Air Terjun Ceuraceu di Aceh Jaya, Pesona yang Terabaikan
DI tengah rimbun hutan Desa Panton Kabu, Kecamatan Panga, Kabupaten Aceh Jaya, tersembunyi sebuah mahakarya alam yang belum sepenuhnya terjamah oleh pembangunan. Mahakarya itu adalah Air Terjun Ceuraceu Alue Teungoh. Di atas hamparan kanvas alam itulah Wartawan Portalnusa.com, Samsuar, SE merekam gemericik air, kesejukan pepohonan, dan ketenangan yang tak bisa ditemukan di ruang-ruang wisata modern. Rekaman itu disajikan sebagai laporan khusus edisi ini.
Seperti banyak kisah di pelosok Nusantara, keindahan alam sering kali hadir dalam senyap. Pemerintah datang hanya untuk seremoni, perhatian singgah hanya ketika viral, dan pembangunan menyinggahi setelah peluang dirampas oleh pihak luar. Apakah pesona Ceuraceu akan mengalami nasib serupa?
Air Terjun Ceuraceu bukan destinasi yang menawarkan gemerlap buatan. Tidak ada panggung hiburan, tidak ada wahana permainan, tidak ada resort mewah. Justru di situlah daya tariknya. Ia menghadirkan ruang kontemplatif bagi pencinta alam dan pelancong sejati. Tanpa narasi horor atau kisah mistis, yang biasa digunakan untuk mendramatisasi lokasi wisata tersembunyi, Ceuraceu berdiri di atas daya tariknya sendiri: keaslian.
Namun, keaslian ini berada di ujung tanduk jika tidak diiringi dengan kebijakan pelestarian dan pengembangan. Dalam ketiadaan akses jalan, fasilitas dasar, dan promosi, Ceurace berisiko kehilangan dua hal penting: daya tariknya di mata wisatawan dan partisipasi masyarakat dalam merawatnya.
Potensi ekonomi dan ekologis
Pemkab Aceh Jaya sepatutnya melihat Ceuraceu lebih dari sekadar air terjun. Ia adalah sumber peluang ekonomi berbasis pariwisata lestari. Banyak daerah lain di Indonesia, bahkan yang lebih terpencil dari Panga, sukses mengangkat destinasi lokal dengan pendekatan berbasis komunitas. Masyarakat dilibatkan sebagai pemandu, pengelola homestay, penjual hasil kerajinan tangan, hingga penjaga kebersihan.
Jika dirancang dengan pendekatan partisipatif, pengembangan kawasan Ceuraceu bisa menjadi model pariwisata berkelanjutan. Bukankah ini sejalan dengan arah pembangunan nasional yang menekankan pemberdayaan ekonomi lokal dan pelestarian lingkungan?
Selain ekonomi, ada aspek ekologis yang tak kalah penting. Ketika destinasi wisata dibangun dengan rencana yang matang, pengelolaan ekosistem juga bisa dilakukan dengan lebih terstruktur. Jalur masuk resmi bisa mencegah perambahan liar. Tempat pembuangan sampah bisa mengurangi pencemaran. Edukasi lingkungan bisa ditanamkan kepada pengunjung sejak dini.
Sayangnya, hingga hari ini, semua itu belum ada. Pemerintah daerah, baik eksekutif maupun legislatif belum menunjukkan tanda-tanda serius untuk mengangkat Ceuraceu sebagai prioritas pembangunan pariwisata daerah.
Abainya kehendak politik
Apa yang membuat destinasi seperti Ceuraceu terabaikan? Jawabannya mungkin sederhana: tidak adanya kehendak politik (political will).
Tidak sedikit pejabat publik yang hanya melihat pembangunan wisata dari sudut pandang proyek—apa yang bisa dibangun, berapa besar anggaran yang bisa dikucurkan, dan siapa yang bisa dilibatkan. Mereka lupa, bahwa di balik proyek, ada aspek jangka panjang yang jauh lebih penting: perencanaan, pelibatan masyarakat, dan keberlanjutan.
Lebih dari itu, promosi wisata Aceh Jaya secara keseluruhan masih minim. Padahal, di era digital, promosi tidak harus mahal. Pemerintah bisa menggandeng media lokal, komunitas konten kreator, hingga pelajar dan mahasiswa untuk ikut memproduksi konten tentang keindahan daerahnya. Namun sayangnya, yang sering terjadi, promosi wisata dilakukan setengah hati dan hanya menjelang hari besar atau acara seremonial.
Ceuraceu tidak butuh baliho besar. Ia butuh perhatian kecil tapi konsisten: dari plang penunjuk arah, papan informasi, fasilitas pemandian sederhana, hingga kampanye digital yang menyuarakan eksistensinya. Dan itu semua tidak akan terjadi jika kehendak politik terus tertidur.
Harapan dan ajakan
Sebagai wartawan, saya memandang Ceuraceu bukan hanya sebagai objek berita, tapi sebagai bagian dari identitas Aceh Jaya yang harus dipertahankan. Kita semua memiliki tanggung jawab untuk bersuara ketika keindahan dibiarkan telantar. Kita tidak bisa menunggu sampai airnya tercemar, hutannya gundul, atau tempat itu dirambah demi tambang dan kayu.
Inilah saatnya pemerintah daerah menggeser paradigma: dari membangun yang terlihat, menuju merawat yang bermakna. Dari sekadar membangun ikon, menuju menumbuhkan ekonomi kerakyatan.
Air Terjun Ceuraceu Alue Teungoh adalah undangan terbuka dari alam untuk kita semua. Undangan untuk hadir, menghargai, dan ikut menjaga. Jangan sampai keindahan ini hanya jadi cerita yang terlambat disadari nilainya—saat semuanya sudah terlambat.[]