Lapangan “Lakum Dinukum”

Oleh Darmansyah

BAGI saya Blang Padang itu seperti lapangan dalam lafadzh “lakum dinukum…”

Blang Padang yang kini hebohnya ampun… Di media, mainstream dan medsos. Usai heboh seheboh-hebohnya empat pulau piatu.

“Lakum dinukum”-nya Blang Padang bagi saya adalah, ketika status sosialnya lebur, strata kaya miskinnya menguap, perbedaan keyakinan menjadi kamu dan aku dalam senyum sapa dan salam.

“Lakun dinukum” yang mengalir jauh ke hilir. Mengalir ketika di sebuah hari Ramadhan saya dan istri dijamu Haka Kong Hucu dan Budha Nayarana buka puasa di pelataran taman Peunayong.

Hakka komunitas salsa dan awe-nya  Blang Padang. Salsa dan awe senam pagi Senin hingga Jumat di sudut kecil bagian utara lapangan “lakum dinukum” itu.

“Lakun dinukum” hari-hari menyingsing tebaran “say hello” sapa ria dengan si Devi, Andre, Prapto dan lain-lainnya yang tembok pemisahnya rubuh oleh lapangan terbuka itu.

Blang Padang itu di pusar kota. Koetaradja. Saya hanya ingin menulis suka-suka. Sesuka saya. Sesuka menulis Koetradja sebagai kota raja. Kota tempat raja tinggal, memerintah dan pusat kekuasaan.

Luas Blang Padang itu, menurut ukuran di banyak media hari-hari ini, mainstream dan medsos, delapan hektare. Katanya. Yang persisnya saya gak tahu. Sebab gak hafal ukuran panjang lebar.

Saya hanya tahu keliling luar Blang Padang, panjang ditambah lebarnya, adalah sepanjang seribu dua ratus meter.

Keliling luar merupakan trotoar yang sering saya tapaki ketika olahraga pagi. Yang di tapak trotoarnya itu ada angka, Angka di setiap dua ratus meter bewarna kuning plus strip memanjang.

Apakah angka seribu dua ratus meter itu dijadikan perkalian panjang dan lebar hingga ia menjadi angka delapan hektare?

Saya gak tahu yang mana panjang dan yang mana lebarnya. Tanyakan saja ke ahli ukurnya. Ahli ukur yang kutip mengutil cerita berbedak setengah hoaks.

Mungkin juga para ahli ukur jenis kutil ini yang menyatakan Blang Padang itu bagian dari kawasan masjid raya. Yang dikatakannya menjadi tanah milik masjid raya.

Sedangkan trek dalamnya yang dibangun be-er-er secara lonjong dan peang sebagai lambang kebersamaan dunia usai tsunami berada di angka sembilan ratus enam puluh meter.

Ingat be-er-er, ingat Kuntoro (almarhum). Tokoh di balik badan untuk merehabilitasi dan merekonstruksi wilayah yang dilanda tsunami. Aceh dan Nias.

Di trek dalam ini pula terpancang plakat nama negara dan organisasi pendonor. Jumlahnya saya lupa, tolong diingatkan.

Tentang luasnya Blang Padang ini saya sendiri dulunya lupa menanyakan kepada JHJ Brendgen. Lupa juga menanyakan tentang kapling-kaplingnya.

Kapling perumahaan, perkantoran, sekolah, kuburan maupun pertokoan yang membuatnya sudah berpetak-petak. Termasuk petak museum tsunami.

Brendgen itu belanda tulen yang dulunya pernah menjadi teman dan selalu membawa peta kisi-kisi blang itu. Brendgen itu seorang tentara. Pensiunan kolonel.

Kolonel KNIL. Koninklijk Nederlands-Indisch Leger. Persisnya tentara kerajaan Hindia Belanda.

KNIL yang dibentuk untuk menjaga wilayah jajahannya. Tentara yang kakek sampai ayah saya menyebutnya sebagai teuntara kaphe.

Brendgen ini dulu pernah mengurus pemugaran kuburan Peutjoet. Kuburan tentara Hindia Belanda. Kuburan yang juga menjadi bagian dari Blang Padang. Dulunya, kata peta sejarah.

Saya pernah wira-wiri bersama Brendgen yang bikin yayasan untuk pemugarannya. Kuburan yang kemudian dinamai dengan popular sebagai “Kerkhof.”

Yang di sana juga ada nama ambon, jawa manado berkubur. Ada yang dikubur dengan salto senapan dan ada juga dengan rosario. Ada yang bernama Parengkuan, Karundeng maupun Suroto.

Nisan kuburan itu hampir semuanya bertuliskan kata rip. Rest in peace. Beristirahat dalam damai. Nama– nama itu ditatah di gerbang masuknya arah Jalan Iskandar Muda.

Bagi saya kawasan Blang Padang itu mengingatkan menteng-nya Jakarta. Kawasan elitis. Kawasan tempat para pejabat dan ambtenar tinggal hingga hari ini. Pejabat dan ambtenar yang beda gaya.

Menteng yang punya Taman Surapati atau Gondangdia. Taman yang terakhir ini sepelemparan dengan perwakilan negeri saya.

Saya mohon jangan disamakan Blang Padang itu dengan Taman Lawang. Hanco klaha.

Sebagian Anda mungkin tahu tentang Taman Lawang. Taman indehoy anak manusia bersauara garau…

Tentang Blang Padang itu sendiri di ujung jalannya arah Kraton ada Pendopo Gunernur memang elitis. Elitis secara hirarkis dengan rumah dinas kapolda, pangdam dan sebagainya … dan sebagainya.

Elitisimenya Blang Padang itu sejak dulu-dulu sekali. Sejak kejayaan Aceh Nusantara sampai ia menjadi daerah taklukan. Daerah jajahan. Yang saya gak tahu apa masih daerah…

Di kawasan Blang Padang dulunya juga ada sekolah MULO dan HIS. Sekolah MULO itu es-em-pe khas Hindia Belanda, Meer Uitgebreid Lager Onderwijs yang gedungnya hari ini bermutasi jadi es-em-a satu.

Sedangkan HIS, Hollandsch-Inlandsche School, adalah jenis sekolah es-er. Atau sekolah dasar. Yang gedungnya menjadi es-em-pe satu.

Baik MULO maupun HIS adalah sekolah yang diperuntukkan bagi anak-anak bumiputera khususnya dari kalangan bangsawan, tokoh terkemuka, atau pegawai negeri.

Kedua strata sekolah itu menggunakan bahasa belanda sebagai bahasa pengantar.

Setahu saya MULO inilah sekolah paling tinggi di negeri kami. Kalau ingin lanjut bisa ke HBS atau AMS di Batavia.

Itulah kilas Blang Padang yang menjadi penggal kehidupan pagi saya sejak lima puluh empat tahun silam, Blang Padang yang angin paginya membasuh saya hingga di usia tujuh puluh tujuh tahun.

Blang Padang yang memberi nikmat sehat lewat brisk walking sebagai ritual sunnah muakad saya. Jalan cepat yang dengan kecepatan yang lebih tinggi dari jalan biasa, tetapi tidak secepat berlari.

Brisk walking sebagai olahraga kardio dalam intensitas sedang yang bermanfaat untuk kesehatan jantung, menjaga berat badan, dan meningkatkan suasana hati.

Itulah “lakum dinikum” Blang Padang bagi saya.

Saya gak peduli siapa pemiliknya. Saya gak akan terjebak oleh bohay narasi Blang Padang yang seperti dispeling hari hari ini di media sosial.

Narasi yang kemarin saya katakan kepada seorang teman yang pernah mengitari trek “men sana en corpore sano” selama delapan tahun terakhir sebelum saya menjadi perantau gaek.

Bagi saya sampai hari ini gak ada narasi yang berbeda tentang kepemilikan Blang Padang.

Entah itu Blang Padang yang menjadi bagian Masjid Raya Baiturahman. Blang Padang yang menjadi halaman belakangnya.

Tak ada bedanya narasi itu asbhab-nya ada ketakutan dikroyok sebagai bid’ah. Bid’ah di tengah jumudnya narasi satu arah.

Bagi saya selama lima dekade Blang Padang adalah magnet pola hidup. Di sana saya menemukan rumah kehidupan.bernama men sana en corpora sano.

Men sana in corpore sano adalah pepatah latin yang berarti “di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat.

Pepatah ini menekankan pentingnya menjaga kesehatan fisik dan mental secara seimbang, karena keduanya saling mempengaruhi dan berkontribusi pada kesejahteraan individu secara keseluruhan.

Men sana merujuk pada pikiran yang sehat, jernih, dan stabil, sementara “in corpore sano” berarti dalam tubuh yang sehat.

Ungkapan ini menyiratkan bahwa kondisi fisik yang baik akan mendukung kesehatan mental yang baik pula, dan sebaliknya.

Gak peduli beda strata..befa status..beda keyakinan…semuanya berangkat dari keyakinan dalam tubuh yng sehat terdapat…

Dua hari lalu saya minta seorang teman untuk mengingatkan kembali tentang Blang Padang. Blang Padang ketika ayah saya dan ayahnya menjadi rombongan Pekan Kebudayaan Aceh pertama.

Pekan Kebudayaan milik bersama. Milik gubernur Ali Hasjmy dan Syamaun Gaharu yang komandan ka-de-em-a. Milik tentara dan mungkin juga masjid raya.

Blang Padang di jantung Koetaradja. Blang Padang yang masih ada stadion acehnya. Stadion Aceh yang dulunya menjadi starting point bagi perserikatan Persiraja meraih juara PSSI.

Stadion yang mungkin juga di kening Elvi Sukaesih ketika manggung melentikkan punggungnya sembari berjoget dalam tour dangdut ria di awal tahun tujuh puluhan.

Tentang Stadion Aceh ini yang dibuldozer di perhelatan besar Musabaqah Tilawatil Quran Nasional kedua belas tak ada narasi kepemilikannya.

Padahal di pintu masuknya ada tertatah catatan tahun pembangunannya. Tatahan nama seorang Letkol Czi Priyatna.

Em-te-q yang juga mencatatkan Blang Padang sebagai rumah milik bersama. Rumah yang gak ada narasi tepung kanji dan tepung terigu yang getahnya hinggap di batu belah media.

Saya sengaja mengambil pointer Blang Padang ala pe-ka-a pertama enam puluh tujuh tahun lalu. Pe-ka-a yang rombongan kami tidur beralaskan tikar pandan dan bantal apak di gedung es-em-pe satu.

Pe-ka-a yang acara budaya yang diselenggarakan secara berkala untuk melestarikan dan mempromosikan kebudayaan yang jadi acara lima tahunan bagi masyarakat.

Maaf saya gak mau berada dalam satu tarikan nafas tentang status kepemilikan yang narasinya dibohaykan menjadi agenda khusus.

Agenda yang saya gak tahu untuk kepentingan apa dan oleh siapa.

Entahlah…

Entah juga berseraknya perbincangan publik usai tayangan surat untuk meminta agar lahan tersebut dikembalikan statusnya sebagai tanah wakaf.

Tanah wakaf yang gayung bersambut penguasaannya oleh tentara yang menarik garis sejarah penggunaannya. Garis sejarah penyerahan sarana dan prasarana militer.

Saling tarik sejarah ini makin riuh. Adu dokumen. Adu hirarki keabsahan. Keabsahan lewat surat bertanggal dan bernomor yang bikin bingung.

Terlepas adu argumen ini yang saya tahu sampai pagi tadi yang merawat lapangan itu tentara. Angkatan Darat. Sedangkan yang menggunakan bisa siapa saja.

Siapa saja yang punya kegiatan. Seperti upacara, sarana olahraga prajurit dan masyarakat, fasilitas umum untuk warga. Termasuk saya.

Saya gak ingin masuk ke area kehendak untuk mengalihkan status lahan tersebut. Gak mempermasalahkannya.[]

  • Darmansyah adalah wartawan senior, penulis “Kolom Bang Darman”

 

Berikan Pendapat

Berita Terkait

Bani Syiah

Darmansyah
0

Fikih Syiah

Darmansyah
0

Konsil Kolegium

Darmansyah
0