Butuh Langkah Strategis Disdik untuk Laksanakan Edaran Gubernur
Oleh Usman Lamreung, Direktur Emirate Development Research (EDR)
SURAT Edaran Gubernur Aceh, Muzakir Manaf, yang melarang segala bentuk pungutan pada saat penerimaan peserta didik baru di seluruh wilayah Aceh, merupakan langkah afirmatif yang patut diapresiasi sebagai upaya menjamin akses pendidikan yang setara dan bebas biaya.
Kebijakan ini secara substansial menunjukkan komitmen pemerintah dalam memperkuat prinsip pendidikan gratis di tingkat menengah atas (SMA/SMK).
Namun demikian, implementasi kebijakan ini tidak dapat berdiri sendiri tanpa disertai penguatan aspek pendukung lainnya, khususnya terkait pemenuhan anggaran operasional sekolah.
Dengan diberlakukannya kebijakan tanpa pungutan, maka seluruh pembiayaan kegiatan pendidikan seyogianya menjadi tanggung jawab penuh pemerintah daerah melalui Dinas Pendidikan Aceh.
Hal ini penting untuk memastikan bahwa kegiatan pengembangan mutu pendidikan, pembinaan prestasi, dan penguatan karakter siswa dapat tetap berjalan secara optimal.
Dalam konteks ini, muncul pertanyaan mendasar: apakah Dinas Pendidikan Aceh telah mengambil langkah strategis, seperti melakukan koordinasi langsung dengan seluruh kepala sekolah, guna memastikan kebijakan tersebut diimplementasikan secara konsisten dan disertai dengan dukungan anggaran yang memadai?
Minimnya anggaran operasional kerap menjadi kendala yang signifikan dalam pelaksanaan program pembinaan di sekolah.
Sebagai ilustrasi, di salah satu SMA di Aceh Besar, seorang siswa dari keluarga kurang mampu terpilih sebagai calon anggota Paskibraka.
Sayangnya, seluruh pembiayaan kegiatan tersebut harus ditanggung secara mandiri oleh siswa, mengingat pihak sekolah tidak memiliki dana untuk memberikan dukungan.
Kasus semacam ini menunjukkan bahwa ketiadaan pungutan, apabila tidak diimbangi dengan alokasi dana yang proporsional, justru dapat menimbulkan ketimpangan akses terhadap layanan pendidikan non-formal yang esensial dalam pembentukan karakter dan kapasitas siswa.
Prinsip dasar dalam kebijakan pendidikan menyatakan bahwa pembiayaan pendidikan tidak boleh dibebankan kepada peserta didik, terlebih lagi tanpa landasan regulatif yang jelas.
Sejak pengalihan kewenangan pengelolaan SMA/SMK ke tingkat provinsi, maka tanggung jawab terhadap penyediaan kebutuhan dasar pendidikan, termasuk program-program penguatan kreativitas dan mutu siswa, secara hukum dan administratif berada di bawah otoritas Pemerintah Aceh.
Persoalan pungutan di sekolah tidak dapat dipahami secara parsial, melainkan harus dilihat dalam kerangka sistemik yang mencakup tata kelola pendidikan, transparansi anggaran, serta keterlibatan pemangku kepentingan di level satuan pendidikan.
Dalam banyak kasus, kebijakan bersifat top-down yang tidak dibarengi dengan pelibatan kepala sekolah dan jajaran manajerial pendidikan di tingkat lapangan, cenderung gagal dalam implementasi teknis.
Oleh karena itu, Dinas Pendidikan Aceh perlu menempuh tiga langkah strategis yang saling melengkapi:
Pertama, memastikan tidak adanya pungutan liar dalam bentuk apa pun di seluruh satuan pendidikan;
Kedua, menjamin tersedianya anggaran operasional yang cukup dan akuntabel bagi setiap sekolah;
Ketiga, perlu segera revisi qanun pendidikan yang memuat standar pembiayaan.
Upaya ini merupakan prasyarat untuk menciptakan tata kelola pendidikan yang berintegritas dan berorientasi pada peningkatan kualitas pembelajaran.[]