Terowongan Geurutee
Oleh Darmansyah
Terowongan Geurutee…
Saya sengaja menunda untuk menulisnya. Beberapa hari. Biasa. Khas jurnalis “made in lama.” Yang gembok kunci otaknya hanya satu kata: skeptis.
Menunda setelah banjir bandang informasi yang belepotan dengan imaji tentang isi berita terowongan Geurutee.
Apalagi informasi yang memakai judul bla-bla-bla faktanya: tidak tahu…bla-bla-bla,,, Faktanya? bla-bla-bla, dan seterusnya.
Termasuk terhadap mereka yang hendak menjelaskan secara ecek-ecek duduk soalnya. Membuat saya kehilangan minat untuk menulisnya. Untuk sementara.
Puluhan tahun kerja di institusi media mainstream yang punya niat pikiran mulia bahwa berita hendaknya mampu menjelaskan duduk soal, hari-hari ini saya kepikir makna duduk perkaranya.
Apakah tanya sana-sini, mengutip banyak pihak, lalu itu dianggap menjelaskan duduk perkara sebuah usulan?
Anda tahukan, terowongan Geurutee masih di usulan. Tingkatan paling rendah. Bak tingkatan hadis yang berada di tingkat dhaif.
Kan masih ada tingkat berikutnya, hasan dan sahih. Tingkat terakhir ini memiliki kualitas tertinggi.
Jadi gelindingan terwongan Geurutee belum sebuah proyek. Masih usulan.
Yang lantas ada menuliskan penjelasan politisi hing..hong… Politisi yang kursi duduknya di otak saya sebagai musuh nomor dua setelah setan.
Dalam bahasa media hing..hong …itu sebutannya keterangan pers. Dan di kesempatan pertama ia menjelma menjadi “breaking news.” Muatannya dinamai kutipan.
Maaf kalau saya samakan dengan kutilan. Tolong jangan samakan dengan kuntilanak…
Bukankah ini sontoloyo…
Jangan-jangan tanpa peduli atau mendengar informasi pikiran orang malah akan lebih jernih.
Bagi saya, yang cuma pensiunan pekerja pers, dan kini setengah piatu kesimpulan ini semua adalah sebagai metainformasi.
Jangan pedulikan informasi.
Bikin otak keruh, korslet, hang. Otak setiap yang bernama insani, kecuali cacing, sepertinya diseragamkan oleh medium digital.
Orang disuruh mencerna segala hal yang seolah-olah perlu padahal sama sekali tidak perlu; digerojok segala informasi agar jadi cerdas.
Padahal saya dan Anda tahu kecerdasan tak lagi dibutuhkan. Sudah digantikan artificial intelligence. Semua orang tersihir dalam waktu tak lama lagi. Yang namanya lembaga pendidikan tamat.
Lembaga pendidikan mengajarkan agar orang bisa memperoleh informasi, menganalisa, membuat keputusan.
Maaf melenceng. Kembali ke duduk soal: terowongan Geurutee…
Terowongan Geurutee yang kembali diangkat sebagai narasi untuk mengatasi hambatan lalu lintas ke barat-selatan. Terowongan yang usulannya mangkrak selama sembilan tahun.
Terowongn yang dipungut dari arsip usang untuk kemudian dinarasikan sebagai agenda tik tok. Agenda yang masih dalam tahap usulan tapi dicelotehkan bak sulap sekali tepuk, jadi.
Anda kan tahu jenis-jenis sulap yang sangat beragam itu. Seperti sulap manipulasi, sulap ilusi, sulap mentalisme, sulap close-up, sulap jalanan, sulap komedi, sulap api, dan sulap escape.
Anda tinggal pilih sulap yang mana. Bukan sulap menyulap terowongan Geurutee yang berangkat dari usulan yang untuk diwujudkan jadi proyek panjangnya subhanallah…
Yang pasti pembangunan terowongan Geurutee bukan sulap manipulasi dan sulap ilusi. Mungkin sulap komedi dalam narasi politisi. Saya muak…
Terowongan yang pernah menjadi alternatif sejak era “purbaya.” Era sebelum dan sesudah tsunami. Era a-pe-be-en ketika rakit Suak Seumaseh, Teunom, Arongan plus Lambeuso.
Juga era USAID yang dinamakan era recovery gempa dan tsunami yang melibatkan dua kontraktor be-u-em-en—Wijaya Karya dan Hutama Karya plus Ssanyong dari Korea Selatan..
Selain itu, dua konsultan dilibatkan: PT Buana Archicon dan Lapi-ITB.
Saat itu ada tiga pilihan untuk trase Geurutee. Tinggalkan. Bangun jalan baru atau tetap geurute tetapi jalan layang dan terowongan.
Saya tahu itu. Tahu dari seorang staf USAID. Stefen Grifit. Ia jadi teman karena saya bukan hanya miskin duit tapi juga miskin informasi.
Tahu juga ketika pilihannya: jalan lama sebagai pilihan yang kemudian disolek lebarnya. Lebar. Tidak tutup-buka. Bukan kontra flow.
Geurutee itu merupakan lintasan jalan negara menuju kawasan barat -selatan.
Kaki gunungnya arah utara merupakan perbatasan alami dua kabupaten. Dulu Aceh Barat-Aceh Besar. Kini Aceh Jaya-Aceh Besar.
Jarak lintasan Geurutee itu enam puluh tujuh kilometer dari arah kota provinsi dengan waktu tempuh normal satu setengah jam.
Lintasan ini memiliki jurang yang sangat dalam bisa langsung terjun ke Lautan Hindia.
Sebagai anak “selatan” saya tahu nahwu sharafnya lintasan ini. Ada sengkarut dan “lurus” yang menyertai hari hakikahnya.
Nahwu dan sharaf tentang Geurutee dari sisi struktur jalannya, tingkahnya dan perubahannya dengan benar dan mendalam, terutama sepanjang bacaan dan pemahaman saya.
Ciri khas Gunung Geurutee adalah memiliki komposisi batu yang lebih besar dibandingkan gunung-gunung lain yang sebelumnya dilewati dari arah Banda Aceh. Paro dan Kulu.
Meskipun berada satu kawasan dengan Gunung Ulumasen—gugusan pengunungan Bukit Barisan akan tetapi Geurutee benar-benar terpisah dan tersendiri.
Geurutee sendiri memiliki kontur alam yang benar-benar berbeda dengan seluruh gunung di sumatera.
Saya sendiri menyukai Geurute alami. Geurutee yang memberi pelajaran yang berharga tentang pemandangan indah usai menaiki tanjakan.
Bahwa ada alasan bagi saya menelusuri tanjakan itu, karena ada kebahagiaan di sana.
Saya tahu ada sebuah tugu berbentuk runcing sebagai tanda pengunjung berada pada posisi pendakian tertinggi gunung tersebut.
Pernah ditemukan berbagai fosil biota laut di puncak gunung itu, dulunya, dalam bentuk oysey sehingga diperkirakan gunung ini awalnya adalah lautan.
Gunung ini pun tidak bisa dilewati melalui bagian atasnya sehingga harus dilalui lewat pinggangnya.
Dulu menurut imaji saya Geurutee ini gak bisa dilewati melalui perjalanan darat hingga kolonial membuat jalan pada sisinya.
Ada juga imaji tentang bagaimana tentara kolonial dulu merangsek ke barat-selatan mengejer Teuku Tjoet Ali hingga ke Suak Bakong di Kluet Selatan atau mengepung Teuku Umar di Ujong Kalak.
Akibat luasnya Gunung Geurutee dan mahalnya biaya menghancurkan batu-batu gunung ini, masyarakat pesisir barat mengatakan kolonial sempat kehabisan uang untuk menyelesaikannya.
Panorama dari Geurutee terlihat sangat indah, dari tempat ini wisatawan dapat melihat hamparan lautan yang membiru serta gugusan pulau-pulau kecil yang tampak kehijauan dari kejauhan.
Terlihat barisan pantai dengan pasir putih jernih yang mengelilingi pulau-pulau eksotis tersebut.
Ada banyak warung yang menjajakan makanan dan minuman, Udara sejuk berasal dari angin lautan terasa nikmat seraya minum segelas kopi robusta atau kelapa muda.
Apalagi sering terlihat monyet-monyet yang berkeliaran menunggu pemberian makanan oleh wisatawan.
Tidak perlu khawatir karena monyet-monyet tersebut terbiasa berinteraksi dengan manusia. Terdapat pula masjid kecil untuk beribadah.
Jalan lintas ini sudah teraspal mulus. Tikungan tajam, tanjakan dan turunan menjadi tantangan dalam perjalanan.
Sebelah kiri jalan terdapat pegunungan menjulang tinggi sementara sebelah kanannya jurang serta laut.
Ketika tiba di perbatasan antarkabupaten, terdapat sebuah tempat yang dijadikan sebagai lokasi persinggahan.
Namun tidak banyak warga yang berhenti di lokasi persinggahan tersebut. Mereka lebih memilih melanjutkan perjalanan sekitar sepuluh menit lagi sehingga tiba di puncak Geurutee.
“Biasanya pengunjung di sini untuk istirahat.”
Saya gak ingin mengusik usulan pembangunan terowongannya kali ini. Sebab penuh dengan kata tanya. Katanya…
Katanya mego proyek… apaan… mega mendung.. amblas.. terowongan sepanjang dua kilometer mega proyek….anjir…
Tambah lagi, katanya, pakai kosa perkiraan… tambahan lagi.. akan.. segera … terwujud.
Sebuah ungkapan patah-patah..
Untuk itu, kemarin pagi, saya mencaritahu ke seorang teman di perencanaan tentang usulan ini. Ia tertawa ngakak… “Hanya usulan Pak. Masih ada survei dan bla..bla..nya.”
Bla..bla.. jalan tol Sibanceh saja jadi-jadi. Jalan Tol Binjai – Langsa lagi tongpes…
Maaf.. gak usah mikirin.[]
- Darmansyah adalah wartawan senior, penulis “Kolom Bang Darman”