Peran Insinyur dalam Menjaga Hutan dan Lingkungan di Aceh
Oleh: Ir. T. M. Zulfikar, Ketua Bidang Kehutanan dan Lingkungan Hidup Persatuan Insinyur Indonesia (PII) Provinsi Aceh
ACEH adalah surga ekologis yang kini terancam oleh kerakusan. Dari Kawasan Ekosistem Leuser, Kawasan Ekosistem Ulu Masen hingga hutan lindung di pantai barat-selatan, kehancuran lingkungan terjadi nyaris tanpa kendali.
Dalam pusaran konflik antara investasi, politik, dan kebutuhan hidup masyarakat, peran insinyur kerap luput dari sorotan. Padahal, insinyur memegang kunci penting dalam merancang solusi berbasis ilmu pengetahuan untuk menjaga keberlanjutan hutan dan lingkungan Aceh.
Di tengah dominasi pendekatan birokratis dan politis dalam pengelolaan sumber daya alam, insinyur bisa menjadi garda teknokrat yang berani menolak eksploitasi rakus atas nama pembangunan. Keahlian insinyur lingkungan, kehutanan, teknik sipil, dan geospasial dapat digunakan untuk memperkuat sistem pemantauan deforestasi, merancang jalur infrastruktur minim dampak ekologis, hingga membuat teknologi deteksi dini bencana berbasis vegetasi.
Namun sayangnya, banyak insinyur justru terjebak dalam sistem yang membungkam idealisme. Mereka lebih sering menjadi pelaksana proyek tambang, jalan, dan PLTA yang membabat hutan, daripada perancang solusi hijau. Padahal, semangat keinsinyuran sejatinya berpijak pada keseimbangan antara kemajuan dan keberlanjutan.
Aceh membutuhkan insinyur yang berani bersuara, bukan hanya membangun, tapi juga menjaga. Dalam pengelolaan DAS, insinyur hidrologi bisa merancang alokasi air yang adil antara manusia dan alam.
Dalam rekayasa kehutanan, insinyur bisa mengembangkan model rehabilitasi hutan yang adaptif terhadap perubahan iklim. Dalam tata ruang, insinyur geospasial bisa memetakan kawasan rawan longsor dan mendesak moratorium izin di daerah lindung.
Lebih dari itu, peran insinyur juga penting dalam edukasi masyarakat. Teknologi sederhana hasil karya insinyur – seperti sumur resapan, sistem agroforestri, atau monitoring berbasis drone – dapat ditransfer kepada masyarakat desa penyangga hutan agar mereka menjadi penjaga, bukan perambah.
Insinyur di Aceh harus keluar dari zona nyaman. Mereka mesti aktif dalam advokasi teknokratik, ikut dalam penyusunan kebijakan lingkungan, serta menjadi bagian dari gerakan ilmiah menjaga bumi Serambi Mekah. Profesi ini tidak hanya soal gambar kerja dan laporan teknis, tapi soal etika dan tanggung jawab terhadap masa depan lingkungan.
Sudah saatnya organisasi profesi keinsinyuran di Aceh – seperti PII, HATHI, IAGI, dan lainnya – menjadikan pelestarian lingkungan sebagai bagian dari etos keinsinyuran. Jika insinyur hanya diam melihat hutan gundul dan bencana datang, maka gelar yang kita sandang tinggal nama, bukan kehormatan.
Karena sejatinya, seorang insinyur bukan hanya membangun jembatan dan gedung, tetapi juga menjembatani peradaban menuju keberlanjutan.[]