinggirkan dan tak menerima keadilan dari tatanan dunia yang sangat ingin kita rubuhkan,
Iran telah menunjukkan bukan hanya kemampuan bertahan tapi juga kemandirian untuk eksis gak hanya secara politis.
Dan Iran adalah syiah yang diametral dengan kita yang ahli sunnah wal jamaah.
Bahkan saya bergumam: seandainya nanti di hari akhir Tuhan tanya ke saya: kamu dulu benci syiah , ya ?? …apa jawaban saya ??? Hahahah…
Bahkan dalam “duek pakat” itu seorang teman membawa cerita berbau hoaks tentang Rusia dan Amerika terseret perang. Keduanya pun, di-joke” kan sang teman jual-beli serangan. Rudal nuklir.
Dan ini cerita hoaks-nya:
Ketika rudal Rusia yang sedang diterbangkan menuju Washington berpapasan dengan rudal nuklir Amerika yang menuju Moskow bertegur sapa.
Rudal Rusia: “ayo, kita minum sesuatu dulu untuk menurunkan ketegangan di perjalanan yang sangat jauh ini.”
Lantas rudal Amerika menyambutnya: “oke, sepertinya menarik.”
Rudal Rusia mengeluarkan vodka dan mereka pun minum bersama selayaknya bukan musuh. Rudal Amerika mulai mabuk. Rudal Rusia memapahnya dan berkata: “biarkan aku mengantarmu pulang.”
Hehehehe….
Terlepas dari joke di balik saling serang Iran-Israel ini bagi saya perang adalah permainan kekuasaan yang dimainkan oleh mereka yang belum selesai berdamai dengan dirinya sendiri.
Perang dimanapun dan kapanpun lahir dari ego yang tumbuh, tetapi tak pernah dewasa—seperti anak kecil yang merebut mainan dan menangis saat keinginannya ditolak.
Yang membedakannya, mainan mereka kini bernama wilayah, sumber daya, dan ideologi.
Dalam filsafat, perang adalah kegagalan tertinggi akal budi. Ketika dialog tak lagi dipercaya, dan kehadiran “yang lain” dianggap ancaman, bukan keberagaman, maka kekerasan dijadikan bahasa.
Namun, kekerasan bukan bahasa logika—ia adalah pekikan frustrasi jiwa-jiwa kekanak-kanakan dalam tubuh dewasa.
Seorang ilmuwan pernah membayangkan “perdamaian abadi” sebagai tujuan nalar praktis manusia.
Tapi realitas menunjukkan, banyak pemimpin lebih suka menjadi anak kecil yang marah daripada manusia yang bijak.
Mereka membungkus amarahnya dengan patriotisme, membenarkan pembunuhan dengan dalih harga diri bangsa.
Sejatinya, setiap peluru yang ditembakkan adalah suara batin yang tak sempat tumbuh dewasa. Perang bukanlah keberanian, melainkan ketakutan yang disulap menjadi kebanggaan.
Saya bangga dengan iran. Negeri ini tercatat pemberani….kirim rudal ke pangkalan militer Amerika….jarang ada negara seperti seperti itu Mungkin itu karena ideologi nya.
Bagi Iran perang adalah jalan hidupnya yg harus dilalui .Perang yang diperlihatkan dari sorot Khamanei merupakan latihan terbaik bagi negaranya.
Di tengah gempuran rudal siluman dan drone canggih, Iran memilih bersandar pada mitologi dan ideologi.
Di dunia yang dibanjiri artificial intelezensy dan satelit pengintai, mereka masih mengangkat kisah romantis tentang mitologi yang bukan sekadar nostalgia. Tapi sebagai fondasi psikologis dan budaya yang nyata.
Pijakan dua kaki mereka berada di teknologi modern dan tanaman sejarah dan kepercayaan kolektif. Dalam kerangka futures studies, masa depan bukan sekadar peta statistik, tapi juga medan pertarungan narasi.
Iran sadar kalah di sisi teknologi, tapi mereka punya roh yang tidak bisa diretas.
Amerika boleh punya pembom b-2 spirit, tapi Iran percaya pada spirit kekuatan idiologi. Dan mungkin, di tengah segala kalkulasi geopolitik, justru keyakinan seperti itulah yang membuat mereka tidak pernah benar-benar kalah.
Bagi Iran pengalaman terbaik bagi tentara ya perang langsung konon kemampuan teknologi militer Iran meningkat pesat dalam perang drone dan rudal.
Saya berharap ini semua bisa memberikan kontribusi besar bagi kemenangan negara Persia itu.
Iran dengan perang rudal dan drone akan menambah wawasan dan teknik perang modern…… presisi rudalnya bisa diujicoba langsung di Israel.
Iran masih sangat ideologis. Ini yang membuat mereka tidak takut Israel –meski mereka tahu Amerika menjadi bekingnya.
Tingkat ideologisnya bisa mencapai delapan puluh persen. “Ini yang bisa mengalahkan kecanggihan teknologi negara manapun.”
Dalam konsep futures studies yang banyak ditekuni akademisi, aspek mitologi melekat kuat di budaya Iran.
Demikian juga simbol budaya lainnya yang terdapat dalam literatur persia kuno. Termasuk kesyahidan Husein di Karbala yang cukup mengakar kuat dalam budaya Islam syiah.
Maka, seperti yang saya baca dalam banyak media, dalam keadaan Iran yang menjadi ladang serangan Israel hari-hari ini nyaris tidak ada yang mengungsi.
Kalau pun banyak jatuh korban itu mereka anggap belum sebanding dengan pengorbanan Saydina Husein anak Ali bin Abi Thalib cucu nabi.
Bahkan tidak ada apa-apanya dibandingkan pengorbanan pahlawan Persia lainnya, Rostam: begitu gigihnya ia berperang sampai anaknya terbunuh oleh tangannya sendiri tanpa sengaja.
Sampai bubaran “duek pakat kupi” pagi yang diakhiri dengan salam-salaman ada pesan batin yang gak terucapkan: Iran akan memenangkan perang ini dengan elegan.
Dan kami ketawa sembari mengatakan secara serempak: kita ternyata sudah jadi syiah.[]
- Darmansyah adalah wartawan senior, penulis “Kolom Bang Darman”