“Sakaratul…” Otsus

Oleh Darmansyah

MAAF,,, saya menggunakan frasa ini. Gak ada yang salah dengan konteks kondisinya hari ini. Gak perlu diperdebatkan. Buang waktu. Setuju atau gak setuju terserah.

Bagi saya konteks frasa ini berangkat dari sisa umur penganggaran duit otonomi khusus yang berasal dari dana alokasi umum di anggaran pendapatan dan belanja negara. A-pe-be-en.

Dana otonomi khusus itu perintah undang-undang yang mengatur tentang pengelolaan pemerintah di sebuah provinsi istimewa. Provinsi yang sebelumnya dirajang perang dan malapetaka “smong.”

Dana otonomi khusus itu sudah seperti nyawa bagi ke-istimewa-an negeri saya sejak turun gunungnya para panglima. Dari panglima mualem hingga panglima lhok dan sebagainya.

Nyawa ke-istimewa-an untuk membayar rente perjuangan.

Dana otonomi khusus itu diplot dalam dua tahap. Tahap pertama sebesar dua persen dari alokasi umum pendapatan dan belanja negara. Sedangkan tahap kedua satu persen.

Jumlahnya selama tujuh belas tahun, menurut hitungan kasarnya  mencapai seratusan triliun rupiah. Jumlah yang masya Allah besarnya.

Duit yang seperti dikomentari teman saya si Arif yang bekerja di bank hasbc. Kalau pengelolaannya dari awal pakai agenda dan roadmap serta jelas progresnya bisa jadi gurita kemakmuran.

Dana ini, seperti bunyi narasi regulasinya, dialokasikan untuk berbagai program pembangunan dan pemberdayaan daerah.

Provinsi ini mulai menerima dana otonomi khusus itu sejak tujuh belas tahun lalu. Pasnya tahun dua ribu delapan, setelah disahkannya Undang-u\Undang Nomor 11 tentang Pemerintahan Aceh.

Dana otsus digunakan untuk berbagai kegiatan, termasuk pembangunan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi, pengentasan kemiskinan, serta pendidikan, sosial, dan kesehatan.

Penyalurannya di setiap tahun anggaran dibagi dalam beberapa tahap, dan sebagian dana juga dialokasikan untuk kabupaten/kota.

Untuk tahun ini penerimaan dana otsus sekitar empat koma tiga triliun, dengan alokasi untuk kabupaten/kota sebesar sembilan ratus tujuh puluh tiga miliar rupiah.

Ada catatan secara garis besarnya terhadap penyaluran dana ini. Pengelolaan belum maksimal, dan sebagian dana menjadi sisa lebih pembiayaan anggaran.

Gak ada yang salah dalam regulasi pemberian dana ini. Sah-sah saja karena pasal-pasal dari undang-undang memang mengaturnya secara spesifik. Regulasi dari undang-undang complang.

Undang-undang yang gagap. Yang kemudian tertegun di tataran peraturan turunannya. Peraturan pemerintah, peraturan presiden maupun peraturan menteri. Pe-pe, perpres dan permen.

Pemanfaatannya ditujukan untuk pembiayaan pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi, pengentasan kemiskinan. pendanaan pendidikan, sosial, dan kesehatan.

Tentang frasa sakratul yang menjadi judul tulisan ini saya ngerti maknanya.

Mohon jangan dikaitkan dengan tokoh penting yang “pulang” setelah  terlibat dalam implementasi atau kebijakan otsus. Gak begitu…

Istilah ini secara harfiah berarti “mabuk kematian” atau “keadaan sekarat”. Sakaratul digambarkan sebagai proses yang sangat menyakitkan dan menyiksa, sebelum nyawanya dicabut.

Dalam kondisi ini Anda bisa membacanya sendiri. Betapa mabuknya para peri penguasa sekarang menunggu treng kematian itu.

Narasi tentang “perjuangan” kembali berdengung. Dengung untuk perpanjangan pemberian dana otonomi ini. Yang maunya seumur hidup.

Saya tahu dan diberitahu narasi. Narasi milik wakil gubernur, anggota dewan dsb..dsb… bak dhuafa menengadah tangan…

Tahu juga artian sakratul dengan kematian. Yang sakratul itu adalah proses menuju mati. Untuk itulah saya menghindar dari kata ujung kosakatanya: maut. Yang merupakan akhir dari hidup.

Secara kasat bacaan berkaitan dengan konteks dana otonomi khusus itu memang sedang di posisi sakratul… Menunggu “maut” dua tahun ke depan.

Otsus sendiri, Anda sudah tahu, adalah sebuah kebijakan khusus yang diberikan pemerintah pusat.  Kebijakan yang memberi kewenangan lebih besar dalam mengatur daerahnya sendiri.

Termasuk dalam hal pengelolaan sumber daya alam dan keuangan.

Saya tak tahu berapa besaran dana otsus untuk tahun anggaran berjalan sekarang ini. Katanya mencapai empat setengah triliun rupiah. Entah.

Yang katanya ditujukan untuk pembiayaan pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan, serta pendanaan pendidikan, sosial, dan kesehatan.

Diberi status otonomi khusus, Aceh adalah wilayah yang konservatif secara agama, dengan mayoritas muslim dan satu-satunya provinsi yang mempraktikkan hukum syariah secara resmi.

Provinsi yang dikarenakan masyarakatnya yang menjadikan syariat Islam sebagai pandangan hidupnya. Menerapkan hukum Islam untuk masyarakatnya. Entahlah juga…

Kembali ke dana otonomi khusus.

Secara kasat mata siapapun bisa membuat analisa sendiri tentang dana otsus ini. Dana  yang sejak dari perumusan awalnya  dibuat tanpa pernah dikelola secara semestinya.

Mungkin juga para pejuang waktu itu optimis dengan dana itu negeri yang baru lepas dari rajang perang dapat mempercepat kesejahteraan dan pembangunan.

Mungkin saja para perumus memorandum telah lebih awal berpandangan dana otsus sebagai “investasi” golongan tertentu yang suatu saat akan dinikmatinya melalui garis politik lokal.

Entahlah juga…

Ada banyak pertanyaan yang muncul di seputar ini. Pertanyaan yang dimulai dengan kata mengapa dan mengapa.

Mengapa kajian pemberian dana itu tidak diawali atas analisis yang sistematis.

Saya tahu ada optimis ketika para pejuang turun gunung. Ada harap dan percaya dari dilontarkan di masa kampanye lima tahunan sepanjang pascadamai.

Dalam konteks ini, menarik mempertanyakan ke mana dana otsus yang begitu besar itu digunakan?

Seorang penulis teman saya pernah membuat joke, seandainya, ketika semua pecahan uang logam dari dana otsus selama tujuh belas tahun tersebut disusun bisa membentuk sebuah gedung estetik.

Ukuran gedung yang dibuat dari uang logam tersebut mengalahkan struktur gedung dewan perwakilan di Jalan Daud Bereueuh.

Ia mengumpamakan besaran duit itu sebagai ilustrasi agar pembaca mendapat vibes dari mana dan ke nama saja alokasi dana itu sudah diimplementasikan.

Sudahkah tepat sasaran? Sudahkah mengentas kemiskinan? Sudahkah tepat sasaran digunakan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat dari sisi pendidikan?

Sudahkah semua masyarakat mendapat akses bangunan yang layak huni? Sudahkah seluruh masyarakat miskin Aceh mendapat akses kesehatan yang mumpuni?

Wallahulam bisawab…

Saya tahu para pemegang kekuasaan kemarin, hari ini dan besok tentu punya apologi untuk menjawab semuanya.

Mereka punya jawaban yang seolah-olah pihaknya tidak terlibat dan tidak berdosa karena hari ini dana otsus Aceh sudah disalahgunakan sejak lahir.

Saya setuju apa yang ia tulis. Begini bunyinya: dalam kultur sosiologi-politik negeri itu hal ini dapat disebut dengan sebutan dana otsus sudah dirampok orang dalam.

Siapakah orang dalam Aceh tersebut?

Untuk menemukan jawaban ini, pembaca jangan berlagak pura-pura tidak mengetahui, sebab wajah-wajahnya sering bermunculan di sepanjang jalan ingatan Anda.

Saya sendiri sadar di tujuh belas tahun penyaluran dana otsus negeri ujong donya ini masih dhuafa. Masih tergolong sebagai daerah termiskin di Sumatera.

Mutu pendidikannya terjun bebas, korupsi dana aspirasi merajalela, kucuran anggaran provinsi ke lembaga vertikal semakin tak terkendali.

Ada jatah coklat, jatah biru, jatah ini dan itu.

Sungguh ironis.  Ketika negeri miskin itu masih dijadikan sasaran untuk dirampok dengan tidak menyebutnya sebagai daerah sapi perah oleh elite politiknya sendiri.

Padahal dana tersebut merupakan semacam anggaran kompensasi akibat luluhlantaknya negeri itu oleh rajang perang yang panjang.

Makanya gak salah banyak kawan-kawan mengatakan dalam perspektif budaya-religi negeri meutuah itu anggaran otsus itu sering di-ibaratkan “peng samadiah”.

Peng samadiah. Juga memunculkan fenomena baru “ureung kaya baru. Fenomena tokoh politik dengan pembiayaan politik yang fantastis.

Seterusnya, apakah  negeri itu akan seketika terbebas dari praktik perampok dana otsus oleh orang dalam?

Saya gak punya jawaban….[]

  • Darmansyah adalah wartawan senior, penulis “Kolom Bang Darman”
Berikan Pendapat

Berita Terkait

Kolumnis

Darmansyah
0

Masih Terowongan

Darmansyah
0

Koperasi Simsalabim

Darmansyah
0