Kolumnis
Oleh Darmansyah
IA seorang kolumnis. Strata kolumnisnya, seperti yang sering ia hahaha..hihihi-kan ke saya, belum di tingkat tasauf. Belum kategori sufi. Dan belum pantas menyandang ayatollah.
Bukan seperti halnya gm dan shindu. Dua nama yang kolumnisnya sudah berada di awan makrifat.
“Kalau saya di bawah dan bawah lagi dari keduanya,” katanya kepada saya kemarin pagi.
Anda gak perlu saya kasih tahu siapa gm dan shindu. Goenawan Mohamad dan Shindunata. Dan juga gak perlu dikasih tahu gaya, tema dan isi kolom yang mereka tulis.
Si kolomnis yang teman ini, seumuran. Di kepala tujuh. Kalau dia di tujuh bawah saya di tujuh atas.
Tapi, soal menulis posisi saya dan dia terbalik. Ia lebih atas. Saya berada di bawahnya dan berada di posisi “meugampong.” Walau pun punya kolom di sebuah media online.
Kolom-koloman…
Beda lainnya saya dengannya, dia sudah melewati gerbang avant garde. Bukan lagi sekadar penjaga gawang. Sudah striker. Tukang bobol gawang. Gawang kemapanan.
Gawang kemapanan seorang kolumnis itu punya tagline di banyak media. Seperti sang teman. Ada dua belas tag miliknya selain blog.
Anda tentu tahu apa itu kolumnis. Ada banyak referensi yang bisa digunakan untuk menjelaskannya.
Yang saya pahami, kolom adalah tulisan kreatif non-fiksi yang berkaitan dengan peristiwa aktual, disajikan secara personal di mana penulis dan pembaca berada pada situasi intim,
Situasi intim yang saya maksudkan ini tentu tidak hanya untuk menceramahi pembaca tapi juga untuk mengusik dan menghibur.
Pada mulanya, kolom identik dengan surat kabar. Ia menjadi semacam tempat rehat, setelah pembaca lelah melahap berita dan artikel biasa.
Penyebutan kolom bisa beragam: esay, sketsa, jeda dan lain-lain. Mereka menulis untuk dipublikasikan dalam sebuah seri. Menulis artikel. Isinya komentar dan opini.
Kolomnis itu pengisi kolom di surat kabar, majalah, dan publikasi lainnya, termasuk blog.
Kolom sendiri sebenarnya adalah tulisan sederhana tentang berbagai hal yang ada di sekitar kita.
Tulisan ini biasanya menggunakan bahasa yang mudah dipahami, merakyat, sinis, kadang juga penuh canda. Berbeda dengan opini, misalnya.
Sebagai seorang kolumnis sang teman rutin menulis artikel. Dari kandidat presiden pada suatu minggu, dan cerita tentang kebakaran hebat pada minggu berikutnya.
Si sang teman pernah menjadi penulis kolom tetap di sebuah surat kabar harian nasional. Ia menurunkan tulisan-tulisannya secara berkala. Sekali atau dua kali seminggu.
Sebagai penulis kolom ia menyukai Hedda Hopper dan Louella Parsons, dua kolumnis gosip terkenal di era ketika surat kabar memiliki pengaruh yang menentukan karier pesohor.
Persaingan mereka sangat sengit. Sejalan dengan perseteruan mereka, kita dapat melihat pajangan mereka di rak terpisah, di sisi lobi yang berseberangan.
Tentang kepenulisannya ia sering mencandainya dengan mengatakan: buruk wajah cermin dibelah. Saya gak pernah tahu makna pepitih itu hingga kemarin ketika kongkow dengannya.
Seingat saya, dulunya, ketika saya dan dia masih menyandang predikat “mature” ia pernah mengirim tiga kuplet tulisan kepada saya tentang wajahnya yang ngenyir.
“Wajah saya sepertinya mirip dengan orang-orang arab. Di bawah mata ada hidung kokoh yang tampak terlalu besar bagi wajah saya yang agak kecil.
Daun kuping saya menyerupai daun kuping peri. Agak kebesaran. Bibir? Bawahnya tebal dan hampir cacat bentuknya.
Gak disangsikan lagi yang paling tak menarik dari semua ciri fisik itu ketika saya marah dan bibir bawah terdorong ke depan.
“Seluruh wajah saya bak karikatur kejelekan. Kek..kek..kek”.
Hanya intermezzo……Hup…kembali ke kolomnis.
Kemarin di bubur ayam Cikarang, di sebuah ruko sepelemparan dari presiden university, saya dan dia larut mengupas tentang peran kolomnis.
Membahas profil para kolumnis. Mulai dari Umar Kayam hingga Sheila Moss. Umar Kayam yang Anda tahu bagaimana gaya dan narasi kepenulisannya yang melegenda.
Atau pun Sheila Moss, seorang kolumnis humor asal negeri Trump.Trump yang kini bermain tarif impor yang menyenggol India dan Brasil. Trump si tua supak bikin ngakak.
Tentu muncul pertanyaan dalam percakapan huda hudu saya dan si kolomnis di pagi itu tentang siapa yang pantas menyandang status kolumnis itu sebenarnya.
Sang teman tak ingin menguraikannya. Ia hanya tertawa sembari membagikan sebuah colekan ke hape saya.
Biarlah seorang kolumnis masyhur yang pernah dimiliki bangsa ini untuk menjawabnya. Jawaban itu pernah dimuat di rubrik “asal usul” Kompas dua puluh tujuh tahun silam.
Nama sang kolumnis: Mahbub Junaidi. Jangan tanya bagaimana hambo tulisannnya di banyak kolom media.
Khusus untuk jawabannya tentang siapa kolumnis itu. begini tulisannya:
“….kerjaan dirjen orang tahu. Begitu juga makelar atau komisioner. Bahkan profesi dukun pun orang paham. Tapi profesi “kolumnis” masih asing dan belum banyak yang maklum.
Jika saya mencantumkan perkataan “kolumnis” sebagai jenis pekerjaan, banyak yang bertanya-tanya binatang apa sih kolumnis itu?
Kolumnis itu bagian pekerjaan malam apa siang?
Bahkan ada yang bertanya, apa beda antara kolumnis dengan komunis? Tentu beda.
Komunis itu sudah musnah sedangkan kolumnis itu masih ada, setidaknya sampai hari ini. Perkara besok akan lenyap juga, nantilah kita lihat saja…”
Jawaban itu goal…
Ya… seingat saya koran Kompas dulunya memang pernah punya rubrik kolom yang penggemarnya berjibun. Namanya “asal usul”.
Bukan asal usil atau pun asal usir… Kalau ini cilaka wkakanda..
Rubrik yang hadir saban minggu itu kini telah tiada. Seorang kawan saya lainnya yang pernah menjadi redaktur minggu Kompas membenarkan tentang kolom itu trending.
Sang teman redaktur itu Bre Redana. Nama kepenulisannya. Sedang saya menyapa Don Sabdono. Mas Don.
Katanya, syukurlah masih ada rubrik “parodi” sehingga media itu bisa terhindar dari tuduhan sebagai koran antitulisan kreatif.
Selain itu setahu saya majalah berita minggua Tempo juga tak lagi menyediakan ruang untuk tulisan kreatif.
Kolom bahasa milik Tempo memang mempunyai kekhasan, tapi tak sebanding bila dibandingkan dengan kolom-kolom yang pernah disajikan para kolumnis di media itu dahulu.
Bagaimana dengan media online? Berdasarkan pantauan saya, hanya detik.com yang menyediakan rubrik kolom.
Tetapi itupun lebih banyak berisi artikel-artikel ‘kering’ sebagaimana banyak kita temui di koran-koran.
Saya pernah menjumpai beberapa kolom bagus di media itu, namun datangnya selalu dari penulis yang sama.
Baiklah, mari kita ambil sisi positifnya. Dalam kondisi memprihatinkan seperti sekarang, siapa pun punya peluang besar untuk menjadi kolumnis.
Kuncinya adalah bersedia terus belajar dan tidak menyia-siakan kesempatan.
Soal reward dan popularitas, janganlah dipusingkan.
Yakinlah bahwa keduanya bakal mengejar-ngejar kita manakala karya-karya mereka memang khas dan tidak mudah ditiru kebanyakan penulis.
Terus terang, di saat memperingati hari kemerdekaan yang ke delapan puluh saya merasa prihatin terhadap kondisi perkoloman kita sekarang.
Kecuali Goenawan Mohamad, nyaris tiada lagi kolumnis handal yang menghiasi media-media massa kita.
Dulu kita punya Umar Kayam yang sketsa-sketsanya di harian terkenal Jogyakarta “kedaulatan rakyat” begitu memikat.
Kolom-kolom itu kemudian dibukukan dalam buku “mangan ora mangan kumpul” yang terdiri beberapa jilid.
Umar Kayam seperti halnya Mahbub kini sudah almarhum. Kolom-kolomnya jernih dan jenaka.
Selain itu kita juga kehilangan kolumnis spesialis seperti Sindhunata yang kolom-kolomnya mengenai sepakbola Atau pun Ignas Kleden.
Bersamaan dengan krisis kolumnis, kita juga semakin sulit menemukan media massa—khususnya koran dan majalah—yang menyediakan ruang untuk kolom.[]
- Darmansyah adalah wartawan senior, penulis “Kolom Bang Darman”