Blang Padang

Oleh Darmansyah

SAYA gak punya jawaban atas banyaknya pertanyaan dari teman-teman “lakum dinukum” sehari setelah tulisan tentang sebuah lapangan yang mungkin akan berganti status “kepemilikan.”

Dari pertanyaan itu saya tahu ada kecemasan dalam bungkusnya. Kecemasan bakal ada yang hilang dalam silaturahmi antara mereka dengan lapangan itu.

Lapangan tempat saya dan mereka yang bertanya. Lapangan denyut kehidupan pagi saya dan mereka selama puluhan tahun sembari melebur strata sosial, keyakinan dan sebagainya.. dan sebagainya.

Lapangan itu kini viral dalam  bohay narasi yang gak ketulungan kampungannya. Narasi bohay tentang status tanah wakaf tanpa sertifikat hingga sejarah “cet langet” yang menyertainya.

Tulisan  saya itu dimuat di sebuah portal berita atas permintaan setengah hati founder-nya yang kemudian di-share secara sambung tersambung antarkomunitas “lakum dinukum.”

Saya sengaja memilih narasi  “lakum dinukum” tanpa merangkainya dengan “waliyadin”  untuk judul dan isi tulisan itu.

Asbhabnya saya merasa mood dengan frasa arabiya-nya. Pas dengan denyut nadi lapangan itu ketika embun pagi mulai menguap.

Pasnya sesuai dengan arti dan kandungan serta tafsir yang menjadi ikutannya. “Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.”

Frasa ini merupakan penggalan akhir ayat surat “al-kafirun.” Ayat enam. Ayat yang sering saya amalkan dalam pertemanan yang  menegaskan prinsip toleransi di kalangan muslim.

Saya sering mentaklimatkan kepada banyak teman sekeyakinan maupun beda keyakinan tentang ayat enam surat al-kafirun itu. Bahkan sering saya namai sebagai “piagam madinah.”

Piagam keragaman kota madinah ketika Rasul hijrah di tahun-tahun awal kenabiannya. Ketika muslim masih minoritas dan yahudi-nasara sebagai mayoritas.

Piagam yang saya baca ulang di sebuah buku tafsir. Ayat yang menegaskan pemisahan antara keyakinan dan praktik ibadah antaragama yang berbeda.

Termasuk dalam pergaulan di lingkup pertemanan.

Entahlah….

Pertanyaan tentang lapangan “lakum dinukum” itu datang dari si mimi, si andres, si khuk ngok, si panjaitan, si dj prapto dan lainnya yang setiap hari menjemput embun seusai subuh.

Si mimi yang datang dari ujung peunayong saat kawan saya si ilham masih ngumpet di gulungan selimut. Atau teman saya yang lainnya kembali ke pembaringan usai jamaah dari meunasah.

Padahal nabi melarang kembali ngorok ke pelaminan usai jamaah subuh.

Nikmat tidur usai subuh itu penyakit. Mungkin dokter motivator sekelas teman saya: hamdrawan nadesu; bisa berbagi ngelmu.

Bahkan pertanyaan yang sama juga datang dari mereka yang telah berpisah dengan lapangan itu. Yang bertabur di banyak kota. Yang kalau saya tulis namanya akan bertali-temali panjangnya.

Pertanyaan itu bukan hanya berwarna-warni di henpon saya. Bahkan nyungsep ke hape sang istri yang bikin gaduh tanya jawab antara laki dan bini menjelang tidur.

Isi pertanyaan itu sama sebangun: apakah mereka bisa ber-salsa, ber-awe, ber-jogging, ber-brisk walking, atau ber-senam dansa tanpa hijab atau celana komprang kalau statusnya pindah kelola.

Bahkan ada pertanyaan yang berbau setengah hoaks tentang kemungkinan mereka digiring wilayatul hisbab untuk dipecut di panggung terbuka usai shalat jumat.

Saya hanya bisa berhahaha… ria….tanpa ingin membuat narasi lain.

Saya punya alasan mengatakan gak punya jawaban. Gak mau meramal atau memprediksi apa yang akan terjadi kalau benar-benar lapangan “lakum dinukum” itu beralih status pengelolaan.

Saya bukan tukang ramal atau ahli nujum. Gak memiliki kemampuan untuk mengetahui hal-hal  ke depan. Gak punya metode jayabaya yang bisa membaca garis tangan, kartu tarot, atau astrologi.

Saya tahu hukum akhirat tukang ramal. Hukumannya sangat keras: dianggap kufur. Hadits Nabi bukan hanya melarang praktik meramal, tetapi mendatangi peramal pun juga dosa.

Selain itu saya tahu juga hukum ghibah. Yang kini menjelma menjadi hoak pertukaran kata di media sosial.

Hoak dan ghibah yang mengada-ada. Membenar-benarkan kebohongan. Seperti ghibah tentang lapangan “lakum dinikum” itu.

Ghibah itu hukumnya haram dan termasuk dosa besar. Apalagi ghibah sejarah. Seperti proyek penulisan ulang sejarah oleh Fadli Zon.

Fadli orang patut dari tanah minang yang pandai mengolah kata. Ketika mengolah kata tentang tragedi era reformasi terpeleset.

Tentang lapangan “lakum dinukum” itu saya hanya bisa menulis penggalan-penggalan kesehariannya ketika daun ketapang jatuh dan rumput gajah membuat silhuet pagi bagaikan riak air.

Penggalan tentang kebersihannya. Penggalan hari Selasa ketika tentara dari banyak kesatuan bersenam massal. Atau penggalan lainnya ketika saya harus putar arah di pertengahan lapangan karena upacara.

Atau pun penggalan ketika teng…dentaman jam dipukul enam setiap pagi disertai alunan musik dengan iringan suara syair Indonesia Raya, merdeka… merdeka…dan seterusnya…

Lagu yang menyebabkan saya dan semua mereka yang beraktifitas memutar tubuh memalingkan wajah dan menghadap ke bendera merah putihnya digerek ke puncak tiang di petak utara lapangan.

Blang Padang bagi saya adalah sebuah taman. Taman bermain. Taman ketika semua sekat runtuh dan yang mencuat adalah kesetaraan.

Taman tempat si ucek mencari raseuki menjajakan minuman mineral di meja kecil di sudut lapangan basket. Atau mak denan menyediakan jus buah orisinil tanpa gula di tapak luar punggung.

Mushala. Atau pun kios-kios milik cut lias yang berjejer di bagian utara dan selatan yang ditopang dana ce-es-er bank syariah dengan kursi dan meja tertata di bawah kerindangan jati dan mahoni.

Kios sepantaran kafe dengan kuliner bermenu lontong sayur hingga kupi saring dan soto lep lap tanpa nama.

Semuanya damai. Damai juga ketika si tari membawa dua bocah kecilnya bermain sembari belajar melukis di bentangan tikar di hari sabtu dan minggu.

Blang Padang memang taman yang bentangan rerumputan hijau, dan jalur track jogging yang mengelilinginya sepanjang sembilan ratus tiga puluh meter dengan lima puluh tiga plakat.

Plakat dengan bendera negara serta lambang organisasi donor masing-masing yang berbentuk kapal merupakan bentuk terima kasih masyarakat kepada negara dan masyarakat dunia pascatsunami.

Lapangan ini berada di pusat kota nanggroe dan memiliki luas delapan hektar. Lapangan ini juga pernah menjadi saksi bisu tsunami ketika pejabat wali kota, waktu itu, Syarifuddin, kembali ke arash.

Lapangan itu menawarkan pemandangan hijau yang menyejukkan mata. Fasilitas olahraga yang lengkap seperti jogging track, lapangan sepak bola, voli, basket, dan badminton, menjadikannya tempat yang ideal untuk berolahraga.

Tentang trek olahraganya kini sudah diperindah dan memiliki beberapa variasi. Mulai dari trek utama di dalam lapangan sendiri yang dihiasi dengan ucapan thank’s.

Terima kasih  pada negara-negara yang membantu saat tsunami. Ada juga trek di lapangan bola mini  hingga track dengan jarak yang lebih luas tepatnya di areal pedestrian luar lapangan.

Saya sendiri memiih tre-trek ini sesuka hati. Suka-suka.

Dari seorang kawan saya diberitahu tentang manajemen pegelolaan lapangan.

Pemeliharaan dan pengelolaannya dilakukan dengan  manajemen kerja yang baik sehingga kebersihan, keamanan, dan kenyamanan fasilitas tertata.

Hasil dan pendapatan dari pengelolaan lapangan sebagian besar diwakafkan untuk operasional Masjid Raya Baiturrahman. Sebagai wujud kontribusi kepada tempat ibadah bersejarah.

Pendapatan lainnya digunakan untuk dana operasional lapangan, termasuk gaji petugas kebersihan dan perawatan fasilitas.

“Sebaik-baik manusia adalah yang bisa bermanfaat bagi orang banyak.”

Terima kasih…

Seperti terima kasih saya kepada seorang penulis yang saya gak kenal orangnya. Tahu namanya. Fuad Samad. Warga Banda Aceh.

Ia menulis sepanjang empat paragraph. Empat alinea. Tulisan seperti sebuah puisi sunyi. Bak tulisan teman saya Yudi Latif. Jernih dan jujur. Di media mainstream. Online. AJNN.

Dan inilah tulisan utuhnya… tanpa edit…

Terima kasih karena telah merawat Blang Padang.

BLANG Padang merupakan tempat terbuka hijau di jantung Banda Aceh. Kini menjadi simbol yang dibanggakan masyarakat. Sejak matahari terbit hingga terbenam, lapangan ini dipenuhi masyarakat yang berolah raga atau berjualan.

Lapangan itu asri dan bersih; terawat. Indah dipandang mata dengan pohon-pohon rindang dan beragam jenis bunga di pinggir lintasan lari. Lapangan ini benar-benar menjadi ruang terbuka untuk siapa saja.

Karena itulah lapangan ini harus benar-benar dirawat secara berkala, terus menerus, oleh badan tertentu yang ditunjuk pemerintah.

Agar suasana tetap nyaman dan siapa saja betah berada di sana.

Bagi kami, masyarakat Banda Aceh, tidak penting siapa yang berhak mengelola lapangan itu. Yang penting lapangan itu terawat dan terjaga dengan baik. Dan terima kasih telah merawat Blang Padang.[]

  • Darmansyah adalah wartawan senior, penulis “Kolom Bang Darman”
Berikan Pendapat

Berita Terkait

Kopi Si “Bebet”

Darmansyah
0

Complang

Darmansyah
0
0