Bani Syiah

Oleh Darmansyah

IA mengatakan Israel itu setan kecil.

Setan besarnya?

Balik tanya itu gak memerlukan interval panjang.  Langsung saya sambar tanpa mikir: Amerika.

Ashbabnya, dua hari lalu dalam tulisan saya di sebuah media mainstream saya telah mengatakan tentang si setan besar itu. Sudah keduluan.

Keduluan juga dari pernyataan dosen hubungan internasioal dari Universitas Pajajaran yang bilang setan besar itu Amerika.Sang dosen adalah Teuku Rezasah.

Ia memaklumatkannya di sebuah talk show TV One milik si Bang One.

Lantas siapa malaikatnya?

Saya dan dia sepakat: Iran….untuk hari ini.

Tentu banyak anak-anak bani adam di seputar setan kecil dan setan besar. Anak-anak bani adam yang nyaman di bawah ketiak setan besar dan menonton setan kecil berjingkrak mengitari langkahnya.

Saya dan dia saling pandang.Saling merunduk dan saling mendongak untuk kemudian pecah dalam tawa ngakak…tentang anak bani adam.

Tawa ngakak itu disertai komentarnya: ternyata sejak perang dunia kedua berakhir hanya malaikat Iran yang berani melawan setan besar. Itu pun sebanyak dua kali.

Anda boleh sepakat atau pun gak tentang Iran yang kami tabalkan sebagai malaikat.

Apakah Anda sepakat? … terserah.

Maaf… baik dia dan saya sama-sama menggerakkan telunjuk ke bibir untuk jangan berdesis memanjang mukadimah tentang anak-anak bani adam.

Mungkin Anda sudah tahu maksudnya. Sudah tahu pula siapa anak-anak bani adam itu.

Anak-anak bani adam yang dicampakkan Tuhan ke dunia karena sang ayah digoda setan memakan buah kuldi.

Terlalu naif untuk menyebut satu per satu anak-anak bani adam itu.

Sudah…sudah….sudah…. Itu silang kata yang saya dan dia untuk menghentikan wicara tentang anak-anak bani adam itu.

Cukupkan… kata itu itu menutup joke yang gak lucu itu.

Jujur. Saya memang merasa ada sesuatu yang tidak menyenangkan bagi banyak orang tentang jargon setan kecil, setan besar dan anak-anak bani adam plus malaikat ini.

Tapi bagi dia, teman yang hahaha…hihihi … dengan saya itu bukan sesuatu yang tabu. Ya saya tahu ia bukan orang sembarangan.

Ia seorang akademisi yang sudah melewati jenjang pendidikan doktoral. Doktoralnya nun di sudut donya sana. Di negeri yang sering disapa maghribi.

Negeri di barat tempat matahari terbenam. Secara geografis berada ditanduk kiri Benua Afrika.

Ia lulusan Universitas Mohammed Lima, perguruan tinggi di Maroko yang sudah melewati usia enam puluh delapan tahun.

Hitungan usia perguruan tinggi itu: dua tahun lebih tua dari universitas di negeri saya. Universitas tekad bulat. Yang gak melahirkan perbuatan.

Universitas tempat sang teman merupakan satu dari dua perguruan tinggi ranking atas di negeri itu menurut unirank.

Program strata tiganya diperoleh dari beasiswa negeri maghribi itu bernama internasional fellowship lewat pendaftaran terbuka untuk mahasiswa asing. Terutama untuk negeri muslim.

Dan ia mendaftar di fakultas sastra dan ilmu humaniora. Bukan ilmu gura-gura seperti bicara kami di awal tulisan ini.  Beasiswa itu ia peroleh usai strata dua di Ain Shams University di Kairo.

“Saya gagal dapat beasiswa di Al-Azhar,” katanya ketika saya tanya kenapa gak di Al Azhar.

Bahkan cita-citanya untuk bisa kuliah di Qom, Iran, juga amblas karena gagal mendapatkan beasiswa. Padahal ia sangat hormat dengan Ayatolah Khomeini yang asal kota Qom itu.

Untuk itu ketika saya ketemu dengannya di ujung pekan kemarin pembahasannya tentang konflik Iran dan Israel plus Amerika sangat terukur. Terstruktur dalam kalimat runut.

Saya tahu, sejak berkenalan, di dua belas tahun lalu ia banyak menulis tentang konflik di timur tengah. Konflik antarsesama Arab dan Non-Arab. Antara Arab versus Yahudi.

Baginya Iran itu bukan Arab. Bukan juga Sunni maupun Wahabi. Iran itu sempalan….. Sering terpinggirkan. Persia-syiah. Musuh dalam selimut Arab.

Respeknya terhadap Iran sangat tinggi. Dari dulu….Sejak ia masih di madrasah aliyah usai menamatkan madrasah tsanawiyah.

“Saya sudah membaca tentang Iran sejak masih di Madrasah Ibtidaiyah Negeri. Sejak mulai lancar tulis baca di MIN,” katanya kepada saya menjelaskan ketertarikannya.

“Hingga hari ini saya tetap sunni. Sunni yang gak dalam kotak syafei. Sunni longgar untuk keempat mazhab.”

Saya tahu ia memang bukan sunni-ahlisunnah wal jamaah- dalam kotak syafei karena duduk tahyat awal dan akhirnya gak beda. Saya tahu itu duduk tahyat ala hanafi.

Selain itu saya tahu juga wuduknya yang tidak menyiram tapi membasuh. Seperti “membasuh” dari petikan lagu “kubasuh mukaku” di album religi grup musik asal Bandung: Bimbo.

“—kubasuh kakiku, kusucikan langkahku, Allahu ya Rabbi, izinkan aku menghadap-Mu”.

Khusus tentang duduk tahyat dan basuh membasuh dalam wuduk ini saya tahu ia lebih dekat dengan imam Abu Hanifah. Ia pernah men-”share” dua tulisan miliknya ke pesan whatsapp saya.

Dua-duanya tentang eksistensi Abu Hanifah sebagai ulama yang konsisten dengan sikapnya walaupun harus menghadapi pedang kekuasaan.

“Fikih Abu Hanifah bukan pesanan dari kekuasaan. Ia akan mengatakan salah ya salah dan benar ya benar. Anda sudah tahu akhir kehidupannya,” katanya kepada saya di sebuah perjumpaan.

Tentang Iran yang syiah, katanya, seperti menceramahi saya, dalam sejarah peradabannya pernah lebih maju dari eropa. Bahkan hari-hari ini secara teknologi dan ideologi juga lebih maju.

Iran dikenal mampu membangun jalan raya kerajaan dan memperkenalkan sistem pos. Pernah menjadi pusat ilmu, seni, dan kedokteran, jauh sebelum eropa bangkit dari abad kegelapan.

Revolusi Islam di bawah Ayatollah Khomeini menandai perubahan besar. Iran menjadi Republik Islam modern. Sepanjang sejarah, negeri banyak melahirkan  intelektual.

Hubungan internasionalnya tidak didasarkan pada prinsip-prinsip Islam, tetapi bertujuan untuk mencapai kepentingan nasional dan tujuan-tujuan berbangsa dan bernegaranya.

Iran juga menggunakan aspek syiah untuk mencapai tujuan-tujuan mereka, namun juga tidak konsisten jika hal itu tidak sesuai kepentingan dalam negerinya.

Buktinya adalah hubungannya dengan banyak negara yang mayoritas penduduknya adalah syiah. Iran tidak membela konflik-konflik mereka karena bertentangan dengan kepentingannya.

Iran adalah contoh kasus manusia yang dalam posisi tertekan kemampuan tersembunyinya muncul.

Ini pula yang jadi pola dasar pendidikan beberapa lembaga. Peserta diberikan tekanan tertentu, tugas yang amat banyak untuk memunculkan kreatifitasnya.

Saat ini itu juga yang dialami Iran. Tekanan internasional yang besar justru memacu pengembangan berbagai bidang dari internal.

Dunia terperangah dengan kemampuannya dalam bidang pertambangan. Perang terbaru juga menegaskan kemampuan negara itu dalam bidang militer.

Mencengangkan dan mungkin di luar kalkulasi Israel dan Amerika.

Yang kita pernah mendapat contoh lain, seperti Jepang. Kekalahan perang mengakibatkan negara sakura itu harus tunduk pada pembatasan yg diinginkan pemenang khususnya dalam bidang militer.

Efeknya jepang menjadi sangat maju pada bidang lain, bahkan hasil perkembangan teknologi, Mampu mendominasi negara-negara lain.

Selanjutnya saya hanya menjahit perca-perca percakapan  dengan si teman yang doctor humanioro maghribi itu.

Dan inilah dia:

Pandangannya tentang permusuhan Iran dan Israel sebagai kelanjutan dari permusuhan ideologis yang telah berlangsung lama antara dua negara.

Namun konflik hari ini kalau dilihat lebih jernih, mencerminkan kekhawatiran strategis ketimbang pertentangan ideologis.

‘Israel’ tidak menyerang Iran karena perbedaan akidah, mazhab, atau narasi sejarah panjang antara syiah dan zionisme.

Konflik ini riil untuk mencegah program nuklir  Iran yang dinilai semakin dekat dengan kemampuan senjata nuklir.

Bagi ‘Israel’, keberadaan senjata nuklir di tangan Iran bukan sekadar ancaman teoritis, melainkan risiko eksistensial yang nyata.

Selama dua dekade terakhir, negara Persia itu secara konsisten membangun kemampuan nuklirnya, dengan narasi untuk kepentingan sipil dan medis.

Menurut sang teman dalam kajian terakhirnya Iran bukan sekadar negara dengan ambisi pertahanan.

Negara itu memiliki agenda ekspansi ideologi syiah ke kantong-kantong sunni di timur tengah.

Untuk membuktikannya gak perlu analisa dan kajian mendalam. Lihat saja dukungan militer dan dana yang diberikan kepada berbagai kelompok milisi di Suriah, Irak dan Lebanon.

Namun, yang perlu diingat adalah bahwa dukungan tersebut kerap disertai dengan kasus-kasus penindasan terhadap komunitas sunni di wilayah-wilayah tersebut.

Banyak laporan dari organisasi internasional dan pengamat independen menunjukkan bagaimana kelompok pro-Iran melakukan tekanan dan diskriminasi.

Sebut saja Hizbullah dan Houti.

Program nuklir yang kuat, dalam pandangan sebagian pengamat, menjadi alat legitimasi sekaligus perlindungan bagi proyek ekspansi Iran di kawasan.

Dengan kekuatan nuklir, Iran merasa akan memiliki tameng di tengah ekspansi ideologisnya di timur tengah.

Dalam konflik ini, kita harus hati-hati membedakan antara sentimen keagamaan dan motif politik-strategis. ‘israel’ tidak menyerang Iran karena kebenciannya pada syiah.

Sebaliknya, Iran pun tidak mengembangkan nuklir semata-mata untuk menghabisi ‘israel’.

Misi Iran adalah kedaulatan energi sebagai instrumen kekuasaan dalam proyek hegemoni ideologisnya.

Jika memang Iran punya tekad menghabisi ‘israel’, mereka seharusnya sudah men-suriah-kan ‘israel’ dengan meluluhlantakkan wilayah itu.

Seperti dia meluluhlantakkan Damaskus, Idlib, Aleppo, Dara’a, Homs dan lainnya.

Realitasnya, konflik ‘israel’-iran adalah pertarungan antara strategi keamanan dan ambisi regional, bukan sekadar soal iman atau doktrin.

Sepertinya, kita keliru memahami arti ‘tertindas’.[]

  • Darmansyah adalah wartawan senior, penulis “Kolom Bang Darman”
Berikan Pendapat

Berita Terkait

Fikih Syiah

Darmansyah
0

Konsil Kolegium

Darmansyah
0
0