Perlindungan Hutan dan Lingkungan: Untuk Satwa atau Manusia?
Oleh TM Zulfikar, Pegiat & Pemerhati Lingkungan Aceh
KETIKA kita membicarakan perlindungan hutan, seringkali muncul pertanyaan retoris yang menggoda: siapa sebenarnya yang lebih diuntungkan — satwa liar atau manusia? Pertanyaan ini tidak sesederhana jawabannya, sebab di balik rimbunnya pepohonan dan kokohnya batang-batang raksasa itu, ada jalinan kehidupan yang saling bergantung — dan manusia adalah salah satu bagiannya, bukan di atasnya.
Di Aceh, hutan lindung dan kawasan konservasi seperti Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) misalnya, sering diasosiasikan dengan habitat gajah, harimau, orangutan, dan badak sumatra. Perlindungan hutan sering dianggap sebagai “pengorbanan” demi melindungi kehidupan satwa yang kian terdesak. Tapi benarkah begitu? Atau jangan-jangan, narasi perlindungan satwa hanyalah bagian kecil dari upaya yang jauh lebih besar — yaitu melindungi fondasi kehidupan manusia itu sendiri?
Hutan bukan sekadar rumah bagi makhluk atau hidupan liar. Ia adalah sistem penyangga kehidupan. Ia menyimpan air, menstabilkan iklim, mencegah banjir dan longsor, serta menjadi sumber pangan, obat-obatan, dan penghidupan bagi masyarakat adat dan desa-desa sekitar.
Ketika pohon terakhir ditebang dan sungai terakhir tercemar, barulah kita sadar: satwa mungkin punah lebih dulu, tetapi manusialah yang akan menyusul.
Sayangnya, banyak kebijakan yang masih melihat hutan dari kacamata sempit ekonomi: sebagai komoditas kayu, lahan sawit, atau tambang. Perlindungan lingkungan pun dianggap sebagai “penghambat pembangunan”. Padahal, jika hutan rusak, kerugian ekonominya jauh lebih besar — dari bencana banjir, kekeringan, konflik satwa-manusia, hingga hilangnya jasa ekosistem yang nilainya triliunan rupiah per tahun.
Lantas, siapa yang sebenarnya butuh perlindungan lingkungan? Jawabannya jelas: manusia.
Satwa tidak pernah mengubah hutan menjadi perkebunan. Mereka tidak menggali tambang emas atau membakar lahan. Yang melakukan itu adalah kita. Maka, menjaga hutan bukan soal “baik hati pada gajah atau harimau”, tetapi soal menyelamatkan masa depan anak cucu kita sendiri.
Hutan yang lestari bukan hanya untuk makhluk liar — tapi untuk sawah yang subur, air yang bersih, udara yang segar, dan bumi yang masih bisa dihuni.
Alih-alih mempertentangkan kepentingan manusia dan satwa, kita harus menyadari bahwa kita ada dalam satu sistem yang sama. Gagal menjaga hutan adalah gagal menjaga diri sendiri. Maka, setiap kebijakan lingkungan sejatinya bukanlah kebijakan pelestarian satwa — tapi kebijakan pertahanan hidup manusia.
Saatnya kita membalik narasi: bukan “mau melindungi hutan demi siapa?”, tetapi “apa yang akan terjadi pada manusia jika hutan tidak lagi dilindungi?”[]