Esai Tawakkallah

Oleh Darmansyah

PAGI tadi ia menelepon. Gaya bicaranya, masih seperti dulu. Tembak langsung. Terus terang. Satu lagi cirinya yang saya gak mau pakai istilahnya tanpa tedeng aling-aling.

Tedeng aling-aling itu istilah orde lama… Out model, kalah dengan tik tok.

Asbhab tembak langsung dan terus terang ini muasalnya dari tulisan saya tentang terowongan Geurutee. Dia gak sreg…

Tulisan itu “up” dua hari lalu di sebuah online. Mainstream. Gak di medsos yang banyak hoaks-nya.

Tulisan itu genre esai. Yang judulnya diganti oleh editornya dari “terowongan bla..bla..” jadi “terowongan geurutee.”  Saya “tawakallah” aja pergantian itu. Hanya ganti judul. Gak ganti isi. Utuh.

Makanya saya gak perlu “menggerutu” karena antara judul dan isi masih nyambung. Gak seperti banyak tulisan lainnya yang judulnya hong… dan isinya heng…Hong heng.

Tawakalnya pun masih pada tingkat fardhu kifayah. Belum pada tingkat fardhu a’in.. Harfiah tawakkal itu  “berserah.”  Berserah karena  ada nahwu-nya. Nahwu editor.

Isi tulisan terowongan Geututee itu membuat sang teman menggerutu dalam nada tercekat sembari menuding saya dengan rentetetan kata: secara kaidah jurnalistik tulisannya sudah benar.

Apalagi untuk sebuah tulisan esai. Gak ada yang salah.

Tapi … ia pakai tapi lagi. Saya gak suka kata tapi. Yang dalam kosakata “jamee” negeri selatan yang kampung saya berarti pinggir.

Ia mengingatkan saya bahwa esai itu selalu kontra untuk sebuah ide. Kontra itu menurut bacaan saya sering dimaknai sebagai konfrontasi. Konfrontasi ide. Itu memang genre baku jurnalistik.

Diingatkan lagi: esai itu selalu berangkat dari stasion “aku.” Berada di posisi aku-nya penulis. Ego akunya sering menyempal, menyentil, nyelekit. Kalau gak fokus bisa bias.

Saya gak membantah. Saya tahu itu. Tahu ketika memulai jalan setapak kepenulisan. Tidak hanya secara ragawi tapi juga secara sastrawi.

Teman saya yang menggerutu dengan “terowongan Geurutee” itu adalah penulis jempolan, yang pensiunan sebuah media mainstream hebat, dulunya.

Pahamnya hingga hari ini sosialis. Sosialis warisan Soemitro Djojohadikusumo. Ayah presiden sekarang. Yang akronimnya partainya dulu pe-es-i. Gak sama dengan pe-es-i yang ganti lambang.

Pe-es-i ganti lambang itu adalah partai mahluk berkembang. Amuba. Dari semula berlambang  bunga mawar kini ganti gajah. Partai yang kontroversial sejak kemunculannya.

Partai baru kala itu tapi dana unlimited. Orang bilang partai sejuta baliho. Bahkan jumlah dan besarnya mengalahkan partai lama yang sudah besar.

Padahal anggotanya anak-anak muda. Bahkan mantan ketuanya drop out sebuah perguruan tinggi. Duitnya dipasok darimana coba.

Sudahlah lupakan aja partai yang gak tahu juntrungannya itu.

Kembali ke tema awal. Teman saya yang lain, Don Sabdono. Nama pop kepenulisannya Bre Redana juga mengingatkan tentang artian sebuah esai.

“Tulisan esai,” katanya, “berupa konfrontasi kesadaran gagasan seseorang dengan kenyataan sosial-politik-ekonomi-kebudayaan dan lain-lain.”

“Menggugat yang mapan menghibur yang lemah.”

Sehingga tulisan esai saya tentang pembangunan terowongan Geurutee menurutya, mengesankan ketidaksetujuan saya terhadap usulan itu.

Saya tahu sasaran tembak yang sering diarahkan ke penulis esai. Satu kata: egois…

Esais tingkat tasaufnya sekaliber Gunawan Mohamad yang sudah berjilid-jilid melahirkan tulisan esai lewat caping-nya, catatan pinggir, juga sering di-“tembak.”

Apalagi saya. Tingkatnya masih a-satu. Yang frasa komunikasi sehari-harinya dalam  menyapa, memperkenalkan diri, dan mengajukan permintaan masih sederhana.

Saran sang teman untuk menghindar dari sasaran tembak ini adalah: pinjam pendapat orang lain dengan cara setengah survei dan setengah riset.

“Kan lebih fair. Gak memunculkan pendapat pribadi, dan bisa terhindar dari bid’ah” katanya.

Tentang bid’ah kata ini saya tahu berasal dari bahasa arab “bada’a” yang berarti menciptakan sesuatu yang baru, tanpa contoh sebelumnya.

Saya gak mikir panjang tentang survei dan riset pancong itu. Langsung setuju seribu persen. Setuju juga kritiknya.

Toh kritik itu selalu bagus untuk membangun. Seperti membangun narasi tulisan. Apa pun bentuknya.

Mau narasi tulisan piramida terbalik setengah terbalik, terbalik penuh atau yang atasnya besar dan bawahnya runcing atau juga piramida yang oleng kemoleng tersrah.

Bahkan saya gak peduli yang piramida milik firaun seperti tulisan akademisi yang fikihnya banyak dalam bentuk pesanan.

Sampai di sini saya hanya bisa tertawa…  entahlah…

Nama sang teman itu Anas Al-Katiri. Trahnya Yaman Hadramaut. Bukan trah Nabi dari Hasan-Husen. Trah Al-Katiri ini idem dito dengan milik Anis yang Baswedan.

Yaman itu sering di-identik-kan lebih arab dari Arabia. Lebih keras dari Habsy atau Assegaf atau pun Qurais, apalagi dibanding dengan Al-Atas.

Gak percaya: telusuri saja kerasnya Houti yang bikin Israel gelagapan dan trump menggigil kepanasan.

Teman lama itu kini mukimin bersama anaknya di Abu Dhabi. Sudah pensiun usai menjadi jurnalis lepas di al-jazera.

Kalua Anda hari-hari ini mengingat nama Abu Dhabi pasti bikin hang.. hong..

Banyak syedara saya di provinsi naca disengkarutkan dengan mubadala enerji di Andaman yang milik Abu Dhabi.

Mubadala yang bisa beranak pinak menjadi narasi refinery. Kilang gas yang banyak de-es-be-nya

Biarkan aja .. lupakan Mubadala yang bisa bikin pesong.

Saya gak tahu bagaimana si Al-Katiri menemukan tulisan saya tentang terowongan Geurutee. Saya tanya berulang-ulang. Jawabannya juga berulang-ulang lewat ai-artificial intelegency…

Entah iya atau gak terserah sajalah.

Tapi Geurutee itu sering dipersepsikan sebagai ukuran jarak kemajuan. Sering dikatakan sebagai ukuran kilometer.

Saya setuju saja ke pendapat tentang keterpencilan, kesenjangan akses.

Dulunya.. sebelum ada akses ke Medan via Subulussalam. Ketidaksetujuan saya masih ada yang mengatakan Geurutee tantangan. Ah… masa bukit indah yang memesona itu menyimpan jalan curam dan berkelok tajam tantangan. Momok. Lebay….

Yang parahnya lagi ada yang menarasikan  pembangunan terowongan Geurutee  sebagai gagasan besar. Memutus mata rantai pasokan.

Ya.. macam-macamlah. Bagi saya gaklah.. sebagai anak selatan saya tahu sejak dulu orientasi kami. Gak ke Koetaradja. Untuk apa? Manggaleh bakung sugi…

Kembali ke Al-Katiri. Sebagai teman. Dulunya, saya dan dia sama-sama membangun karier jurnalistik dengan media yang berbeda. Saya hormat kepadanya.

Apalagi gayanya persis seperti “bos”-nya di era ganyang nekolim.

Anas Al-Katiri sering saya ejek kalau pergi meliput bersama sebagai anak biologis “pedoman/.” Dari sisi gaya. Dari sisi stylish.

Style ini gak pernah lekang sebagai stelannya bicaranya. Sampai tadi pagi kala ia teleponan. Banyak nyelekitnya…

Maaf!! .. gaya “pedoman” ini  gak pantas untuk ditiru, Jauh dari santun. Melecehkan.

Khas Rosihan Anwar. Bossas-nya si Al-Katiri. Rosihan anak Anwar Maharaja Sutan yang mbongnya di atas mbong anak ulee balang kampung saya. Yang kakinya naik ke atas meja kala ngomong.

Sarannya tentang menulis dengan cara survei dan riset setengah pancong itu akan saya ikuti. Paling tidak untuk menyenangkannya.

Menyenangkan teman itu pahalanya kan besar. Apalagi untuk ngomong pagi tadi itu ia banyak menghabiskan pulsa dollar.

Selang hitungan jam usai teleponan si Al-Katiri, saya menghubungi seorang anak teman yang pernah menjadi surveyor di lembagai survei milik Denny JA yang kini sudah resign.

Resign-nya karena banyak cingcong dari rekayasa yang menjadi mainan lembaga survei dalam mengutak-atik angka, data untuk manipulasi dan spekulasi.

Resign itu dalam dunia kerja lebih elegan yang berarti mengundurkan diri dari pekerjaan atau jabatan secara sukarela.

Ini adalah tindakan karyawan untuk mengakhiri hubungan kerja dengan perusahaan tempat mereka bekerja atas kemauan sendiri.

Saya janji untuk menulis pilihan, proses dan hasil survei pancong ini di esai berikutnya…[]

  • Darmansyah adalah wartawan senior, penulis “Kolom Bang Darman”
Berikan Pendapat

Berita Terkait

Terowongan Geurutee

Darmansyah
0

Kopi Si “Bebet”

Darmansyah
0

Complang

Darmansyah
0