Bongek Journalism

Oleh Darmansyah

“Jurnalisme itu apa, sih?”

Reflek saja terucapkan : “bongek.”

Dan kelas tharekat menulis itu senyap…Lantas dalam hitungan detik berikutnya kelas penulisan di sebuah garasi kawasan Bintaro yang disulap bak resto kecil itu gemuruh dengan tawa.

Saya gelagapan dan memastikan gak ada yang salah dari jawaban tentang pertanyaan itu, Memang bongek jawabannya. Yang isi kontennya gak relevan antara judul dan isi tulisan.

Saya tahu kosakata bongek itu sejak lama. Sering mengucapkannya dalam bahasa gaul.  Memiliki banyak arti. Tergantung konteksnya.

Di hari saya memberi pemahaman di kelas penulisan itu kata bongek memang sedang melintas. Saya tangkap aja. Mengucapkannya lewat pantulan di luar kesadaran sebagai jawaban.

Pas pula konteksnya… udah…

Memang, secara umum, “bongek” bisa merujuk pada hidung yang tersumbat atau berair. Sering kali karena pilek atau alergi.

Khusus pengucapan bongek yang reflek ketika saya berdiri di depan kelas penulisan sabtu pekan lalu itu  ada kaitannya dengan narasi yang berkembang di media sosial.

“Bongek” dalam konteks media sosial bisa digunakan untuk menyindir seseorang yang dianggap sombong atau sok tahu, mirip dengan kata “sok” atau “ongar”.

Mereka yang bermain dengan narasi yang menyimpang dari titah suci karya pers. Termasuk media online  yang menulis judul tapi tidak tersaji tuntas dalam isi berita.

Hanya untuk satu kepentingan: demi klik…

Ada juga yang memberi judul lebih panjang dari karya ilmiah formal, namun kadang susah makna. Seperti berita search engine optimization.

Usai kelas itu mengetawakan “bongek” secara ngakak saya dengan hati-hati menjelaskan prinsip-prinsip jurnalisme.

Di ujung pekan itu kelas tharekat menulis itu membahas tentang tugas jurnalisme yang bukan sekadar melaporkan berita dalam diskusi yang gaduh.

Ada enam belas orang peserta. Semuanya antusias. Saling salip menyalip untuk membenarkan argumennya.

Semuanya tahu tugas jurnalisme adalah sebagai refleksi masyarakat dan berperan mempengaruhi banyak orang.

“Yang kita lakukan dan katakan serta tayangkan amat berarti. Ia punya dampak pada publik.”

Tahu juga kenyataannya: jurnalisme tradisional sedang gagal bicara dengan dunia baru.

Generasi baru sudah hidup di dunia di mana informasi bukan lagi ditunggu atau dijemput. Ia datang membanjiri mereka dalam hitungan detik.

Mereka tidak membaca koran pagi. Mereka tidak menonton berita malam. Mereka hidup di dunia tanpa jeda. Dari media yang terus bicara dalam bahasa mereka.

Sebagai pekerja pers, selama ini saya punya keyakinan juranlaisme mengandalkan otoritas—dengan nada objektif, naratif netral, dan format formal.

Tapi generasi baru tidak percaya pada “otoritas” itu. Bagi mereka, netralitas bisa tampak sebagai ketidakpedulian.

Objektivitas bisa tampak sebagai penghindaran. Dan formalitas bisa tampak sebagai ketidaktulusan.

Maka, jurnalisme harus belajar ulang: bukan sekadar melaporkan, tapi juga menjalin koneksi.

Anda gak bisa membantah dunia sosial media hari ini sebagai ghetto—ruang-ruang isolasi digital tempat berkembangnya radikalisme, kebencian, dan autokrasi.

Dan kita, para jurnalis, masih sibuk memberi ceramah dari panggung ke panggung.

“We live in a bubble.”

Dan inilah kritik paling keras: jurnalisme tidak bisa berharap dipercaya oleh publik jika ia terus berada di luar realitas publik.

Media hanya hadir di forum-forum mewah dan tidak hadir di platform-platform tempat generasi muda berinteraksi. Maka jurnalisme bukan hanya gagal menjangkau—tapi juga gagal dipahami.

Saya memberi tekanan pada enam belas “murid” tharekat menulis itu bahwa jurnalisme jangan pernah menyerah pada clickbait. Jangan mau tunduk pada algoritma.

Jurnalisme harus mengubah dirinya dari institusi yang memegang otoritas informasi menjadi komunitas yang membangun kepercayaan.

Dan kepercayaan tidak dibangun dari menara gading. Ia dibangun dari kemauan untuk mendengar, belajar, dan bertransformasi. Kalau tidak, jurnalisme tidak akan selamat. Akan ditinggalkan.

Itulah yang saya pahami ketika berdiri di depan kelas tharekat menulis di siang itu. Tharekat menulis sebuah komunitas anak-anak muda belajar memahami jurnalisme hari ini.

Jurnalisme bongek…

Maka sebagai “old crack” di posisi “never die” saya harus mampu mengenali apa yang paling disukai dan memastikan laporan dengan kualitas terjaga.

Hal tersebut bukan hal baru. Yang membedakan adalah disrupsi digital membuat berita dan informasi tersedia dalam jumlah sangat banyak dan gratis, menghasilkan noise. Drau atau kebisingan.

“Noise” mengacu pada suara yang tidak diinginkan atau gangguan suatu sistem atau proses, baik itu suara fisik, sinyal elektronik, atau informasi yang tidak relevan dalam konteks komunikasi.

Yang penting semuanya menyadari bagaimana menjadikan media konvensional sebagai voice yang patut didengar di dalam platform baru digital adalah tantangan saat ini.

Tantangan terbesar dalam era digital bukanlah pada teknologi, tetapi pada mengubah pola pikir, pola kerja, dan sikap seluruh insan—bukan hanya wartawan—terhadap datangnya era digital.

Proses transformasi dari kebiasaan bekerja secara media cetak menuju digital menuntut perubahan sikap dan pola kerja.

Keterampilan menggunakan teknologi baru, serta berhadapan secara langsung dengan pembaca. Juga bagaimana menemukan berita yang relevan dan dibutuhkan pembaca.

Secara umum terdapat kecenderungan umum pada media untuk menyajikan berita yang sesuai dengan profil anggota organisasi media bersangkutan.

Hal ini akan menghasilkan bias yang akan berakibat pada terbatasnya layanan informasi.

Pada akhirnya, konten tetaplah raja. Media konvensional harus mampu menyajikan berita yang “tidak muncul” di media lain.

Itu artinya sementara tetap menjaga nilai-nilai dasar jurnalisme, pada saat yang sama juga harus bersedia berubah.

Wartawan dituntut memiliki lebih lagi ketajaman mengendus apa yang menjadi kebutuhan pembaca dan memenuhinya dengan mencari sendiri di lapangan.

Mungkin saja apa yang dicari sedang tidak menjadi pembicaraan umum di dalam keriuhan noise.

Di sini kejelian wartawan dapat menemukan apa yang menjadi kebutuhan atau keingintahuan banyak orang tetapi tidak tersuarakan karena memang tidak bersuara di media sosial atau medium digital.

Atau bisa saja tenggelam di dalam noise.

Fakta lain yang tidak dapat diabaikan adalah bagaimana informasi yang telah didapat dan diolah sampai kepada pembaca.

Saya percaya media arus utama tetap akan bertahan di tengah kencangnya perubahan akibat revolusi teknologi digital asal bisa mengambil posisi antara jurnalisme lama dan jurnalisme baru.

“Fungsi pers sebagai penjaga pintu tidak menghilang sepenuhnya, melainkan cuma mengecil dimensinya tentang apa yang mesti disediakan pers.”

Media konvensional tetap perlu menjaga standar dan nilai tertentu dari visi tradisional jurnalisme, yaitu independensi, verifikasi, kesetiaan utama pada kepentingan warga.

Jauhkan kepentingan politik atau korporasi, berkerja obyektif dan transparan dalam menimbang kejadian daripada memaksakan hasil spesifik atau solusi kebijakan.

Jurnalisme pada era baru saat ini justru harus lebih teguh menjaga nilai-nilai tersebut meskipun cara menyampaikannya berbeda karena medium yang digunakan berbeda.

Jurnalisme adalah kunci penting dalam “check and balance” dalam kehidupan  yang sehat dan tanggung jawab jurnalis: menginformasikan ke publik, melindungi kebebasan, adil serta obyektif.

Seorang jurnalis sudah seharusnya hidup dengan etika jurnalismenya. Tidak ada tawar-menawar.

Untuk mendefinikasikan profesi yang satu ini saya akhirnya sampai pada satu kesimpulan: wartawan adalah sosok yang biasa menempuh jalan tidak biasa.

Ia menemui orang-orang yang tidak mau ditemui; berbicara dengan mereka yang tidak mau diajak bicara; dan mengunjungi tempat yang justru dihindari orang.

Ya, wartawan menemui orang bermasalah. Wartawan bersikeras menemui saksi kunci pembunuhan yang sesungguhnya sedang bersembunyi di tempat yang dirahasiakan.

Wartawan tentu saja akan berusaha memaksa seorang koruptor untuk bersaksi dan mengakui dosa-dosa korupsinya. Ia harus menyelinap masuk untuk mendapatkan berita yang eksklusif.

Saya ke setiap orang selalu mengatakan, wartawan adalah pilihan hidup. Mungkin masih banyak wartawan yang suka mengeluh tentang hidup layak.

Dari sinilah lahir satu lapisan wartawan yang terbiasa menerima amplop dari narasumber.

Satu perilaku destruktif bagi dunia kewartawanan yang sayang sekali dapat terus bertahan dari satu generasi ke generasi yang lain.

Apabila wartawan merupakan pilihan hidup, maka kalimat yang kerap meluncur dari mulutnya akan berbunyi: “justru karena saya wartawan, saya menanggung segala konsekuensi ini.”

”Dari sikap ini muncullah kecenderungan menolak amplop, bebas dari pengaruh kepentingan narasumber, dan kompetisi yang sehat untuk mendapatkan berita yang paling eksklusif.

Tentu saja, wartawan tidak harus miskin. Sebuah perusahaan pers yang baik seharusnya menyediakan gaji yang layak agar wartawannya tidak sampai terjangkit kebiasaan yang merusak itu.

Saya tahu wartawan bukan pahlawan yang memiliki standar moral dan kegigihan memperjuangkan kebenaran di atas manusia rata-rata.

Ia manusia biasa. Seorang skeptis. Meragukan panca inderanya.

Itulah ujung diskusi kelas tharekat menulis yang dimulai dari satu kata: “bongek.” []

  • Darmansyah adalah wartawan senior, penulis “Kolom Bang Darman”
Berikan Pendapat

Berita Terkait

Esai Tawakkallah

Darmansyah
0

Terowongan Geurutee

Darmansyah
0

Kopi Si “Bebet”

Darmansyah
0