Praktik ‘Satu Pintu’ dan Premanisme di Perkim Aceh, Dedi Lamra: “Ini bukan Hanya soal Hukum, tapi Moral”
PORTALNUSA.com | BANDA ACEH – Tokoh pengusaha dan aktivis sosial-politik Aceh, Dedi Sumardi Nurdin yang juga dikenal dengan Dedi Lamra, menyerukan Gubernur Aceh dan Aparat Penegak Hukum (APH) untuk melakukan evaluasi menyeluruh terkait dugaan praktik “satu pintu” dan potongan proyek di Dinas Perkim Aceh serta insiden premanisme yang terjadi baru-baru ini.
Menurut Dedi, kedua peristiwa tersebut saling berkaitan. “Premanisme di kantor dinas bukanlah peristiwa berdiri sendiri. Ia adalah gejala dari penyakit birokrasi yang lebih dalam—penyakit yang membuat pejabat merasa kebal hukum, dan ruang publik diubah menjadi wilayah kekuasaan kelompok tertentu. Ini bukan hanya soal hukum, tapi soal marwah Aceh. Kita harus hentikan budaya rente dan sikap-sikap yang merusak citra pemerintahan.”
Dedi menilai, dugaan pola sentralisasi proyek di bawah kendali segelintir orang di Dinas Perkim Aceh telah menciptakan iklim tidak sehat, bukan hanya dalam pengadaan barang dan jasa, tetapi juga dalam interaksi sosial di internal kantor.
Dugaan pungutan di berbagai tahap pekerjaan serta penggunaan perusahaan pinjaman, menurutnya, merupakan bentuk “rente terorganisir” yang mengingatkan pada pola lama, seperti kasus proyek pengadaan wastafel di Dinas Pendidikan Aceh.
“Ketika semua proyek dan uang mengalir lewat satu meja, lahirlah lingkaran kekuasaan yang siap mempertahankan posisinya dengan segala cara, termasuk gaya preman yang telah dicontohkan di hadapan masyarakat.
Premanisme yang kemarin terjadi hanya memperlihatkan wajah aslinya di depan publik. Ini bukan hanya soal hukum, ini soal moral,” kata Dedi yang juga alumni Magister Manajemen USK.
Ia mengajak seluruh pihak—pemerintah, aparat penegak hukum, dan masyarakat—untuk bersatu padu membangun Aceh dengan tata kelola yang bersih, transparan, dan berpihak pada rakyat.
“Evaluasi ini harus menjadi momentum perbaikan, agar anggaran benar-benar bermanfaat untuk kesejahteraan rakyat, bukan untuk segelintir orang,” ujarnya.
Menurutnya, Gubernur Aceh perlu memastikan pejabat yang memegang posisi strategis adalah sosok berintegritas dan berkualitas, sementara APH harus menegakkan hukum tanpa pandang bulu.
“Kita harus kembali pada tujuan bersama: membangun Aceh yang lebih baik, adil, dan sejahtera,” tandas Dedi Lamra.
Ia juga meminta Kejaksaan Tinggi Aceh dan Polda Aceh untuk mengambil langkah konkret.
“Premanisme di kantor pemerintah dan dugaan korupsi dalam pengadaan adalah dua sisi dari koin yang sama. Keduanya harus dihentikan,” tegasnya.[]