Aceh setelah 20 Tahun MoU Helsinki

Usman Lamreung

Oleh Dr. Usman Lamreung, Akdemisi dan Pengamat Politik Aceh

DUA puluh tahun pasca-MoU Helsinki, Aceh telah meninggalkan perlawanan bersenjata dan memasuki jalur politik melalui partai lokal.

Partai Aceh menjadi simbol transformasi perjuangan eks-GAM, meski kehadiran banyak partai lokal justru melemahkan konsolidasi politik rakyat dan menimbulkan persaingan yang tidak sehat.

Harapan besar dari MoU Helsinki adalah kesejahteraan rakyat Aceh melalui berbagai kekhususan: partai lokal, Wali Nanggroe, pelaksanaan syariat Islam, pengelolaan sumber daya alam, hingga Dana Otonomi Khusus.

Namun, realisasi di lapangan masih jauh dari harapan. Kemiskinan, pengangguran, rendahnya mutu pendidikan, korupsi, serta maraknya narkoba menjadi gambaran nyata bahwa kekhususan belum sepenuhnya menghadirkan kemajuan.

Berbagai polemik, seperti Qanun Bendera dan lambang Aceh yang tak kunjung terselesaikan selama 12 tahun, hingga lembaga Wali Nanggroe yang terjebak pada peran seremonial, menunjukkan lemahnya komunikasi politik antara Aceh dan Pusat.

Padahal, konsolidasi elite dan kelembagaan seharusnya menjadi kunci untuk memperjuangkan hak-hak politik dan kekhususan Aceh sesuai amanat MoU.

Memasuki fase kedua perdamaian, tantangan terbesar adalah memastikan kekhususan benar-benar bermanfaat untuk rakyat.

Pemerintah Aceh, DPRA, partai lokal, dan tokoh masyarakat harus bersatu, konsisten, dan berorientasi pada kepentingan publik: pendidikan, kesehatan, pangan, dan pemberdayaan ekonomi.

Jika tidak, cita-cita damai Helsinki hanya akan menjadi catatan sejarah, bukan kenyataan bagi kesejahteraan rakyat Aceh.[]

Berikan Pendapat