Aceh di Ujung Api: Ancaman Kebakaran Hutan dan Lahan Terus Mengintai
Oleh: Dr. Ir. TM Zulfikar/Pemerhati Lingkungan Aceh
ACEH bukan hanya dikenal dengan hutan tropisnya yang megah, tetapi juga dengan kerentanannya terhadap bencana kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
Setiap musim kemarau, ancaman ini datang bagai arang dalam sekam: tampak tenang, tapi siap menyala kapan saja.
Kerentanan ini bukan tanpa sebab. Aceh memiliki bentang ekosistem gambut yang luas, terutama di pesisir barat-selatan, seperti di Kabupaten Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Selatan hingga ke Aceh Singkil.
Gambut, ketika kering, berubah menjadi bahan bakar alami yang sulit dipadamkan bila terbakar. Sekali api menjalar ke dalam lapisan tanah gambut, pemadamannya bisa memakan waktu berbulan-bulan.
Selain faktor ekologis, ulah manusia juga menjadi pemantik utama.
Praktik pembukaan lahan dengan cara membakar, baik untuk perkebunan sawit maupun pertanian skala kecil, masih marak dilakukan. Ditambah lemahnya pengawasan dan rendahnya kesadaran sebagian masyarakat, kebakaran hutan dan lahan menjadi ancaman rutin yang menelan korban ekologis besar.
Kebakaran tidak hanya merusak ribuan hektare hutan, tetapi juga melepaskan emisi karbon dalam jumlah masif, memperparah krisis iklim.
Dampak lanjutannya jelas: udara beracun (asap), kerugian ekonomi, terganggunya kesehatan masyarakat, serta hilangnya keanekaragaman hayati di jantung hutan Aceh yang merupakan habitat satwa kunci seperti gajah, harimau, dan orangutan.
Yang lebih memprihatinkan, kebakaran hutan dan lahan di Aceh sering kali dianggap sebagai “bencana tahunan” yang bisa dibiarkan berlalu begitu saja.
Padahal, jika pola pikir ini tidak diubah, Aceh berisiko kehilangan modal ekologisnya yang sangat berharga.
Data dan informasi yang saya catat dari berbagai sumber memperjelas: Aceh merupakan daerah dengan tingkat kerentanan tinggi terhadap karhutla, dan gambut menjadi bahan bakar dahsyat yang memicu bencana ekologis dan kesehatan.
Provinsi Aceh memiliki luasan lahan gambut sekitar 338 ribu hektare, yang kebanyakan berada di sepanjang pantai barat dan selatan Aceh .
Dari luas tersebut, sekitar 150 ribu hektare merupakan lahan gambut budidaya, area yang kini sangat rentan terbakar karena aktivitas pertanian dan perkebunan .
Antara tahun 2016 hingga 2019, lebih dari 52% kasus karhutla di Aceh terjadi di lahan gambut, menunjukkan fakta bahwa gambut adalah wilayah paling rawan di provinsi ini.
Pada semester pertama 2021, tercatat 107 hektar hutan dan lahan terbakar (hingga Februari), dengan 37 kejadian.
Data BPBA juga mencatat 150 ribu hektare lahan gambut berada dalam kategori rawan karhutla .
Yang paling mengkhawatirkan, sejak Januari hingga Juli 2024, karhutla telah membakar hingga 3.090 hektare di Aceh, naik signifikan dibandingkan periode sama tahun sebelumnya yang tercatat sekitar 1.930 hektare.
Di Aceh Barat, pada 5 Juli 2025, kebakaran lahan gambut terjadi lagi seluas 6 hektare di Kecamatan Arongan Lambalek dan Johan Pahlawan. Bahkan saat informasi ini ditulis, kebakaran hutan dan lahan di beberapa wilayah di Aceh masih terjadi.
Aceh menghadapi dua tantangan besar dalam karhutla.
Pertama adalah tantangan ekologis, dimana luas lahan gambut, terutama lahan budidaya, menjadi sumber krisis saat musim panas tiba, karena sifat gambut yang mudah terbakar dan sulit dipadamkan.
Kedua adalah masih banyaknya praktik pembukaan lahan menggunakan api, baik untuk pertanian skala kecil maupun perkebunan besar, makin memperparah situasi.
Untuk itu perlu dilakukan pemulihan ekosistem gambut, seperti menjaga muka air gambut dengan restorasi dan rewetting agar gambut tetap lembab dan tidak mudah terbakar.
Lalu lakukan penegakan hukum secara tegas, hindarkan praktik tebang-bakar dengan sanksi yang konsisten dan penyidikan terhadap pelaku, termasuk perusahaan.
Upaya lainnya adalah peningkatan patroli dan deteksi dini. Lalu pemberdayaan masyarakat lokal melalui Masyarakat Gampong Peduli Gambut (MGPG).
Inisiatif ini diyakini mampu menurunkan karhutla karena pengelolaan lahan lebih menyadari pentingnya menjaga muka air gambut selain itu juga berperan dalam memperkuat peran masyarakat lokal dalam pencegahan dini.
Pemulihan ekosistem gambut yang rusak mutlak dilakukan agar lahan tidak lagi rawan terbakar.
Aceh punya dua pilihan: terus membiarkan hutan dan gambutnya menjadi bara api setiap musim kemarau, atau menjadikannya sebagai aset masa depan yang dijaga bersama.
Api di hutan bukan hanya soal asap, tetapi juga tanda bahwa kita sedang membakar rumah kita sendiri.[]