Kisah Peremajaan Sawit dan Borgol untuk Pak Sekda
KEJAKSAAN Tinggi (Kejati) Aceh secara resmi menahan tiga tersangka korupsi penyimpangan Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) di Kabupaten Aceh Jaya. Ketiga tersangka korupsi yang ditahan sejak Rabu, 13 Agustus 2025 di Rutan Kelas IIB Banda Aceh tersebut adalah S (Ketua KPSM sekaligus Anggota DPRK Aceh Jaya 2024–2029), TM (mantan Kepala Dinas Pertanian Aceh Jaya 2017–2020 dan Plt. Kadis 2023–2024), dan TR (Kadis Pertanian Aceh Jaya 2021–2023 yang diberhentikan dari jabatan Sekda Aceh Jaya setelah jadi tersangka). Lalu, bagaimana kisahnya hingga Sekda Aceh Jaya bersama dua lainnya harus diborgol, berikut hasil liputan mendalam Samsuar, Kontributor Portalnusa.com di Aceh Jaya.

Empat tahun lalu, Aceh Jaya menerima kucuran dana sebesar Rp129,4 miliar dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
Sesuai proposal, dana ini digunakan untuk Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) di enam kecamatan, dengan target meremajakan 4.562 hektare lahan sawit tua yang dianggap tidak lagi produktif.
Mengacu pada dokumen Dinas Pertanian Aceh Jaya, dana jumbo ini disalurkan kepada 13 koperasi dan kelompok tani (Poktan), yaitu:
- Koperasi Sama Mangat
- Koperasi Mitra Aceh Jaya
- Poktan Alue Rubek
- Poktan Tani Makmur Merata
- Poktan Hudep Bersama
- Koperasi Hikmah Gadeng Lestari
- Poktan Sepakat Maju
- Poktan Tuah Tamita
- Koperasi Beuek Makmur Sabee
- Poktan Singa Tani
- Koperasi Ceuraceu Klah Perkasa
- Koperasi Ajay Sabe Makmur
- Poktan Hudep Hudep Baro
Pada Agustus 2025, fakta di lapangan menunjukkan tak satu pun koperasi atau Poktan yang melaporkan penyerahan hasil replanting kepada petani.
Beberapa lokasi bahkan terlihat semak belukar, sementara lahan yang pernah ditanami kini terbengkalai.
Kepala Bidang Perkebunan Dinas Pertanian Aceh Jaya, Feferiandi, S.Hut., mengakui hampir seluruh koperasi penerima dana PSR berada dalam kondisi stagnan.

“Ada yang sudah tanam, tapi kondisinya mati suri. Empat tahun kontrak, tak ada kelanjutan,” kata Feferiandi menjawab tim media, Senin, 11 Agustus 2025.
Menurut Feferiandi, salah satu alasan penyebab gagalnya program itu yang kerap dimunculkan adalah gangguan satwa liar — terutama gajah — yang merusak bibit sawit.
Namun, kata Feferiandi, jika alasan ini membuat program gagal, koperasi wajib mengembalikan dana melalui mekanisme resmi ke BPDPKS.
“Kalau tanam lagi tapi dirusak gajah, risikonya sama. Maka lebih baik dikembalikan saja agar dana bisa digunakan untuk lokasi lain,” tambahnya.
Berikut jejak aliran dana program replanting sawit termasuk pelaporan:
- BPDPKS melakukan transfer dana PSR ke rekening koperasi/poktan setelah proposal mereka disetujui;
- Dana digunakan untuk pembelian bibit, biaya tanam, pupuk, perawatan, dan upah pekerja;
- (Seharusnya) koperasi wajib melaporkan perkembangan penanaman dan menyerahkan hasil ke petani anggota.
Sumber internal di Dinas Pertanian mengungkapkan, sebagian koperasi hanya melakukan tanam simbolis di awal untuk memenuhi syarat pencairan tahap pertama. Setelah itu, aktivitas berhenti. Dana yang tersisa tidak jelas penggunaannya.
“Ada indikasi dana diputar untuk kepentingan lain. Kami tidak bisa mengungkap detailnya sekarang, karena ini masuk ranah penyelidikan,” kata sumber tersebut.
Lahan kosong, bibit hilang
Tim media menelusuri tiga lokasi replanting, yang tersebar di Kecamatan Teunom, Sampoiniet, dan Panga.
Di Teunom, lahan milik Koperasi Sama Mangat dipenuhi alang-alang, bekas lubang tanam bibit sawit terlihat menganga.
Di Sampoiniet, kbun Poktan Tuah Tamita sebagian besar kosong, papan nama proyek sudah lapuk.
Di Panga, lahan Koperasi Hikmah Gadeng Lestari hanya tersisa 15 batang sawit hidup, sisanya mati atau hilang.
Sejumlah petani anggota koperasi mengaku tidak pernah menerima pembagian hasil atau bahkan laporan resmi dari pengurus.
“Kami hanya diminta fotokopi KTP waktu pendaftaran. Setelah itu, tidak ada kabar lagi,” ujar salah satu anggota Poktan, meminta namanya dirahasiakan.
Kelemahan pengawasan
Gagalnya program PSR Aceh Jaya tidak lepas dari lemahnya pengawasan dana perkebunan di daerah.
BPDPKS tampak hanya berperan di tahap pencairan, tidak mengawal ketat realisasi lapangan.
Ironisnya, pejabat Dinas Pertanian mengaku tidak bisa memaksa koperasi melapor, hanya bisa mengimbau.
Aparat hukum baru bergerak setelah kasusnya membesar dan menyeret pejabat daerah.
Potensi kerugian negara dari program ini diperkirakan mencapai puluhan miliar rupiah, mengingat skala lahan, harga bibit, dan biaya perawatan yang tidak terealisasi.
Dengan diperiksanya tiga tersangka korupsi program PSR tersebut diharapkan bisa terungkap berbagai pertanyaanh masyarakat selama ini, misalnya:
- Ke mana larinya dana Rp129,4 miliar yang sudah digelontorkan;
- Mengapa BPDPKS dan Dinas Pertanian tidak memiliki laporan perkembangan program;
- Apakah ada aliran dana ke pihak-pihak di luar koperasi, termasuk pejabat daerah?;
- Bagaimana langkah langkah yang akan dilakukan Bupati Aceh Jaya untuk menyelamatkan proyek dan dana rakyat ini.
Modus dan kerugian negara

Berdasarkan hasil penyidikan tim Kejati Aceh, awalnya, pada 2019 tersangka S selaku Ketua KPSM yang juga Anggota DPRK Aceh Jaya periode 2024–2029 mengusulkan proposal PSR untuk 599 pekebun dengan luas lahan 1.536,7 hektare.
Proposal ini diverifikasi dan direkomendasikan oleh Dinas Pertanian Aceh Jaya hingga dana PSR sebesar Rp38,42 miliar disalurkan ke rekening KPSM.
Namun hasil analisis citra satelit, drone, dan verifikasi lapangan menunjukkan sebagian lahan yang diusulkan bukan milik pekebun, melainkan lahan eks PT Tiga Mitra dalam kawasan Hak Pengelolaan Lahan (HPL) Kementerian Transmigrasi, dengan kondisi hutan dan semak belukar tanpa tanaman sawit rakyat.
Meski demikian, Dinas Pertanian Aceh Jaya tetap menerbitkan rekomendasi dan SK calon penerima, yang menjadi dasar penyaluran dana.
Akibatnya, negara mengalami kerugian sebesar Rp38,42 miliar sesuai hasil audit Inspektorat Aceh.
Penyidik Kejati Aceh menyebut telah menyita dan mengamankan uang sebesar Rp17,01 miliar dari koperasi dan pihak ketiga, yang kini dititipkan di rekening penampungan khusus (RPL001 KT Aceh) sebagai bagian dari upaya penyelamatan keuangan negara.
Banyak pihak menilai, program replanting sawit Aceh Jaya adalah potret buruk pengelolaan dana perkebunan di daerah.
Uang besar mengalir, hasil tak ada, dan sejumlah orang (pejabat) telah terjerat dugaan korupsi.
“Selama pengawasan lemah dan pejabat yang terlibat kasus masih dilindungi, sulit berharap program seperti ini bisa benar-benar memberi manfaat bagi petani,” tandas seorang pengamat.
Proses hukum terhadap tersangka S, TM, dan TR masih panjang. Diharapkan kasus ini bisa terungkap secara terang benderang dan uang—termasuk program yang sejatinya menyentuh langsung kepentingan masyarakat—tidak terhenti karena kasus memalukan ini.
Sejatinya, hukum harus tegak, sementara mimpi masyarakat untuk menjadi pekebun yang berhasil di kampung sendiri jangan hanya sebatas mimpi.[]