Kopi Si “Bebet”
Oleh Darmansyah
IA dipanggil “Bebet.” Nama itu bukan dari kosakata “bebet-bobot” tapi dari “Bebeto” yang dibuang “o”. Si Bebet ini memang kesemsem dengan Bebeto benaran. Yang pakai “o” di ujung panggilannya.
Si Bebet ini sejak dulunya sering menepuk dada sembari berteriak menyebut dirinya Bebeto usai mencetak gol dalam pertandingan sepakbola antarkampung. Sepakbola memang hobinya. Sejak kecil.
Hingga ia bisa hafal nama pemain papan atas dan papan tengah dunia.
Kalau di strata klub ia pegang Manchester United. Em-u. Walaupun terpinggirkan di primer league ia gak pernah bergeser dari klub milik kota Manchester itu.
Kalau tim nasional?
Tanpa tedeng aling-aling ia akan langsung teriak: confederação brasileira de futebol. Ce-be-ef. Teriakannya tentang tim nasional Brasil dalam bahasa portugis itu sangat khas. Ada telo-nya…
Nah… di tim inilah Bebeto yang ada “o”-nya berkiprah. Bebeto itu nama panggilan pemain sepakbola asal Brasil dari klub vasco da gama. Klub elite kota Rio de Janeiro.
Lengkapnya nama si Bebeto itu Jose Roberto Gama de Oliveira.
Posisi si Bebeto yang Brasil ini sebagai penyerang atawa striker. Setahu saya, terakhir, ia bermain untuk klub kota Jeddah, Arab Saudi, al itihad. Dan pernah melatih klub America.
Kembali ke si Bebet yang tanpa “o.” Ia teman “brisk walking” saya. Teman olahraga jalan tergesa-gesa. Setiap pagi di Boulevard Orchad.
Boulevard Orhard yang menjadi bagian ring luar perumahaan tempat ia dan saya tinggal. Tapi beda kluster.
Si Bebet ini asli Betawi. Betawi Tanah Abang. Kalau istilahnya Betawi “dalam.” Bukan Betawi luar seperti si “Doel” yang lokasi “rumah” di sinetronnya Lebak Bulus. Yang nama aslinya Rano Karno.
Rano Karno yang anak Sukarno M Noor. Yang minang tulen tapi menelikung banyak orang sebagai anak Betawi berkat serial viral dari sinetron dan film yang berseri-seri banyaknya.
Tentang si Bebet yang Betawi tulen ini, kemarin pagi, membawa cerita seru. Seru sekali. Tentang gampong saya. Yang ia ngotot mengatakan sekarang gak lagi bernama “Serambi Mekkah”.
“Sudah digerus oleh seribu kedai kopi,” katanya dengan hahaha…hihihi…
Tidak hanya sekadar nama yang bermutasi itu ceritanya, si Bebet yang baru mudik selama delapan hari ke sana juga bohay dengan warung kopi yang tumbuhnya bak cendawan.
Bohay juga dengan riset amatirannya tentang kebiasaan pengunjung warung kopinya.
Risetnya bukan sistem random. Tapi tatap muka. Validitasnya tinggi. Bukan macam lembaga risetnya milik Denny JA yang validitasnya dijungkirbalikkan untuk duduk sebagai komisaris di be-u-em-en.
Menurut riset si Bebet ia fokus dengan jumlah gelas kopi yang disesap pengunjung. “Dalam satu hari, pria dewasanya bisa meminum beberapa gelas kopi”.
Lantas ia melirik saya sembari mengatakan: “kok gak kembung ya.”
Saya hanya diam. Senyum tipis…
Lanjut, katanya, ia punya kenalan seorang pegawai negeri. Kenal lama.
“Dia minum kòpi pagi hari di rumah sebelum berangkat kerja. Setelah mengisi absensi di kantor ngopi lagi di warung dekat kantornya.”
Lalu sekitar jam sepuluhan di kantor dapat jatah ngopi. Ngopi kembali jam tiga-an sore di kantor. Terakhir, ngopi di malam hari, bisa di rumah atau di warung kopi.
Lantas ia tertawa ngakak disertai komentar: luar biasa.
Selain itu ada cerita lain yang ia kemas tentang warung kopi yang tumbuh beribu di sana. Warung kopi yang ia kelakarkan ke saya tentang cara menghitung banyaknya.
Caranya: ambil batu. Pejamkan mata. Dan lemparkan batu itu ke arah manapun secara acak, niscaya akan kena warung kopi.”
Hahaha… bukan cerita baru. Saya juga pernah menulisnya di sebuah esai tentang William “Bill” Lidle yang ceritanya juga bohay tentang warung kopi di Aceh.
Padahal Lidle itu professor emeritus sosiologi dari Ohio State University yang pernah menjadi peneliti dan pengajar tamu di lembaga penelitian Aceh. Ia juga dinobatkan sebagai indonesianis.
Maka beda dengan si Bebet yang periset amatir. Namun sempat berkeliling ke kampung-kampung pedalaman yang melewati hutan dan kebun-kebun.
Nah, saat memasuki kampung, paling pertama dijumpai adalah warung kopi.
Sebagai Betawi tulen si Bebet di hari itu memasukkan unsur joke dalam ceritanya. Cerita tentang pasien gastritis akut.
Ia bertanya ke pasien: berapa gelas dia minum kopi sehari, jawabannya di luar nurul. Tujuh gelas!
Oh ya, ketika hari-hari awal di sana, katanya, terus diajak ngopi. “Kepala saya jadi kliyengan dan bawaan mau tidur aja. Saya yakin kopi itu ada ‘isinya’.
Bebet sendiri sebelum ke Aceh lebih memilih kopi scahetan : lebih praktis.
Untuk susunya ia milih susu segar yang fresh from the oven, mimik di tempat, langsung. Menurut dianya itu lebih menyehatkan.
Dari cerita si Bebet saya hanya bisa diam. Saya tahu kota itu sudah melakukan ritual ngopi sejak lama. Kalau gak percaya datang saja ke makam Syiah Kuala di muara Krueng Aceh.
Orang Aceh dulunya ngopi bukan hanya untuk ha ha hi hi melepaskan beban stress di rumah. Ngopi selain release pikiran ruwet, rileks, adalah jalinan silaturahmi dan untuk memanjangkan wirid.malam.
Budaya ngopi sudah berlaku umum di seluruh negeri itu . Ada yang dilakukan hanya sebatas pencarian suasana beda dengan di rumah. Ada yang dibuat sebagai bisnis serius seperti yang dilakukan banyak pengusaha.
Saya sendiri gak tahu tentang perkopian. Gak tahu pula bahan dasar kopi yang dijual di warung—mereka tidak menggunakan nama kafe—ini berasal dari varietas apa.
Atawa dari mana. Apakah robusta atau arabica murni; apakah hanya negeri lintang pukang atau negeri antah berantah.Ataukah mereka punya “resep campuran rahasia” bisa memadukan pelbagai varietas.
Yang jelas warung kopi itu tidak seperti kafe kekinian yang memajang berbagai jenis biji kopi di dalam toples di-barnya.
Saya, dulunya pernah mendapat pengetahuan tentang ukuran kualitas kopi sebagai minuman sebelum kita menyesapnya. Cara mudah dilakukan melihat permukaannya, meneliti ‘crema’-nya, buih kuning kecoklatan yang menutupi permukaan.
Tentu saja, cara paling jasmaniah yang lain mendekatkan hidung ke atas cangkir lalu menghirup uapnya. Puncak pengujian adalah menyeruputnya.
Bisa juga disajikan sudah dalam keadaan diberi gula, tapi tidak diaduk. Jadi, suka-suka kita saja, mau diaduk berapa kalii putaran supaya muncul ‘kenis’nya.
Begitu rumitnya cara ngopi itu.
Lantas saya mikir, lamanya negeri itu dijajah kemiskinan mungkin juga karena kopi ini. Kopi yang bikin lupa anak bini dan kerja keras.
Maaf saya gak mengatakan orang aceh pemalas. ……
Tentang kemiskinan ini sendiri saya pernah berdebat tentang penetapan kriteria daerah disebut miskin miskin ? Apakah pendapatan daerah, pendapatan per kapita, belanja penduduknya, atau apa ?
Lawan debat saya itu adik umur. Dia menjadi pegawai fungsional di badan pusat statistik. Namanya Hamdan. Alumninya Institut Pertanian Bogor. I-pe-be.
Aceh dapat predikat provinsi miskin. Lha tapi sebagai orang Aceh yang kini numpang di Jakarta dan sering wobaksot saya menyaksikan sendiri tetangga saya kehidupannya semakin baik dan sejahtera.
Kerja apa saja. Bisa beli tanah dan bangun rumah. Gak ada satupun tetangga saya yang hidupnya makin sengsara. Jaminan kesehatan juga bagus, murah.
Sistem pendidikan bagus, masuk sekolah negeri seleksi fair, gak kayak daerah lain yang bisa rekayasa.
Kalau pendapatan penduduknya dianggap kecil, tapi memang gak kekurangan sandang pangan papan kesehatan, apakah masih disebut miskin ?
Saya gak bisa menjawab. Bukan ahli statistik. Gak tahu dasar perhitungan dan komponen apa yang menyertainya.
Tentang perubahaan nama kota itu sendiri jadi seribu kedai kopi saya abai. Dulu ketika ada teman wali kota yang ingin mengubah namanya menjadi kota cemerlang saya sempat protes.
Tapi maklum aja. Protes pengangguran kok…
Selain itu saya pernah mengadakan riset sederhana. Respondennya teman lama. Lokasinya Solong dan Taufik. Di tambah Beurawe. Mereka saya tanya tentang perubahaan ini.
Jawabannya hoha..hoha… Gak setuju….
Saya tanya mereka: gelar mana yang kini lebih populer. Mereka semua menekuk muka.[]
- Darmansyah adalah wartawan senior, penulis “Kolom Bang Darman